Wisata

Api Unggun di Bawah Cahaya Purnama, Pelajaran Toleransi dari Krayan

Minggu, 15 Juni 2025, 07:54 WIB
Dibaca 84
Api Unggun di Bawah Cahaya Purnama, Pelajaran Toleransi dari Krayan
Bakar babi, ayam dan ikan di Krayan (Foto: Pepih Nugraha)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Petang itu kami menembus malam menuju kaki gunung Pa' Betung di pedalaman Kalimantan Utara, di tanah yang disebut Krayan. Menggunakan dua Land Rover berpenggerak empat roda yang demikian tangguh, kami menempuh perjalanan yang tak mudah ini. Di balik semua itu saya sendiri menemukan, jalan bukanlah sekadar urusan medan dan ketinggian, tetapi tentang ketekunan menaklukkan keterbatasan. 

Jalan yang terjal tanpa lapisan aspal yang hanya berselimut tanah liat bercampur bebatuan itulah yang kami rayapi. Tak ada sinyal, tak ada deru kendaraan kota, hanya gemerisik hutan dan embusan angin yang menusuk tulang. Tetapi di sanalah saya menemukan pelajaran paling berharga tentang kebersamaan dalam perbedaan yang begitu halus dan bermartabat. Sulit dibayangkan dengan imajinasi liar sekalipun.

Saat tiba kami sempat menikmati pelangi melengkung seperti menebas bukit. Saat berada di perkampungan yang dikelilingi hutan lebat dan semak perdu yang menyimpan banyak kisah tak lama kemudian, malam sudah mulai menggulung cahaya.

Udara dingin menyapa, menusuk tulang dari sela-sela kaus tanpa jaket karena tidak saya persiapkan sebelumnya. Namun, sambutan hangat datang tak dari ruangan mewah atau hotel berbintang, melainkan dari api unggun yang jilatan apinya menari-nari di halaman sebuah rumah warga Dayak. 

Kayu-kayu kering disusun rapi, terbakar perlahan, memancarkan aroma getah dan bara yang membuat tubuh segera merasa lebih hidup. Saya tidak ingin membeku di sini, gumam saya mendekati api unggun dengan lidah api yang menjilat-jilat udara.

Kami duduk melingkar. Wajah-wajah ramah tersorot cahaya jingga api unggun. Beberapa orang tua mulai bercerita tentang leluhur mereka, tentang berburu di hutan, tentang legenda yang turun dari gunung-gunung, tentang arwah hutan yang tak boleh diganggu, tentang tiga anak yang tersesat di hutan saat mencari damar agar punya modal untuk membeli kuota internet. Tetapi di antara semua kisah itu, ada satu momen kecil yang membekas begitu dalam: makan malam, itulah pintu masuk kehangatan.

Sebagai seorang Muslim, saya menyadari potensi kesulitan—atau setidaknya kecanggungan—dalam jamuan makan di tanah Dayak di Krayan, Long Bawan, Kabupatén Nunukan, Kalimantan Utara ini. Sebab bagi mereka, daging babi bukan hanya makanan, tetapi bagian dari tradisi, dari pesta panen, dari ritual budaya. Tetapi yang terjadi malam itu justru sebaliknya, saya dijamu dengan penuh kehormatan, penuh kesadaran atas keyakinan saya, tanpa membuat saya merasa berbeda atau disisihkan.

Di salah satu sisi halaman, mereka membakar babi hutan. Asapnya naik bersama aroma rempah lokal yang tajam. Tetapi tak jauh dari sana, mereka mendirikan tungku lain, khusus untuk saya. Ayam dan tiga ikan sungai, ikan Sultan namanya, dipanggang terpisah, tidak bersentuhan, tidak bersilang alat.

Bahkan alat pemanggangnya pun mereka bedakan—tak hanya karena aturan halal-haram, tapi karena mereka mengerti dan menghormati keyakinan saya tanpa harus mengubah siapa mereka.

"Tidak usah khawatir, kami mengajikan ayam dan ikan bakar untuk Anda di tempat pemanggangan berbeda," kata Daniel, pemilik pondok yang mengundang kami. Ia seolah-olah paham atas keraguan saya dan berusaha meredamnya. Saya satu-satunya muslim di antara keluarga besarnya itu.

