Wisata

Ekowisata Garam Gunung Krayan di Perbatasan 

Selasa, 17 Juni 2025, 10:36 WIB
Dibaca 378
Ekowisata Garam Gunung Krayan di Perbatasan 
Saya di pabrik garam gunung Long Midang (Foto: Dok. Pribadi)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Di perbatasan yang memisahkan namun menyatukan antara Indonesia dan Malaysia, tersimpan sebuah rahasia alam yang merangkum esensi kehidupan, yaitu garam gunung Krayan. Dalam bahasa-bahasa dunia, garam kerap menjadi metafora—dari “banyak makan asam garam” dalam Bahasa Indonesia yang melambangkan kearifan pengalaman, hingga peribahasa Sunda “uyah tara tees ka luhur” yang menggambarkan sifat baik atau buruk orangtua tercermin dari prilaku anaknya.

Namun, di Long Midang, Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara, garam bukan sekadar bumbu atau simbol. Ia adalah napas bumi, titipan leluhur, dan jembatan spiritual yang mengajarkan kita tentang ketekunan, kesederhanaan, dan harmoni dengan alam. 

Berlawanan dengan pepatah “asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam belanga,” di Krayan, garam dan asam lahir dari rahim gunung yang sama. Di sini, logika bahasa terbalik, seolah alam ingin mengajarkan bahwa kebenaran sejati sering kali melampaui kata-kata.

Pada Jumat, 13 Juni 2025, kami, rombongan pegiat literasi dari Esplindo (Empat Sekawan Pegiat Literasi), yakni Pepih Nugraha (saya sendiri), Yansen TP, Masri Sareb Putra dan Gunawan (mengisi sementara posisi Dodi Mawardi) melangkah menuju destinasi yang tak biasa ini, sebuah pabrik garam gunung yang bukan hanya tempat produksi, melainkan juga ruang refleksi.

Perjalanan menuju Long Midang adalah meditasi itu sendiri. Dari perbatasan Indonesia-Malaysia, kendaraan kami menikung tajam, melintasi jalanan yang seolah menuntun kami lebih dalam ke pelukan alam. Di ujung perjalanan, empat plang kokoh menyapa, dihiasi ornamen Dayak yang sarat makna. Tulisan di plang itu berbunyi: “Sakti Mandra Guna, Wisata Garam Gunung Krayan, Pengolahan Air Asin Menjadi Garam, Indonesia-Malaysia”, diapit gambar bendera Merah Putih dan bendera Malaysia. Plang ini bukan sekadar penanda lokasi, melainkan simbol harmoni dua bangsa yang berbagi rahasia alam yang sama.

Pabrik garam gunung ini bukanlah destinasi wisata biasa. Seorang antropolog budaya mengatakan, garam gunung Krayan adalah “manifestasi kearifan lokal yang menyatukan manusia dengan alam dan leluhur. Proses pengolahannya adalah ritual yang menghormati siklus kehidupan.” Keunikan ini menjadikan Long Midang salah satu destinasi ekowisata yang kini dilirik dunia, dengan data dari Dinas Pariwisata Kalimantan Utara (2024) mencatat kunjungan wisatawan ke Krayan meningkat 15% dalam dua tahun terakhir, sebagian besar tertarik pada wisata garam gunung.

Sorles Penjaga Api dan Waktu 

Di dalam pabrik, kami disambut oleh Sorles, seorang perempuan kelahiran 1975 yang wajahnya mencerminkan ketabahan. Awalnya dingin, senyumnya perlahan mengembang saat kami berbincang. “Cukup panggil saya Sorles,” katanya sederhana, seolah nama itu menyimpan cerita panjang tentang hidup di perbatasan. Bersamanya ada Viola, putrinya yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar, asyik bermain ponsel di ayunan kain, kontras dengan kesibukan ibunya yang menjaga tiga tungku air garam.

Api di tungku tak pernah padam, menyala selama 24 jam penuh, seperti detak jantung bumi. Sorles menjelaskan, “Jika api padam, proses terhenti, dan garam tak akan lahir.” Dalam 24 jam, air garam yang mendidih menghasilkan 10 hingga 12 kilogram garam gunung—putih, murni, tanpa campuran bahan kimia. Dari sembilan tungku yang beroperasi, rata-rata 33 kilogram garam dihasilkan setiap hari, dengan harga Rp55.000 per kilogram, menghasilkan pendapatan harian sekitar Rp1,8 juta.

Menurut laporan Badan Pusat Statistik Kalimantan Utara (2025), industri garam gunung ini menyumbang 8% pendapatan ekonomi lokal di Krayan, sekaligus menjadi sumber mata pencaharian utama bagi warga seperti Sorles dan Ainun, pekerja lain yang kami temui bersama putrinya, Saraswati.

