Sahabat Sejati Dikenali di Saat Sulit

Kami berempat menamakan diri Esplindo atau Empat Sekawan Pegiat Literasi Indonesia. Pemberi nama Yansen TP, yang bagi kami bukan sekadar penggerak, tetapi pengungkit sekaligus pendorong kegiatan tulis-menulis. Kamis, 19 Juni 2025, ia sudah berada di balik kemudi Fortuner, mengantarkan saya dan Masri Sareb Putra, anggota Esplindo lainnya, ke Pelabuhan speedboat di Malinau.
Kebersamaan kami di Krayan, Nunukan hingga Malinau di Kalimantan Utara tercatat selama sepuluh hari. Selama itu, kami punya banyak pengalaman yang layak diceritakan satu persatu.
Dengan sejumlah orang-orang terdekat di kediamannya, bisa saja Pak Yansen, demikian kami biasa memanggilnya, meminta salah satunya mengantarkan kami berdua ke pelabuhan. Namun itu terjadi. Yansen sendiri yang berniat mengantarkan kami. “Biar saya yang antar,” katanya. Wow! sungguh suatu kehormatan. Singgah di ATM sebentar di depan Bandara RA Bessing, kami melanjutkan perjalanan ke pelabuhan yang jaraknya terhitung dekat dari bandara.
Kehangatan tidak selalu terjadi di saat pertemuan. Sebaliknya, kehangatan justru terjadi saat perpisahan. Yansen berinisiatif mengambil kebersamaan bertiga dengan foto selfie, juga meminta orang-orang terdekatnya mengabadikan persahabatan kami sebelum speedboat membawa kami ke Tarakan. “Okay, hati-hati selalu, ya!” pesan Yansen menyalami saya, juga Masri.
Saat masuk ke kabin speedboat yang kursinya sudah terisi kecuali jatah saya -Masri bahkan tidak kebagian kursi dan diminta duduk di depan di samping nakhoda- saya merenung sekaligus mengenang persahabatan kami pegiat literasi, khususnya mengingat kebaikan dan energi positif yang selalu ditularkan mantan wakil gubernur Kalimantan Utara itu.
Bagi saya, Yansen bukan sekadar sahabat. Ia teman diskusi yang mengasyikkan. Berbagai topik seperti tak ada habis-habisnya kami bicarakan. Mengalir seperti air dari pegunungan Yuvai Semaring di Long Bawan. Yansen akan bersemangat jika sudah bercerita tentang Krayan, “ibu kandung negeri” yang melahirkannya. Tidak aneh jika ia seperti tak terpisahkan dengan sebidang wilayah di pedalaman Kalimantan Utara yang tercipta saat Tuhan sedang bergembira. Ibarat pelukis alam, Tuhan melukis Krayan saat “mood” tinggi, di mana kejadian apapun tidak bisa mengintersepsi-Nya.
Kami sendiri, anggota Esplindo, bukan hanya menulis buku, tetapi menulis Indonesia, bahkan menulis semesta yang tak berbatas langit. Itu sebabnya kata “Indonesia” bukan sekadar gagah-gagahan atau asal sebut, tetapi diniatkan untuk menulis negeri ini dari berbagai sudut . Sementara Krayan adalah locus pertama di mana kami harus berhenti, mengamati, merasakan dan berinteraksi dengan penduduknya. Krayan adalah surga hijau dan organik yang masih tersembunyi. Atau, kota-kota dunia tahu Krayan tetapi menutup mata. Padahal yang kami rasakan, Krayan adalah surga dunia itu sendiri.
Saat speedboat melaju, saya mengenang Yansen sekitar lima tahun lalu saat kami berada di Batu Ruyud. Virus corona sedang mengamuk dan berada di titik ganas-ganasnya saat itu. Tetapi kami berlima, sengaja menenggelamkan diri di sebuah pondok besar bercat biru di bawah Lembah Batu Ruyud, Krayan, hanya untuk menulis tanpa terhubung ke dunia luar. Internet dan sinyal GSM barang langka dan bahkan tidak tersedia di tempat kami menulis. Saya sempat terbangun pukul 3 jelang dinihari karena panggilan alam: buang air kecil.
