Hanya di Krayan Saya Berani Makan Sultan

Sultan, dalam konteks sejarah dan budaya, biasanya merujuk pada gelar penguasa atau raja dalam kerajaan-kerajaan Islam, seperti di Kesultanan Utsmaniyah atau Kesultanan Melayu. Gelar ini menunjukkan kekuasaan tertinggi, baik secara politik maupun agama, dan sering dikaitkan dengan kemewahan serta otoritas. Di Indonesia, istilah "sultan" juga digunakan untuk penguasa kerajaan tradisional, seperti Sultan Yogyakarta atau Sultan Ternate.
Di Krayan, saya hampir setiap hari makan sultan. Tetapi tentu saja bukan Sultan Melayu atau Sultan Yogya yang saya makan, melainkan ikan sultan. Catatan perjalanan singkat ini bercerita tentang kuliner Krayan yang khas dan unik karena tidak akan dujumpai di daerah lain, khususnya tentang ikan sultan ini.
Selama berada di Long Bawan, Krayan Induk, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, kami biasa makan siang maupun malam di rumah keluarga Kurus dan Vera yang memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan. Kurus ini agak ironi. Namanya Kurus, tetapi kenyataan tubuhnya gempal, berotot, dan bertato. Dia adalah Kurus yang gemuk. Masakan lezat dihidangkan oleh Vera, sang istri yang sangat sopan dan komunikatif.
Hari pertama diundang makan siang di keluarga pasangan Kurus-Vera, kami disuguhi hidangan mie goreng Malaysia. Enak dipandang dan memang menggiurkan, terutama aroma mie goreng yang khas perbatasan, yang tidak saya jumpai di Tanah Jawa. Jujur, mie goreng buatan Vera membuat lidah lekas bergoyang, bumbunya pas dan mienya khas.
“Sudah waktunya kau buka restoran, masakanmu sungguh enak,” komentar Yansen TP saat menikmati mie goreng. Saya mengamini usulan tokoh Krayan terkemuka ini, mengingat ada beberapa rumah makan yang menyajikan mie serupa tetapi tidak semaknyus bikinan Vera. Yang dipuji malah seperti tidak percaya dan balik bertanya, “Iya, toh?”

Di rumah pasangan Kurus-Vera itulah saya untuk pertama kali mencicipi ikan sultan, ikan khas sunga-sungai berair deras Kalimantan. Tetapi sedikit ironis, negeri tetangga yang lebih agresif membudidayakannya, sementara warga Krayan menjadi pembelinya, yang mereka beli menggunakan jalur Long Bawan-Long Midang-Pa’belalan.
Ikan sultan yang menjadi komoditas perikanan kebanggaan daerah Krayan tengah menjadi sorotan. Itu karena tingginya permintaan dari negara tetangga, Malaysia. Ikan ini dijual dengan harga Rp55.000 perkilogram di pasar Malaysia, menunjukkan nilai ekonomis yang signifikan bagi masyarakat lokal. Meski begitu, budidaya ikan sultan di Krayan masih sangat terbatas. Di Krayan, ikan ini lebih banyak ditangkap dari alam ketimbang dibudidayakan, berbeda dengan di Malaysia, di mana ikan sultan—yang dikenal sebagai ikan "Koan"—sudah banyak dibudidayakan secara intensif.

Ikan sultan memiliki daya tarik tersendiri karena tekstur dagingnya yang lembut dan cita rasa yang khas, menjadikannya pilihan favorit untuk berbagai olahan kuliner. Namun, karena keterbatasan budidaya di Krayan, potensi ekonomi dari ikan ini belum sepenuhnya tergarap. Lokasi Krayan yang berada di dataran tinggi dan berbatasan langsung dengan Malaysia menjadikan akses pasar ke negara tetangga lebih mudah, tetapi tantangan seperti infrastruktur jalan yang kurang memadai masih menjadi hambatan dalam pengembangan produksi dan pemasaran ikan ini.
Rahasia Kuliner yang Menjaga Warna Kangkung
Selain ikan sultan, Krayan juga terkenal dengan garam gunungnya, yang memiliki keunikan dan kualitas luar biasa. Garam gunung krayan, atau yang disebut "tucu" oleh masyarakat lokal Dayak Lundayeh, dihasilkan dari mata air asin yang mengalir dari dalam tanah di pegunungan Krayan.
Berbeda dengan garam laut, garam ini diolah dengan metode tradisional, yaitu dengan merebus air asin dari sumur dalam drum stainless steel di atas tungku kayu bakar selama 24 jam, lalu menjemur kristal garam hingga kering. Proses ini menghasilkan garam dengan salinitas tinggi dan kandungan mineral seperti natrium, magnesium, kalsium, kalium, dan seng, dengan kadar air kurang dari 5 persen.
Salah satu kehebatan garam gunung Krayan adalah kemampuannya menjaga warna hijau pada sayuran, seperti kangkung, saat dimasak. Penelitian dari Universitas Mulawarman pada tahun 2012 menunjukkan bahwa garam ini membantu menstabilkan klorofil pada sayuran, sehingga warna hijau kangkung tetap cerah dan tidak cepat layu setelah dimasak. Hal ini menjadikan garam gunung krayan pilihan favorit untuk masakan, terutama untuk hidangan sayuran yang mengutamakan estetika dan kesegaran.

