Prof. Agus Pakpahan dan CU Keling Kumang : Ketika yang Kecil Mengajari yang Besar

Di suatu siang yang ringan, 21 Juni 2025. Cahaya matahari menimpa pelan atap kampus khas Dayak. Gedung dengan ikon patung Keling Kumang dan para pendiri Credit Union, menyerupai gedung Harvard yang megah tegak di kota Sekadau, Kalimantan Barat.
Langit tak ramai, tak juga sunyi.
Di sebuah ruangan ugahari. Dua tangan saling menjabat: tangan seorang profesor dari Bandung, dari kota yang kerap kita sebut dengan kata "pusat" dan tangan seorang rektor dari Sekadau, daerah yang selama ini tak senantiasa hadir dalam percakapan nasional.
Penandatanganan nota kesepahaman itu tampak biasa. Tapi dalam kesederhanaan itulah, saya melihat sesuatu yang jauh lebih dalam: semacam getaran pelan dari perubahan arah sejarah.
Yang menandatangani nota itu adalah Prof. Agus Pakpahan, Rektor Universitas IKOPIN, dan Dr. Stefanus Masiun, Rektor Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK). Mereka bukan hanya mengikat dua lembaga, tetapi dua cara pandang: satu berangkat dari akademik formal, satu lagi berakar dalam kehidupan sehari-hari komunitas Dayak. Keduanya bertemu dalam sebuah ruang kecil yang jauh dari sorot lampu, tetapi dekat dengan denyut nadi masyarakat.
Saya mengikuti saksama momen itu. Via telepon juga chat WA. Tidak ada gegap gempita. Tidak ada siaran pers yang penuh jargon. Tapi ada kesungguhan. Dan ada satu hal yang jarang saya temui di dunia birokrasi: keheningan yang bermakna.
Prof. Agus Pakpahan datang ke Sekadau dan Sintang, wilayah timur Kalimantan Barat, bukan untuk memberi ceramah. Ia datang sebagai peziarah. Ia mengunjungi toko komunitas, kafe, kantor CUKK, hotel, berbicara dengan ibu-ibu penjaga kasir. Duduk bersama anak-anak muda yang sedang merintis usaha di bawah naungan koperasi. Ia tidak menampilkan diri sebagai akademisi yang serba tahu, tetapi sebagai seorang yang mencari kembali sesuatu yang hilang dari pembangunan: martabat.
Credit Union Keling Kumang bukan sekadar koperasi simpan pinjam. Ia adalah ekosistem. Ia adalah tubuh hidup yang tumbuh perlahan, diam-diam, tapi menyerap dari tanah yang kokoh: kepercayaan. Anggotanya telah mencapai lebih dari 230.000 orang. Asetnya lebih dari Rp 2,2 triliun. Tapi yang membuat Prof. Agus tertegun bukanlah angka. Ia terdiam ketika melihat laporan keuangan yang ditempel terbuka di dinding, bisa dibaca siapa saja. Ia merenung saat berbicara dengan seorang ibu yang menyebut koperasi sebagai "tempat menyelamatkan marwah".
“Koperasi itu bukan alat ekonomi,” katanya pelan di tengah perjalanan kami. “Ia alat keberadaban.”
Di tengah dunia yang dipenuhi dengan startup, venture capital, dan buzzword digitalisasi, kalimat itu seperti bisikan dari masa depan yang lebih manusiawi. Kalimat yang sederhana, tapi menyimpan dunia di dalamnya.
Prof. Agus Pakpahan tidak datang dengan program bantuan. Ia datang dengan keinginan belajar. Dan dari kunjungan itu, ia pulang dengan gagasan baru: bahwa model koperasi seperti CUKK adalah cetak biru alternatif untuk pembangunan Indonesia. Bukan untuk disalin mentah-mentah, tapi untuk dimengerti. Sebagai prinsip dasar, sebagai nilai-nilai yang bisa tumbuh dalam konteks lain.
Banyak dari kita percaya bahwa ekonomi dimulai dari modal uang. Tapi CUKK membalik asumsi itu. Di sini, ekonomi dimulai dari modal sosial: kepercayaan satu sama lain, kesediaan untuk berbagi, dan keberanian untuk saling bertanggung jawab. Tidak ada investor asing, yang ada adalah petani dan pedagang kecil yang saling menabung demi masa depan bersama. Tidak ada saham, yang ada adalah saham perasaan: rasa memiliki, rasa peduli.