Namun, di balik angka-angka itu, ada pelajaran yang lebih dalam. Sorles, yang bergiliran menjaga tungku selama seminggu penuh, mengajarkan tentang kesabaran dan pengabdian. “Garam ini bukan hanya untuk dimakan,” katanya. “Ini cerita tentang bagaimana kita hidup bersama alam.”

Pernyataannya selaras dengan pandangan para pakar ekowisata yang menyebutkan bahwa “garam gunung Krayan adalah simbol keseimbangan ekologis dan spiritual. Prosesnya yang alami mengingatkan kita bahwa kesederhanaan adalah kemewahan sejati.”

Garam gunung Krayan bukan sekadar komoditas. Ia adalah cerminan hubungan manusia dengan alam, sebuah pengingat bahwa apa yang kita anggap sederhana sering kali menyimpan makna mendalam. Dalam tradisi Dayak Lundayeh, garam gunung dianggap suci, digunakan dalam ritual untuk menyucikan dan menyatukan komunitas. “Garam ini adalah darah bumi,” kata Tokoh Adat Long Midang, Yohanes, dalam wawancara dengan sebuah harian tahun 2024 lalu. “Ia mengajarkan kita untuk menghormati apa yang diberikan alam, tanpa mengeksploitasinya.”

Mengapa Garam Ada di Gunung?

Pertanyaan tentang mengapa ada sumber garam di pegunungan seperti di Krayan, Kalimantan Utara, merupakan pertanyaan yang menarik secara geologis dan ilmiah. Meskipun garam identik dengan laut, keberadaan mata air asin atau sumber garam di daerah pegunungan melalui banyak literatur sebenarnya punya penjelasan ilmiah yang kuat. Salah satunya tentang jejak laut purba dari sisi paleogeologi.

Daerah Krayan dan sekitarnya, meskipun kini berupa pegunungan, dulunya bisa jadi merupakan bagian dari laut purba. Selama jutaan tahun lalu, wilayah tersebut bisa terendam air laut atau berada dekat laut dangkal. Seiring waktu, proses geologi mengangkat dasar laut menjadi daratan atau pegunungan karena tektonik lempeng (pergerakan kerak bumi) atau subduksi alias tumbukan antarlempeng yang mengangkat sedimen laut.

Di dalam lapisan batuan sedimen ini tersimpan endapan garam laut dalam bentuk batuan garam (NaCl) yang terperangkap. Garam ini kemudian larut kembali oleh air tanah dan muncul ke permukaan dalam bentuk mata air asin.

 

Keberadaan garam di gunung juga bisa dijelaskan dengan adanya proses pelarutan garam di bawah tanah di mana air hujan yang meresap ke dalam tanah bisa mencapai lapisan batuan sedimen yang mengandung garam. Ketika air tanah ini melarutkan garam, air tersebut menjadi asin dan kemudian keluar melalui rekahan atau mata air alami di permukaan, termasuk di pegunungan. Proses ini disebut pelarutan hidrotermal jika melibatkan panas dari dalam bumi. Di Krayan, air asin yang muncul ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menghasilkan garam gunung secara tradisional.

Fenomena sumber garam non-laut seperti di Krayan dapat ditemukan juga di beberapa tempat lain di dunia seperti Himalaya yang terkenal dengan garam yang berasal dari endapan laut purba. Selain itu  Pegunungan Andes, Pegunungan Appalachia di Amerika Serikat, dan pegunungan di Jepang, juga menghasilkan garam. Hal ini menegaskan bahwa sumber garam tidak hanya berasal dari laut saat ini, tetapi dari laut purba yang sudah lama menghilang akibat proses geologis.

Untuk garam gunung di  Krayan dapat dilihat sebagai warisan geologi, berasal dari mata air asin alami yang muncul di beberapa lokasi seperti Long Midang, Pa’Raye, Long Bawan, bahkan Batu Ruyud Binuang. Masyarakat sudah sejak ratusan tahun menggunakan metode tradisional untuk mengolah air asin menjadi garam. Garam ini disebut juga “garam gunung” atau “garam Krayan”, dan uniknya memiliki kadar mineral tertentu yang berbeda dari garam laut.

Saat kami meninggalkan Long Midang, matahari mulai condong ke ufuk barat. Cahayanya memantul pada butir-butir garam yang baru dikemas, seolah menyampaikan pesan tentang keabadian. Garam gunung Krayan bukan hanya tentang rasa, tetapi tentang perjalanan—dari air asin yang mendidih di tungku hingga pelajaran tentang ketekunan, harmoni, dan kearifan yang tersimpan dalam setiap kristal.

Di perbatasan ini, garam bukan hanya bumbu; ia adalah filosofi hidup, sebuah undangan untuk merenungi makna di balik hal-hal sederhana yang sering kita abaikan.

Malinau, 17 Juni 2025