Keminggris versus Kejawen
Kami baru saja pindah kontrakan ke daerah Kemetiran, Yogyakarta. Di dekat rumah ada toko kecil berjudul KemKid.
Ketika pertama kali membaca nama itu, pikiranku langsung menghakimi: keminggris nih. Kad kid kad kid apaan. Paling toko yang menjual keperluan anak-anak kecil dari popok, bedak, sampai mainan.
Aku kurang suka cara berbahasa yang keminggris: mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris atau menggunakan bahasa Inggris untuk sesuatu yang dengan gampang dan jelas bisa diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Bukan karena aku membencinya. Namun, aku merasa kurang mahir melakukannya.
Paling tidak, menurutku, ada dua kelompok orang yang keminggris. Kelompok pertama mereka yang berlagak melumuri omongannya dengan istilah-istilah Inggris biar kelihatan mentereng, padahal malah sering kelihatan tidak becus, sekadar which as which is, seperti yang disindir Remy Sylado dalam Kerudung Merah Kirmizi.
Kelompok kedua mereka yang memang poliglot, cakap beberapa bahasa sekaligus, dan gesit beralih kode. Kelompok kedua ini sebenarnya kurang pas dijuluki keminggris, yang menyiratkan makna sok atau sekadar berlagak, lha wong mereka ini memang mahir kok cas-cis-cus dalam berbagai bahasa, malah bikin ternganga jika menyimak kelincahan dan keluwesan alih kode mereka.
Aku kurang suka keminggris karena aku merasa condong ke kelompok pertama: kemampuan bahasa Inggrisku terbatas, khususnya secara lisan dan tertulis. Yang cukup lumayan ya membaca dan menerjemahkan. Kalau ngomong sesekali mrucut juga sih istilah Inggris tertentu, tetapi kalau menulis biasanya aku pikir-pikir betul, memastikan bahasa Inggrisnya tidak keliru.
Aku malah cenderung kejawen: suka menyisip-nyisipkan kosa kata Jawa dalam ucapan dan tulisanku. Lihat saja Trilogi Temanggung dan Gendis itu, misalnya. Kalau ngomong dalam bahasa Jawa ngoko, ya masih lancarlah, tapi kalau disuruh menulis, wah sudah jumpalitan.
Saat menulis dalam bahasa Indonesia, kadang-kadang aku merasa sedang berpikir dalam bahasa Jawa, tetapi terpaksa menuangkannya dalam bahasa Indonesia sehingga tulisanku itu secara tidak langsung adalah sebuah terjemahan. Mungkin begitu juga yang dirasakan teman-teman penulis lain dengan bahasa ibu masing-masing.
Bagaimana dengan KemKid tadi? Apakah pemilik toko ini juga keminggris? Setelah kuperhatikan lebih dekat, nyatanya itu toko kelontong biasa. Ngapain mesti pakai embel-embel Kid begitu?
"Jangan menghakimi secara terburu-buru, tetapi hakimilah secara adil," kuingat kata seorang multilingualis ternama.
KemKid ternyata punya nama panjang KemKid Mart, terjemahan dari Toko KemKid, yang tertulis di papan nama lain. Jelas ada gejala keminggris di sini. Namun, KemKid sendiri malah kejawen. Usut punya usut, KemKid adalah kependekan dari Kemetiran Kidul. Benar-benar tidak ada hubungannya dengan anak-anak. ***