Wisata

Puisi Hidup dari Sempadan Long Midang-Ba’kelalan

Rabu, 18 Juni 2025, 08:42 WIB
Dibaca 426
Puisi Hidup dari Sempadan Long Midang-Ba’kelalan
Kurus, warga Krayan, menyeduh kopi di perbatasan (Foto: Pepih Nugraha)

Pepih Nugraha

Penulis senior

pada pelukan hutan kalimantan
di mana kabut bersetubuh dengan embun pagi
krayan berdiri sebagai anak sempadan
antara garis peta dan nyanyian leluhur yang pergi

sempadan adalah garis khayal yang rapuh
bukan tembok kokoh melainkan luka tak kelihatan
warga krayan adalah penjaga ujung negeri
berdiri bagai pohon tua, kokoh namun merindu perhatian

mereka terbiasa meniti jalan lumut licin oleh air mata hujan
menuju pasar mencari secercah harapan
gula negeri tetangga manis di lidah tapi pahit di hati
saat negeri sendiri terasa berjauhan

wahai pemerintah sang pengelana di kota batu
tahukah kau denyut krayan yang kian sayu
jalan-jalan kami adalah urat nadi tanah
tapi retak terabaikan, patah oleh janji yang kelabu

sekolah yang layak adalah mimpi kabur di kabut pekat
lampu listrik hanya kilau di ufuk yang tak sampai
kesehatan bagai angin singgah lalu pergi
meninggalkan krayan dalam pelukan sunyi.

kami bernyanyi Indonesia raya di sempadan
dengan merah-putih yang berkibar di dada
namun suara kami terdengar samar bagai daun yang jatuh
terbawa angin tak didengar di singgasana ibukota

hutan ini saksi dan pohon-pohon tetap berbisik
tentang anak-anak krayan yang merindu buku
tentang ibu-ibu yang menanti obat di malam sepi
tentang pemuda yang bermimpi di bawah langit yang murung

pemerintah, dengarlah ratap kami
bukan emas yang kami pinta, bukan pula istana megah
hanya jalan yang rata agar langkah tak tersesat
dan cahaya ilmu yang tak pudar di tengah rimba

krayan si jantung di ujung negeri
penjaga sempadan yang setia pada tanah
jangan biarkan kami bagai daun kering
gugur tanpa suara di rimba yang setia

pada sempadan ini kami tetap bernyanyi
meski suara serak oleh debu dan luka
indonesia, ibu kami, dengarlah krayan,
peluk kami sebelum hutan menelan harap selamanya

Long Midang, 13 Juni 2025

Sungguh saya tidak mahir menekan-nekan papan ketik virtual di ponsel untuk melahirkan sebuah puisi, karena puisi bagi saya terlalu agung untuk ditulis. Akan tetapi dalam perjalanan ke pedalaman Krayan kali ini, khususnya saat berada di perbatasan Long Midang-Malaysia, terciptalah puisi di atas yang jauh dari rima dan estetika. Saya pikir tidak menjadi masalah, yang penting dalam bait-bait puisi itu saya menitipkan suara yang tidak mungkin saya katakan.  

Jumat, 13 Juni 2025 saat Israel mulai menyerang Iran secara besar-besaran, di jantung hutan Kalimantan yang diselimuti kabut, sempadan Indonesia-Malaysia di Ba’kelalan dan Long Midang, saya berdiri di atas garis khayal bagai aliran sungai yang memisahkan namun menyatukan. Ia, sempadan itu, bukan sekadar batas negara, melainkan metafora kehidupan, yakni sebuah ambang tempat manusia, alam, dan sejarah bercerita tentang kebersamaan di tengah keterpisahan. Di sini, hutan adalah kanvas, dan setiap langkah kami melukis cerita.

Perjalanan dimulai dengan langkah penuh hormat ke Pos Gabungan Masyarakat (Gabma) Long Midang, markas Satgas Pengamanan Perbatasan RI-Malaysia dari Batalyon Zeni Tempur 8. Di pos ini, waktu berjalan pelan, seolah gerakan penari-penari mengikuti bisik irama dedaunan yang bergoyang. Prajurit berwajah ramah mencatat kehadiran kami, sebuah ritual birokrasi yang menjaga denyut kedaulatan di tengah rimba. Di luar, aroma tanah basah dan suara burung menyapa, mengingatkan bahwa hutan adalah tuan rumah sejati.