Keunikan garam gunung krayan yang tidak mengubah warna kangkung ini menjadi andalan Chef Yohanes Rigis, seorang pensiunan guru dan lulusan Universitas Mulawarman, yang dikenal sebagai rekan dari Yansen TP, saat mereka berada di Samarinda pada tahun 1980-an. Yohanes, yang memiliki passion dalam dunia kuliner, selalu menggunakan garam gunung krayan untuk masakan khasnya, terutama kangkung tumis. Di Jalan Omega, Long Bawan, ia membuka warung makan "Kapan Lagi" dengan menu unggulan sup ikan sultan dan ca' kangkung.
Menurut Yohanes, garam gunung ini tidak hanya meningkatkan cita rasa, tetapi juga menjaga tampilan kangkung tetap hijau dan segar, sebuah keunggulan yang sulit didapat dari garam biasa.
Di rumah makannya di lantai dua yang menghadap lapangan luas, Yohanes menemani kami makan siang sambil berbincang tipis-tipis tentang kehidupan Krayan. Selain ca' kangkung yang berwarna hijau menggoda lidah, ia juga menyajikan sup kuning ikan sultan yang segar. Kepala ikan sultan sering menjadi ributan di atas meja, bagaimanapun cara menghidangkannya, sebab kepala ikan sultan ternyata bagian yang terlezat, tentu dengan menggunakan garam gunung.
Selain untuk masakan, garam gunung krayan juga dipercaya masyarakat lokal memiliki manfaat kesehatan, seperti membantu mengatasi diabetes, hipertensi, dan masalah kulit. Penelitian dari Universitas Mulawarman juga menemukan bahwa garam ini mengandung yodium tinggi serta mineral lain seperti zat besi dan seng, yang mendukung manfaat kesehatannya. Bahkan, garam ini pernah menjadi komoditas favorit Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei Darussalam, yang juga mengonsumsi beras organik adan dari Krayan.

Meski memiliki potensi ekonomi yang besar, baik ikan sultan maupun garam gunung krayan masih menghadapi tantangan dalam pengembangan. Untuk ikan sultan, kurangnya budidaya lokal membuat pasokan bergantung pada penangkapan liar, yang tidak berkelanjutan. Sementara itu, produksi garam gunung krayan, meskipun telah menembus pasar Malaysia dan Brunei dengan harga jual Rp50.000 per kilogram di dalam negeri dan hingga 60 Ringgit per kilogram di Malaysia, terkendala oleh akses transportasi yang sulit dan metode produksi yang masih tradisional.
Tentu saja pemerintah dan masyarakat setempat perlu bekerja sama untuk meningkatkan infrastruktur dan teknologi produksi, baik untuk budidaya ikan sultan maupun pengolahan garam gunung. Dengan demikian, kedua komoditas ini dapat menjadi pilar ekonomi yang lebih kuat bagi Krayan, sekaligus mempertahankan warisan budaya dan alam yang unik dari dataran tinggi Kalimantan Utara.
Terlebih lagi ikan sultan dan garam gunung krayan merupakan dua kekayaan alam Krayan yang tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga budaya dan kesehatan. Ikan sultan, dengan permintaan tinggi dari Malaysia, berpotensi menjadi komoditas unggulan jika budidaya dapat dikembangkan. Sementara itu, garam gunung krayan, dengan keunggulannya menjaga warna hijau kangkung dan manfaat kesehatannya, telah membuktikan kualitasnya hingga digemari oleh Sultan Brunei.
Dengan sentuhan kuliner dari tokoh seperti Chef Yohanes Rigis, kedua produk ini menjadi simbol keajaiban Krayan yang patut dilestarikan dan dipromosikan lebih luas.
Malinau, 18 Juni 2025