"Memanas-manasi" Yansen untuk Membaca Tetralogi Eric Weiner

"Selamat pagi Kang Pepih, semoga hari ini sehat. Sudah pernah baca buku ini?"
Sebuah pesan WhatsApp masuk saat saya terpuruk akibat kecelakaan lumayan fatal yang menimpa saya di awal tahun 2023 lalu. Pengirimnya Naomi Haswanto Sianturi, teman seangkatan kuliah beda jurusan di Fikom Unpad yang punya nama panggilan Cecil. Naomi kini menjadi direktur Public Relations Institut Teknologi Bandung (ITB).
Membaca pesan dengan dilampiri foto empat buku itu yang terbayang adalah wajah "Nyuyen", gadis Vietnam kembang desa yang terdampar di Pulau Galang, saat terjadi turbulensi Vietkong pada pertengahan tahun 1970-an, dalam sebuah novel yang saya baca. Cecil memang bertampang Vietnam.
Sejak masa kuliah, entah kenapa saya selalu mengasosiasikan Cecil dengan "Nyuyen" itu, mungkin karena wajahnya yang sangat oriental. Karena berbeda jurusan, interaksi saya dengan "Nguyen" tidak terlalu intensif, sekadar en passant alias sambil lalu saja. Mungkin ada bahaya mengancam jika terlalu sering bertemu.
"Ah ya, Naomi, saya pernah membaca satu buku dari Eric, The Socrates Express, buku filsafat yang ditulis sepanjang perjalanan kereta, buku yang mengasyikkan," balas saya menyebut nama resminya, tidak pernah memanggil nama panggilannya. Segan. Khawatir terperosok.
"Kalau begitu selamat membaca tiga buku sisanya," tulis Naomi lagi dan percakapan terhenti.
Saya pikir, nantilah saya akan mencari dan membaca ketiga buku Eric Weiner lainnya kalau sudah luang karena memang saya berniat membaca "tetralogi" filsafat Eric Weiner itu.
Tetapi sungguh tak disangka, tidak lama kemudian Naomi mengabarkan bahwa ada paket yang dikirim ke alamat rumah di Tasikmalaya, sedang saya sudah berada di Bintaro, Tangerang Selatan.
Saya paham, maksud Naomi mengirimkan buku itu untuk saya baca dalam masa-masa penyembuhan saya. Bahwa ternyata ia tahu saya suka filsafat dan Eric Weiner juga saya baca, itulah kejutannya.
Saya bilang 'no problem' buku dikirimkan ke alamat Tasikmalaya, adik saya Retha akan segera meneruskannya ke alamat saya di Bintaro.
Petang itu seusai membawa kucing "Starry" ke dokter hewan, kiriman Naomi sudah ada di tangan saya dan tentu saja saya akan membaca satu persatu "Man Seek God", "The Geography of Genius" dan "The Geography of Bliss" tulisan Eric Weiner ini.
"Ah, 'Nguyen', dulu kita jauh dan berjarak, tetapi dengan hadiah berhargamu ini, kini kau serasa berada tepat di sampingku," demikian penggalan kalimat dalam novel yang masih saya ingat.
Saya membaca dengan khidmat dan penuh minat tiga buku dari tetralogi itu berhubung buku tentang filsafat The Socrates Express sudah saya baca lebih awal. Buku ini mengilhami gaya penulisan saya akhir-akhir, semacam catatan perjalanan yang selintas namun detail, penuh kejutan ringan tak terduga sana-sini.
Saat melakukan perjalanan ke pedalaman Krayan selama 10 hari baru-baru ini bersama Yansen TP dan Masri Sareb Putra, laporan-laporan yang saya tulis dan saya muat di laman ytprayeh.com semuanya sudah bergaya Weiner ini.
Dalam kesempatan ngopi malam sambil menikmati pisang Malinau yang khas bersama Yansen, saya mempromosikan tetralogi Weiner -untuk tidak mengatakan memanas-manasi- agar pendiri Esplindo (Empat Sekawan Pegiat Literasi Indonesia) membaca buku yang menampar kesadaran ini. "Bagaimana filsafat yang dianggap rumit menjadi narasi ringan di tangan Weiner," kata saya setengah berpromosi, "dan jawara dari tetralogi itu justru The Geography of Bliss."
Yansen sepertinya tertarik dengan buku yang saya promosikan dan mulai googling melalui ponsel di genggamannya. Tetapi yang menjual paket buku sebagai satu kesatuan telah ludes, termasuk di MizanStore yang membeli hak menerjemahkan sekaligus menerbitkan buku ini. "Nanti saya carikan di toko buku Gramedia, mana tahu masih ada," janji saya.
Jika dulu ingat tetralogi Weiner ingat Nguyen, eh Naomi, sekarang bertambah satu lagi: ingat Yansen.
Situ Parigi, 21 Juni 2025