Prof. Agus menyebut kunjungannya ke Sekadau dan Sintang sebagai ziarah intelektual. Tapi saya melihatnya sebagai pencarian filosofis. Ia menemukan bahwa pembangunan bukan soal pertumbuhan angka, tapi soal relasi antar manusia. Ia menemukan bahwa kemajuan bukan selalu datang dari pusat. Kadang, kemajuan itu tumbuh dari pinggiran, dari desa, dari kebun, dari rumah-rumah panjang yang masih hidup oleh nilai.
CUKK menunjukkan bahwa koperasi bukan proyek pemerintah. Ia bukan program, bukan pula strategi jangka pendek. Ia adalah proses yang panjang, yang ditopang oleh kesabaran. Ia tumbuh seperti hutan tropis: pelan, tapi tak tergantikan. Dan dari akar-akarnya yang dalam, tumbuh kepercayaan: sesuatu yang tak bisa dibeli oleh dana hibah.
Saya mendampingi secara intelektual dan batin Prof. Agus ke beberapa lokasi usaha CUKK. Di satu toko komunitas, CU-Mart, ia lihat barang-barang kebutuhan pokok tertata rapi. Tanpa penjaga keamanan. Tanpa cermin cembung di sudut ruangan. Tapi tidak ada yang mencuri. Karena di tempat ini, uang bukan satu-satunya nilai. Kepercayaan lebih mahal dari itu.
Prof. Agus juga berdarmawisata ke Keling Kumang Agro, suatu lokus nan-menawan. Letaknya di kaki gunung batu monolit terbesar di dunia, Bukit Kelam yang sebenarnya terang.
Rektor Ikopin dengan mata-kepalanya sendiri menyaksikan proses belajar di ITKK. Mahasiswanya bukan hanya duduk di kelas. Mereka terlibat dalam manajemen toko, ikut menyusun laporan koperasi, bahkan ikut mendesain program agrowisata. Mereka belajar bukan dari buku saja, tetapi dari kehidupan. Mereka belajar tentang tanggung jawab, transparansi, dan keberanian untuk gagal. Dan semua itu disiram oleh satu nilai yang mengikat: belarasa.
Di ITKK, pendidikan bukan jalan menuju kota besar. Tapi jalan kembali ke kampung, dengan membawa ilmu, dengan membawa semangat membangun dari dalam. Prof. Agus terkesan. Ia melihat kampus ini sebagai cikal bakal universitas masa depan: kampus yang menyatu dengan denyut masyarakat, bukan yang terpisah darinya.
“Sintang dan Sekadau,” tulisnya dalam catatan hari itu, “Adalah lokasi epistemik. Di sana, ekonomi, pendidikan, dan budaya saling menguatkan dalam satu napas.”
Saya percaya, kata-katanya lahir dari hati yang sedang tersentuh.
Prof. Agus tidak datang dengan program bantuan. Ia datang dengan keinginan belajar.
Dan dari kunjungan itu, ia pulang dengan gagasan baru: bahwa model koperasi seperti CUKK adalah cetak biru alternatif untuk pembangunan Indonesia. Bukan untuk disalin mentah-mentah, tapi untuk dimengerti. Sebagai prinsip dasar, sebagai nilai-nilai yang bisa tumbuh dalam konteks lain.
Indonesia hari ini tengah mencari-cari model pembangunan yang tidak hanya menciptakan pertumbuhan, tapi juga keadilan. Dan CUKK memberi jawabannya. Bahwa pembangunan bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan tanah, air, dan harga diri. Bahwa desa tidak harus menjadi korban kota. Bahwa yang kecil bisa mengajari yang besar, jika yang besar cukup rendah hati untuk mendengar.
Senjakalamenjelang malam. Cahaya terang mulai ditelan malam.
Prof. Agus meninggalkan Bumi Lawang Kuwari. Langit Sekadau sedikit pekat ketika itu, tapi bintang-bintang di talang langit surga, menyalakan benderang.
Di kampus kebanggan masyarakat sekadau dan sekitarnya. Para sivitas akademika duduk dan bercanda bersama.
Angin mengembus aroma tanah basah dan suara jangkrik. Prof. Agus memandang jauh ke depan.
“Indonesia,” katanya, nyaris seperti gumaman, “akan bangkit dari tempat-tempat seperti ini, bukan dari gedung-gedung tinggi di Jakarta.”
Saya mengikuti jejak langkah Prof. Agus. Dalam hati saya tahu, bahwa di telaga yang tersembunyi ini, kita telah menemukan air jernih bernama martabat.
Jakarta, 22 Juni 2025