Saya melihat pintu depan pondok terbuka dan di beranda yang temaram menghadap gunung yang hitam pekat, saya melihat Yansen sedang menulis sendiri, menghadapi MacBook kesayangannya. Sementara kami, para pegiat literasi, sudah terkapar akibat cekikan kantuk. “Wah, masih menulis, Pak?” sapa saya mengganggu konsentrasinya. “Ya, mumpung sedang mengalir,” katanya. Mengalir di sini berarti flow, istilah dalam literasi di mana kata-kata mengalir bagai air sungai jatuh dari pegunungan.

Kami dipersatukan dalam napas literasi. Saya pribadi tidak memandang “kuasa dan materi” sebagai alat saat berkhidmat untuk terus bersahabat, melainkan lebih ke nurani yang bicara. Jika hitung-hitungannya materi dan kuasa, sudah lama “stuck”. Kami selalu tenggelam dalam kebahagian; kebahagian bercerita apa saja dan menulis menuangkan gagasan tentang berbagai hal. Orang bisa saja mengira-ngira, lepas dari kekuasaan adalah awal dari keterpurukan dan pecahnya persahabatan. Tetapi tidak bagi kami. Bahkan saya pribadi merasa babak baru persahabatan justru dimulai.
Mengapa saya katakan demikian? Karena saya melihat kesungguhan Yansen untuk terus menjaga marwah diri dan semangatnya yang berkobar meski tidak lagi berada di lingkup kekuasaan. Tidak berhasil menjadi gubernur bukan berarti menutup langkah, Yansen terus berjalan dengan membuka lembaran baru hidupnya sebagai pribadi utuh tanpa keraguan bertindak, tanpa gangguan birokrasi.
Saat menjadi pejabat atau birokrat di berbagai level, mungkin interaksi antara dirinya dengan rakyat agak berjarak karena tekanan protokoler yang harus ditempuhnya. Tidak demikian kini. Tidak ada lagi tembok protokoler yang menghadang saat ia berinteraksi dengan warga, sebagaimana saya saksikan sendiri di Long Bawan, Krayan Induk.
Bagi saya, selain sahabat, yansen kini adalah seorang pendamping warga yang bersemangat, seorang manusia yang memilih jalan berdebu di ujung negeri untuk menabur benih harapan. Sepuluh hari bersamanya di Krayan bukan sekadar perjalanan menelusuri tanah terpencil, tetapi juga sebuah pengembaraan batin, menyingkap makna persahabatan yang tulus, yang tak ternilai oleh kuasa atau harta.
Speedboat terus melaju. Baru saja Tana Tidung kami lalui, tetapi ingatan akan Yansen belum menguap. Persahabatan kami pertama lahir pada 2012 saat pesta Erau 2 yang berlangsung di Malinau. Semula panitia menempatkan saya sebagai salah satu pembedah buku “Revolusi Desa” di penginapan kecil, tetapi mungkin yang terbaik di Malinau. Buku hasil disertasi doktoralnya itu ditulis ulang olehnya dan disunting Dodi Mawardi, yang kemudian menjadi anggota tim Esplindo.
Belum lagi beristirahat merebahkan badan, seorang utusan berseragam pemda datang, meminta saya pindah ke penginapan khusus tamu di rumah dinasnya selaku bupati Malinau. Saya yang kala itu masih bekerja di Harian Kompas dan sedang bersemangat membesarkan media sosial Kompasiana serasa mendapat kehormatan luar biasa, mengingat hanya para pembicara saja yang bermalam di rumah dinas itu.

Yansen, dengan pengalamannya sebagai birokrat—dari camat hingga puncak kariernya sebagai wakil gubernur—tak pernah menjadikan ikatan kami sebagai tangga menuju ambisi. “Kita menulis untuk mengerti dan memahami,” katanya suatu kali, suaranya pelan namun penuh keyakinan dan sesekali ketegasan, “bukan untuk menguasai.”
Bersama-sama, kami bertukar pikiran, mencatat kisah-kisah warga, dan belajar bahwa persahabatan sejati adalah ketika jiwa-jiwa berjalan seiring, tanpa beban kepentingan, hanya dipandu oleh keikhlasan.
Yansen TP adalah sosok yang telah melihat gemerlap kekuasaan, namun memilih untuk tidak terpikat. Pada Pilkada 2024, ia memang tidak berhasil menjadi gubernur. Gagal bukan karena kurangnya visi atau dukungan, melainkan karena ia menolak politik uang yang telah menjadi rahasia umum. Lawan-lawannya bersilomba membeli suara rakyat dengan iming-iming rupiah, sementara Yansen bersikukuh pada prinsip. “Saya tidak akan menodai hati rakyat,” katanya saat saya berkesempatan menemaninya di Tarakan ketika kampanye politiknya berlangsung. “Saya ingin memulai tradisi yang baik, yakni berkompetisi tanpa politik uang.”
