Literasi

Bersiap-Siap Menuju Kaltara

Senin, 17 Oktober 2022, 15:36 WIB
Dibaca 815
Bersiap-Siap Menuju Kaltara
Batu Ruyud Writing Camp 2022

“Selamat sore, Pak Arie. Saya Dodi Mawardi, panitia Batu Ruyud Writing Camp (BRWC). Bapak terpilih ya. Mohon berkenan ikut zoom meeting malam ini pukul 19.00 – selesai sebagai pembuka dan perkenalan dengan seluruh peserta dan panitia.”

 

Senyum saya mekar membaca pesan WA yang tiba sore itu, Sabtu (18/10). Ah, proposal yang saya ajukan pada awal September ternyata berbuah manis.

 

Awal Juli, saya mendapatkan informasi tentang BRWC I 2022 dari sahabat saya sesama penulis, Lio Bijumes, yang sudah lebih dulu berkiprah di YTPrayeh.com. Membaca kriteria dan tuntutan output yang diharapkan: susah-susah gampang, tetapi menantang untuk dicoba. Membaca fasilitas yang ditawarkan: menjanjikan arah baru bagi jalan kepenulisan saya. Karena itu, saya mengajukan diri untuk mengikuti seleksi peserta BRWC.

 

Sepanjang Juli-Agustus 2022 saya menulis 10 artikel di YTPrayeh.com dengan beragam tema yang kira-kira sesuai dengan kriteria seleksi. Namun, saya kesulitan memenuhi kriteria “masing-masing jumlah klik lebih dari 200”. Saat penulisan proposal, baru empat tulisan (Tenunan Cantik Susi Susanti, Resensi: Surga dan Neraka Itu Dihadirkan, Keminggris versus Kejawen, dan Masalah-Masalah dalam Kecakapan Berbahasa) yang memenuhi syarat tersebut. Saya berharap tim penyeleksi lebih mengedepankan kualitas tulisan dalam memilih peserta daripada jumlah klik yang diraihnya.

 

Kriteria berikutnya menggelitik: “Bersedia camping selama sepekan di hutan Kalimantan Utara, tanpa sambungan telepon dan internet.” Bagi saya, kriteria ini justru sangat menantang dan mengasyikkan. Di era digital, kita diajak kembali menulis dengan gaya lama di tengah alam. Berpuasa telepon dan internet selama seminggu bisa jadi dapat menyegarkan kewarasan.

 

Nah, apa yang dapat dikerjakan seorang penulis dalam waktu seminggu?

 

Saya teringat kisah Harper Lee, penulis berlatar pendidikan hukum. Ia karyawan di perusahaan penerbangan di New York yang menggunakan waktu luangnya, empat jam setiap hari, untuk mengasah kecakapan menulis. Setelah membaca beberapa cerpennya, seorang agen perbukuan menyarankan agar ia mengembangkannya jadi novel. Untuk berkonsentrasi menulis, ia berhenti dari pekerjaannya dan pindah ke sebuah apartemen sederhana, yang hanya menyediakan air dingin dan perabotan darurat. Pada akhir 1956, teman-temannya memberikan kado Natal istimewa: dukungan finasial setahun penuh agar ia dapat berfokus merampungkan novelnya. Setahun kemudian, ia menuntaskan naskah awal To Kill a Mockingbird. Penerbit terkesan akan manuskripnya itu dan mendukungnya untuk mengerjakan revisi selama tiga tahun. Pada 1960, terbitlah novel debutnya itu. To Kill a Mockingbird pun mengukir nama Harper Lee di blantika sastra Amerika Serikat: memenangkan Pulitzer dan sejumlah penghargaan lain, diadaptasi jadi film pemenang Oscar, dan terbukti sebagai buku laris yang terus-menerus dicetak ulang—sampai sekarang.

 

Kadang-kadang saya berkhayal alangkah bahagia kalau punya keleluasaan seperti Harper Lee: bisa punya waktu paling tidak satu tahun tanpa memusingkan biaya hidup agar dapat menggarap karya impian. BRWC menawarkan ruang kecil untuk itu. Tidak sampai setahun, hanya seminggu, tetapi, bagi saya, sebuah kesempatan yang langka dan menggembirakan.

 

Saya biasanya menulis buku secara bertahap, mencuri-curi masa senggang di tengah pengerjaan terjemahan dan editing pesanan, menulis bagian demi bagian secara meloncat-loncat. Saat fakir orderan sehingga ada waktu luang cukup lama, saya bisa menuntaskan manuskrip tertentu. Tahun lalu, misalnya, saya tidak disibukkan oleh pengerjaan pesanan selama hampir tiga bulan, dan berhasil menyelesaikan Gendis: Ketika Kembang Tembakau Bermekaran, novel pendek yang ditayangkan di kumparan+. Melalui BRWC ini, seminggu di tengah alam bebas tanpa gangguan media sosial, rasanya saya bisa memoles satu-dua manuskrip yang sedang saya garap agar jadi naskah yang lebih cantik dan mudah-mudahan bisa memikat penerbit.

 

Nyatanya, BRWC menawarkan lebih dari sekadar ruang tenang untuk berfokus menulis. Dodi Mawardi, ketua panitia acara ini, memaparkan, “Bagi warga setempat, Batu Ruyud Writing Camp I 2022 menjadi semacam pesta rakyat. Mereka berkumpul di sana, menampilkan kreasi seni, budaya, dan juga kuliner khas lokal, menginspirasi sekaligus bisa mendapatkan ilmu, pengetahuan, dan juga inspirasi yang dibagikan oleh para mentor. Ada pelatihan menulis buku populer, jurnalistik, buku ajar, menulis artikel, menulis puisi, bermain teater, public speaking, fotografi, kewirausahaan, peningkatan kapasitas guru, dan lainnya. Di sana juga, kami akan berdiskusi tentang beragam isu lokal yang seharusnya menasional seperti kebangsaan, pertahanan keamanan perbatasan, sosial budaya, pendidikan, literasi, dan ekonomi masyarakat serta isu lainnya. Bersama para tokoh masyarakat (tomas), tokoh adat (toda), tokoh agama (toga), dan tokoh pemuda.”

 

Selanjutnya, tuturan Lio Bijumes ini membuat saya termenung. Melalui BRWC, saya akan berjumpa dengan warga Dayak, saudara sebangsa yang berada di wilayah perbatasan utara Indonesia dan memiliki latar budaya yang berbeda. Perjumpaan dengan manusia dan budaya baru, bagi saya, adalah tamasya yang menghangatkan hati. Meskipun hanya sepekan, saya ingin mencatat dan menuliskan perjumpaan itu sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

 

Insyaallah, Kamis (27/10), rombongan BRWC ashabul awwalun akan berangkat bareng dari Jakarta, terbang ke Malinau, lalu melanjutkan perjalanan ke Batu Ruyud, Ba’Binuang, Krayan Tengah, Nunukan. Jumat (28/10), bertepatan dengan peringatan 94 tahun Sumpah Pemuda, rangkaian acara BRWC akan dimulai. Ah, tak sabar untuk lepas sejenak dari hingar-bingar kota dan menikmati hidup di tengah alam hutan Kaltara! ***