Masalah-Masalah dalam Kecakapan Berbahasa
Mendengarkan. Berbicara. Membaca. Menulis. Keempatnya merupakan kecakapan berbahasa atau berkomunikasi. Atau, untuk meminjam gerakan yang tengah populer saat ini, kecakapan berliterasi.
Tampaknya kecakapan yang sederhana. Masalahnya, justru karena sederhana, lalu kerap disepelekan. Dianggap gampang untuk dikuasai. Cukup dengan pelatihan yang terbatas, orang sudah dapat dengan mudah melakukannya.
Mendengarkan dan berbicara mungkin bahkan dianggap kemampuan alami. Sepanjang organ pendengaran dan organ wicara seseorang beres, dengan sendirinya ia akan mampu mendengarkan dan berbicara. Seiring dengan bertambahnya usia, orang akan semakin cakap mendengarkan dan berbicara.
Adapun membaca dan menulis, awalnya orang memang perlu belajar dan berlatih. Namun, begitu ia bisa melafalkan tulisan dan menuliskan bentuk-bentuk huruf dengan tepat, secara bertahap ia akan semakin mahir membaca dan menulis.
Tampaknya demikian anggapan orang. Nyatanya, pertumbuhan kecakapan seseorang dalam berbahasa tidak berlangsung secara otomatis. Kecakapan tersebut perlu dilatih, dikembangkan, ditingkatkan, dan diperbaiki secara sengaja dan secara terus-menerus. Perlu diasah menjadi kian tajam, bukannya malah tumpul.
Pertanyaannya, seberapa serius lembaga pendidikan kita membina kecakapan berliterasi murid-muridnya? Dalam skala 1-10, berapa rata-rata kecakapan berbahasa seseorang setelah menyelesaikan pendidikan formal?
Sepertinya belum ada riset yang meneliti hal tersebut. Namun, pengamatan kasar berikut ini dapatlah memberikan gambaran tentang buah pendidikan literasi di negara kita.
Kecakapan mendengarkan. Kita mengenal istilah “kuping panci.” Ada juga ungkapan “masuk dari telinga kiri keluar melalui telinga kanan.” Ungkapan itu mengingatkan kita bahwa mendengarkan nyatanya bukan kecakapan yang sederhana dan, jujur saja, tidak sedikit dari kita yang gagal mengembangkannya dengan sungguh-sungguh. Kita cenderung susah menjadi pendengar yang baik. Salah satu tes sederhananya: pada Selasa pagi, siapa di antara kita yang masih ingat topik seminar yang kita dengar pada hari Senin?
Kecakapan berbicara. Simaklah sambutan dalam berbagai acara formal dan informal. Isinya berputar pada ucapan syukur kepada Tuhan, terima kasih kepada sejumlah pihak, tujuan acara, dan harapan agar acara sukses. Itu pun dengan rangkaian kata yang tak jarang ruwet dan jumpalitan.
Atau, seberapa banyak penjabat publik dan selebritas yang, ketika diwawancarai secara langsung, lancar melontarkan jawaban yang cerkas dan bernas? Bandingkan komentar juri di ajar pencarian bakat di sini dan di manca negara. Juri di luar lihai mengapresiasi peserta dengan kata-kata yang singkat, padat, jitu, dengan diksi yang bervariasi. Juri di sini? Kata-kata berhamburan melantur ke sana kemari, tetapi kurang bermakna.
Kecakapan membaca. Ini bukan hanya soal minat baca, tetapi terutama soal kemampuan membaca secara cerdas dan kritis. Era media sosial mengungkapkan banyak persoalan dalam kemampuan membaca ini.
Ada keterangan foto yang sudah menyebutkan lokasi, misalnya, tetap saja muncul komentar, “Itu di mana?” Orang bisa berdebat dari membaca judul belaka, tanpa sungguh-sungguh membaca isi suatu artikel. Atau, tagar tertentu mesti dicantumkan agar orang mengenali suatu tulisan sebagai satire. Belum lagi kalau kita membahas maraknya hoaks. Ada berita bohong atau salah bernada negatif, orang berbondong-bondong mem-bully si pelaku. Ada berita keliru tetapi bernada positif (sutradara asal Indonesia masuk nominasi Oscar), orang berduyun-duyun menyebarkannya tanpa memeriksa fakta dan datanya secara lebih cermat.
Kecakapan menulis. Kecakapan menulis tak ayal berkaitan erat dengan kecakapan membaca. Seseorang yang payah dalam membaca, yang menandakan proses berpikir yang tidak jernih, besar kemungkinan akan kesulitan menghasilkan tulisan yang runtut. Tidaklah heran jika kita kerap mendengar orang mengeluh tentang betapa sulitnya menulis itu, Atau, kita kerap menemukan tulisan yang buruk, tulisan yang alih-alih membuka wawasan dan mencerahkan malah membikin pening kepala.
Contoh-contoh di atas menegaskan bahwa kecakapan berliterasi—mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis—bukanlah kemampuan yang berkembang secara alami. Kecakapan-kecakapan tersebut perlu dipelajari, dilatih, dan dikembangkan.
Kita dapat belajar dan berlatih secara otodidak, mengikuti berbagai pelatihan kecakapan literasi yang bagus, dapat pula menempuh pendidikan formal. Sayangnya, di Indonesia kampus yang secara khusus menawarkan jurusan menulis, misalnya, tampaknya belum ada. Namun, sudah ada kampus yang menawarkan mata kuliah creative writing, dan bahkan mempersilakan mahasiswa menuliskan karya kreatif (misalnya, terjemahan atau manuskrip buku nonfiksi) sebagai skripsi.
Demikianlah sederet masalah sehubungan dengan kecakapan berbahasa--kecakapan yang terkesan sederhana, tetapi sesungguhnya berdampak luas, bahkan bagi kehidupan berbangsa. Para pegiat literasi perlu mengenalinya, dan memikirkan langkah-langkah perbaikannya, kiranya membuahkan hasil yang mencerahkan. ***