Tiba di titik sempadan, sebuah plang hijau bertuliskan “MLY” berdampingan dengan plang “RI” yang dihiasi bendera Merah-Putih. Bendera kedua negara berkibar pelan, bagai dua sahabat yang berbagi rahasia di bawah naungan pohon-pohon raksasa. Di sini, kami—para pegiat literasi Esplindo, saya, Yansen TP, Masri Sareb Putra, bersama teman-teman Krayan, termasuk Kurus yang berbadan besar dan Hendri—berdiri dengan dada membusung. Dengan penuh khidmat, kami melantunkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Suara kami bergema, bercampur dengan desau angin, seolah hutan turut bernyanyi, menyaksikan cinta kami pada tanah air di ujung negeri.

Di bawah langit yang disapu kabut, kami menyeduh kopi Kapten buatan Sidoarjo, aroma pahitnya membangunkan indera di tengah udara sejuk. Namun, ada sentuhan ironis: gula tebu yang kami tabur berasal dari Malaysia, seolah sempadan ini merangkum dunia dalam secangkir kopi. Kami duduk di batang kayu yang dipahat alam dan kursi lipat yang sengaja kami bawa, memandang warga yang melintas menggunakan sepeda motor tanpa nomor polisi.

Mereka, baik dari Indonesia maupun Malaysia, memacu sepeda roda dua bermesin itu dengan kecepatan nyaris merayap meniti tanjakan, membawa keranjang belanjaan dari pasar Ba’kelalan, Malaysia. Produk Malaysia—sabun, minyak, beras—telah menjadi darah kehidupan di warung-warung Long Midang, Long Layu, Long Bawan, hingga Binuang, mengalir ke seluruh Krayan.

Sempadan ini bukan penghalang, melainkan jembatan tak kasat mata yang menghubungkan kebutuhan dan mimpi.

Hutan di sekitar kami berdiri adalah saksi abadi. Pohon-pohon tua dengan akar yang mencengkeram bumi seolah berbisik bahwa “batas hanyalah ciptaan manusia, kami ada di sini sebelum garis-garis khayal itu digambar.” Kabut yang melayang rendah bagai tirai tipis, menyamarkan jarak antara dua negara, antara kini dan masa lalu. Di sini, waktu terasa seperti sungai yang mengalir tanpa suara, membawa cerita leluhur yang pernah melintas di jalur yang sama.

Setelah kopi habis, kami melangkah menuju pabrik garam gunung Long Midang, sebuah tempat yang lahir dari rahim bumi. Jalan setapak menuju pabrik dipenuhi perdu, tanah merah dan bebatuan, seolah menguji keteguhan hati.

Di kejauhan, suara air dari mata air gunung mengiringi langkah kami. Pabrik ini bukan sekadar tempat produksi, tetapi simbol bahwa dari perut bumi yang sama, garam mengalir ke meja-meja makan di kedua sisi sempadan, mengingatkan bahwa bumi tidak mengenal batas.

Namun, di tengah keindahan sempadan ini, sebuah pertanyaan menggantung, bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia memperlakukan warga Krayan di Long Midang? Mereka adalah penjaga setia ujung negeri, yang hidup dalam harmoni dengan hutan dan sempadan. Pemerintah selayaknya melihat mereka bukan sebagai warga pinggiran, tetapi sebagai jantung kedaulatan.

Akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur harus mengalir seperti sungai ke Krayan, memberi mereka kekuatan untuk terus menjaga identitas Indonesia di tengah arus global. Kebijakan haruslah seperti hutan; kokoh namun fleksibel, melindungi tanpa membelenggu, agar warga Krayan dapat berkembang tanpa kehilangan akar budaya mereka.

Sempadan Ba’kelalan-Long Midang adalah puisi hidup. Di sini, lagu kebangsaan bergema, kopi Indonesia bercampur gula Malaysia, dan warga melintas tanpa beban. Hutan menjaga rahasia keabadian, mengajarkan bahwa batas sejati bukanlah garis di peta, tetapi dinding di hati.

Di Long Midang, dinding itu telah lama runtuh, dan yang tersisa adalah kebersamaan yang mengalir bagai sungai, abadi dan tak terputus.

Malinau, 18 Juni 2023