Long Midang: Sempadan Indonesia - Malaysia yang Dibuat Kolonial

Dalam hening Long Midang, kudengar sayup Indonesia raya. Kutetap ada, di sini. Dalam belantara Borneo yang nyaris tak terjamah. Dalam anak-anak yang masih bicara dalam bahasa ibu, dalam adat yang tak pernah tamat.
Long Midang. Di mana gerangan lokus ulayat orang Lundayeh itu?
Tak perlu buka peta! Bayangkan saja ini, "Garuda di dadaku, Malaysia di perutku!"
Itulah yang kami Tim Espelindo (Empat-sekawan Pegiat Literasi Indonesia - Dr. Yansen TP, Masri, dan Pepih --Dodi mangkir) dengan mata-kepala sendiri, saksikan.
Siang itu, 15 Juni 2025. Usai melapor di pos penjaga perbatasan, askar-askar aktif Indonesia,3 konvoi iringan mobil kami yang bagi orang Jakarta "wah", memintas batas.
Sinar mentari bumi Krayan terik besinar. Tapi tak cukup mengurung niat kami menjejakkan kaki di sempadan.
Yansen mengabadikan saya dan Pepih, bagai ketilang di dahan cempaka: berloncatan kian kemari di sempadan. Batas imajiner geopolitik, yang dibuat orang asing, penjajah kedua negara: Kompeni Hindia Belanda dan Rajah Putih, bangsa Inggris.
"Saudara-saudara kami sejak semula tinggal di sana!' telunjuk Yansen mengarah ke jalan turun. Di ujung jarinya tanah ulayat Malaysia, Ba' Klalan.
***
Aku membayangkan sebuah ulayat yang tak tampak di peta besar, namanya Long Midang. Bagi banyak orang, bahkan bagi orang Indonesia sendiri, nama itu seperti serpihan dari dunia lain, asing, jauh, dan mungkin tak penting. Tapi justru di sanalah, di tempat yang terpencil itu, negeri ini dijaga dalam diam.
Long Midang, sebuah ulayat kecil di Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara, adalah batas. Tapi batas bukanlah garis mati. Ia adalah denyut yang konstan, seperti nadi yang tak terlihat namun menentukan, batas bisa rapuh, bisa juga tangguh. Di Long Midang, batas menjadi wajah, kadang muram, kadang tegar. Ia berbicara dalam bahasa Dayak Lundayeh yang sama dengan mereka di seberangnya, di Ba Kelalan, Sarawak, Malaysia, tapi maknanya tetap Indonesia.
Ada ironi yang tak usai di tempat ini. Perjalanan dari titik perbatasan Long Midang ke Ba Kelalan hanya satu kilometer. Bisa dengan mobil, seperti ke pasar. Tapi dari titik perbatasan lain di Lembudud ke Ba Rio, juga di Sarawak, butuh jalan kaki 10 hingga 12 jam. Perjalanan bukan semata soal jarak, tapi bagaimana sebuah batas memberi akses, dan kadang juga membatasi.
Aku membayangkan mereka yang tiap minggu menyeberang demi keluarga, demi sepak bola, demi budaya. Di sana, batas bukan tembok, melainkan jembatan. Di sini, nasionalisme bukan slogan, tetapi kehidupan sehari-hari. Seorang ibu membawa keranjang rotan melintasi perbatasan untuk menjual hasil kebun. Seorang anak muda menyeberang untuk ikut pertandingan bola. Seorang tetua adat membawa bijak kata dan cerita, mengulang tradisi yang tak pudar oleh peta negara.
Long Midang adalah wajah Indonesia yang jarang kita lihat. Ia bukan Jakarta, ia bukan Bali. Tapi dari tempat seperti inilah, arti Indonesia diuji. Dan, entah kenapa, justru di tempat yang jauh dari pusat kekuasaan itu, Indonesia terasa lebih nyata. Tidak dalam bentuk gedung-gedung tinggi atau jargon pembangunan, tapi dalam bentuk tekad, dalam bentuk kesabaran yang tak pernah dikutip di berita nasional.
Saya ingat kalimat tua dari seorang filsuf, "The frontier is where civilization is tested." Perbatasan, batas negeri, adalah ruang ujian. Dan Long Midang lulus ujian itu bukan dengan kekerasan, tetapi dengan keberlanjutan. Di sana, hutan primer masih hidup. Tidak ditebang, tidak dijual. Angin masih membawa bau tanah yang bersih. Udara tidak dibungkus karbon dan deru mesin. Mereka menjaga sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kekayaan, ekologi sebagai identitas.