"Saya justru kagum mengapa Bapak memperlakukan saya dengan cara terhormat seperti ini," timpal saya memperhatikan tiga ikan Sultan yang mulai dibakar setelah ayam selesai dibakar mengunakan tungku terbuat dari drum dengan kawat baja pembakaran di atasnya. Baik drum maupun alat pembakarannya terpisah. Seolah-olah tercipta garis demarkasi yang tak kasat mata di pegunungan berangin kencang ini.

Tak ada dalil agama yang dikutip malam itu, tak ada ceramah toleransi, tetapi justru karena itulah semuanya terasa tulus. Mereka tidak menjelaskan apa pun—mereka langsung menunjukkan maknanya. Seperti yang dikatakan Emmanuel Levinas, “Yang utama bukan memahami yang lain, tetapi menyambutnya.”

Dan itulah yang dilakukan saudara Dayak saya malam itu, menyambut tanpa banyak kata, memberi tanpa merasa lebih tinggi.

Api unggun terus menyala. Langit di atas kami bersih, tanpa awan. Bulan purnama tergantung seperti lentera putih raksasa, mengawasi perbincangan kami yang terus mengalir. Kami bicara tentang banyak hal, mulai dari anak-anak muda yang meninggalkan kampung, perubahan iklim yang mengubah pola tanam,  barang-barang dari negeri tetangga Malaysia dan tentang harapan. Ya, harapan sederhana untuk tetap hidup berdampingan.

Saya mengenang malam itu bukan karena hidangan lezat atau eksotisme budaya, tetapi karena nilai yang mengendap dalam jiwa, bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk duduk bersama, selama ada ketulusan dan pengertian. Seperti api unggun yang menyatukan kami malam itu, meski kami membawa kayu yang berbeda-beda. 

Yansen TP dan Masri Sareb Putra yang putra Dayak banyak bercerita lucu tentang kebiasaan orang Dayak, sungguh menghangatkan suasana yang sudah agak panas. Mardi, guru SMAK juga bercerita antusias tentang tersesatnya tiga siswa SD, SMP dan SMAK mencari damar di hutan dan baru ditemukan tiga hari kemudian.

"Lucunya, si anak SD ini yang jadi pemimpin, bahkan berusaha menghibur anak SMAK yang menangis. Bahkan menurut pengakuan mereka, si anak SD ini yang menjaga kedua seniornya saat tidur karena khawatir dimakan ular," cerita Mardi.

"Anak SD itu sungguh bakal menjadi pemimpin hebat dari Krayan di kemudian hari," timpal saya.

Toleransi sejati, saya kira, bukan soal siapa yang paling mampu berkompromi, tetapi siapa yang paling mampu mencintai dalam batas keyakinannya sendiri. Percakapan yang hangat adalah jembatannya.

Dan masyarakat Dayak di Krayan mengajarkan hal itu tanpa harus berkata-kata, cukup dengan memisahkan tungku pembakaran, juga kehangatan dalam bercerita.

Ketika akhirnya kami beranjak pulang, turun merayapi perbukitan di malam hari, suara binatang malam dan desir angin menggantikan percakapan. Saya sadar bahwa perjalanan ke gunung memang tidak mudah, jalannya berliku, buruk, dinginnya menggigit. Tetapi justru di tempat-tempat seperti itulah, makna hidup seringkali muncul lebih jernih, bahwa manusia bisa berbeda, tetapi tetap satu dalam rasa hormat dan kehangatan.

Di bawah langit bermandikan cayaha purnama, saya merasa pulang. Pulang ke nilai-nilai dasar kemanusiaan yang kadang hilang di tengah hiruk pikuk peradaban kota yang menjadi derita keseharian saya di Ibukota. Dan Krayan malam itu, lewat api unggun dan ayam bakar yang disajikan dengan hati, mengingatkan saya bahwa kebersamaan tidak perlu diseragamkan, cukup dijaga dengan kasih.

Rasanya perjalanan pulang sudah tidak berarti lagi, karena buat saya tidur di pondok terpencil di ketinggian bukit atau di dekat api unggun beratapkan langit jauh lebih bermakna. Memang tidak kesampaian seperti hasrat yang tertunda, tetapi saya berjanji untuk mengulang momen indah di Krayan ini, entah kapan.

Long Midang, 15 Juni 2025

***