Kekalahan yang sudah menjadi bayang-bayang itu tak membuatnya meratap. Ia justru turun ke bumi, ke Krayan, ke wilayah perbatasan yang nyaris tak tersentuh perhatian pemerintah pusat. Di sana, ia menjadi pendamping, motivator, dan sahabat bagi warga yang kerap mengeluh tentang pengabaian. “Jangan mengeluh,” katanya berulang-ulang, suaranya tegas namun hangat, “lakukan saja apa yang bisa kalian lakukan. Jangan menanti budi baik pemerintah.”
Selama sepuluh hari di Krayan, saya melihat sosok Yansen yang berbeda. Ia tak lagi bicara soal masa lalu, tidak tentang keberhasilan atau kegagalan. Pikirannya melaju ke masa depan—bukan untuk dirinya, yang ia anggap “sudah selesai” di dunia birokrasi, tetapi untuk generasi penerus.
Yansen bercerita tentang Tipa, anak tertuanya, yang ia dorong menjadi pengusaha di Malinau. Juga tentang Xena, putrinya, yang mengembangkan bisnis madu dan komoditas khas Dayak lainnya. Ocha dan Richard tak luput ia ceritakan, meski sekilas saja. Sedang Ping Ding, istrinya, masih menjabat sebagai Ketua DPRD Malinau.
“Mereka harus punya mimpi besar,” katanya, matanya berbinar di bawah sinar mentari saat kami menikmati pisang Malinau dan hangatnya kopi kapten di Bang Abak, salah satu tempat favoritnya, “dan saya hanya ingin memberi dorongan.”
Dalam nada suaranya, ada keikhlasan yang menembus tirai hujan yang mulai jatuh menimpa danau berair tenang di mana saya biasa bersampan, sebuah penerimaan bahwa hidup bukanlah soal menang atau kalah, melainkan soal bagaimana kita mengisi waktu dengan makna.
Bagi saya pribadi, persahabatan yang tulus adalah ketika kita saling menguatkan tanpa mengharapkan imbalan atau materi. Yansen mengajarkan hal itu, bukan lewat kata-kata besar, tetapi lewat tindakan sederhana yang menampar kesadaran.
Suatu sore, di tengah jalan berdebu Malinau, ia menghentikan mobilnya agak pelan, kemudian membunyikan klakson mobilnya. Itulah cara ia menyapa saudaranya atau bahkan warga Krayan yang tengah tenggelam dalam pekerjaan, warga yang bahkan tak terlihat.
Momen yang kelak takkan terlupa saat ia mengantar saya dan Masri ke pelabuhan akan tercatat dalam ingatan, terukir dalam sanubari. Di Pelabuhan yang ramai pagi itu, di bawah langit yang kini cerah, Yansen berkata, “Tetap jaga semangat.”
Saya hanya mengangguk, tercekat oleh penghormatan yang ia tunjukkan, lalu berjabatan tangan perpisahan. Tindakan itu bukan sekadar kebaikan, tetapi sebuah pernyataan bahwa persahabatan sejati adalah soal menghargai satu sama lain, bahkan dalam hal-hal kecil.

Di Krayan, saya belajar tentang makna persahabatan. Ia adalah cermin jiwa yang tak mudah retak hanya karena perbedaan pandangan. Bersama Yansen, saya lambat-laun memahami bahwa ikatan yang tulus tak memerlukan gemerlap jabatan atau gelimang materi. Ia adalah tentang berbagi mimpi, tentang saling menguatkan di tengah badai hidup yang kerap menyergap, dan tentang meninggalkan jejak kebaikan bagi mereka yang datang setelah kita.
Saat speedboat mendekati Pelabuhan Tarakan yang berarti perjalanan menyusuri Sungai Sesayap segera berakhir, terpatri satu pelajaran penting bahwa hidup bukan soal menang atau kalah, tetapi soal bagaimana kita menjalani waktu dengan hati yang ikhlas, seperti yang Yansen lakukan.
Dan saat kaki menapaki dermaga Tarakan, saya yang belajar otodidak bahasa Latin teringat satu pribahasa: Amicus certus in re incerta cernitur, "sahabat sejati dikenali saat berada dalam keadaan sulit".
Bintaro, 20 Juni 2025
***