Ada yang bilang, ekowisata adalah masa depan. Tapi di Long Midang, itu bukan masa depan, itu adalah masa kini yang lahir dari masa lalu. Hutan mereka bukan wahana, tetapi rumah. Bukit-bukit yang membungkus ulayat bukan lanskap Instagram, tetapi bagian dari napas mereka. Longhouse yang mereka tinggali bukan museum budaya, tapi denyut kehidupan. Di sini, pelestarian bukan proyek, tapi warisan.
Dan tetap, mereka terbuka. Terhadap wisatawan, terhadap perubahan, terhadap kemungkinan. Tapi tidak dengan menyerah pada arus. Mereka tahu, modernitas bisa datang sebagai kawan atau perampok. Maka mereka memilih menjadi tuan di rumah sendiri. Ekowisata mereka bukan untuk konsumsi eksotis, melainkan pertukaran, antara tamu dan tuan rumah, antara dunia luar dan kearifan lokal.
Apa yang membuat Long Midang berbeda dari ulayat tetangganya di Malaysia, meskipun sama-sama dihuni oleh Dayak Lundayeh? Barangkali jawabannya adalah pilihan. Pilihan untuk bertahan, untuk tetap Dayak, tetap Indonesia. Mereka tidak menolak hubungan ekonomi dan sosial lintas batas, tapi mereka tidak larut di dalamnya. Di tengah globalisasi, mereka menjadi bukti bahwa keterbukaan tidak selalu berarti kehilangan.
Di Long Midang, nasionalisme tidak keras kepala. Ia luwes, tapi berakar. Ia tahu kapan memberi, kapan menjaga. Dalam tradisi, dalam bahasa, dalam kerajinan tangan, dalam tarian dan upacara, mereka bicara tentang siapa mereka. Di perbatasan ini, identitas bukan proyek politik, tapi napas hidup.
Namun, mereka juga menghadapi tantangan. Infrastruktur. Akses. Risiko pariwisata yang tak terkendali. Risiko ekologi yang terganggu. Di sinilah ironi lain muncul, pembangunan bisa jadi penghancur, kalau tidak hati-hati. Maka, Long Midang harus cerdas memilih jalan, bagaimana membangun tanpa melukai.
Aku membayangkan Long Midang seperti puisi yang belum selesai. Setiap kunjungan ke sana seperti membaca bait baru. Kadang tentang perjuangan, kadang tentang kebahagiaan sederhana, makan bersama dalam longhouse, mendengar suara alam saat malam turun tanpa listrik, atau melihat anak-anak berlari di ladang tanpa sepatu tapi dengan tawa utuh.
Mereka tidak butuh sorotan. Mereka butuh kehadiran yang tulus. Tidak sekadar wisatawan, tetapi penziarah nilai. Orang yang datang bukan hanya untuk melihat, tapi untuk belajar. Tentang kesederhanaan. Tentang keteguhan. Tentang bagaimana menjadi manusia di tengah keterbatasan.
Long Midang, dengan segala sunyinya, berbicara lebih lantang daripada pidato-pidato nasional. Ia tidak memekik, tapi menggemakan sesuatu yang dalam, bahwa menjadi bagian dari bangsa ini tidak harus dalam bentuk parade. Kadang, cukup dengan menjaga hutan. Cukup dengan setia pada adat. Cukup dengan tidak menjual tanah untuk jalan pintas.
***
Di era ketika perbatasan makin kabur oleh digitalisasi dan globalisasi, Long Midang justru menunjukkan bahwa batas fisik masih penting. Bukan untuk memisahkan, tapi untuk menegaskan, bahwa kita ada. Bahwa kita hadir. Di ujung yang sepi dari republik ini, Long Midang berdiri bukan sebagai pos pengawas, tapi sebagai puisi tentang keberanian.
Maka siapa pun yang datang ke sana, pulang bukan hanya membawa foto, tapi juga pemahaman. Bahwa Indonesia tidak hanya Jakarta dan Jawa. Bahwa identitas tidak selalu keras, tapi bisa lembut dan tenang. Seperti Long Midang, ulayat yang jauh, tapi justru dekat dengan makna Indonesia yang sejati.
Jakarta, 23 Juni 2025.