Sosok

Samuel TP dan Jalan Terjal Krayan Menuju Otonomi

Sabtu, 21 Juni 2025, 08:37 WIB
Dibaca 539
Samuel TP dan Jalan Terjal Krayan Menuju Otonomi
Samuel TP alm. (Foto: Istimewa)

Pepih Nugraha

Penulis senior

 Pesawat Super Air Jet yang saya tumpangi dijadwalkan mendarat pukul 13.50 WITA di Bandara Juwata Tarakan, kota teramai dan terpadat di Kalimantan Utara. Selasa, 10 Juni 2025 itu saya harus menunggu 4,5 jam di Bandara Sepinggan, Balikpapan sebelum pindah pesawat ke Tarakan. Lebih mendebarkan lagi, speedboat terakhir dari Pelabuhan Tarakan ke Malinau dijadwalkan lepas jangkar pukul 14.00 WITA. What, bagaimana mungkin dalam sisa 10 menit saya bisa meraih Pelabuhan yang berjarak dan memakan waktu?

Pak Sukri, orang kepercayaan Yansen TP yang menjemput saya di bandara Juwata wanti-wanti memberi petunjuk. Katanya, begitu pesawat berhenti, langsung berjalan ke depan melalui Lorong sebelum penumpang lain berdiri memenuhi lorong. Nyatanya, roda-roda pesawat menyentuh landasan pukul 14.01 WITA, belum lagi menunggu pesawat merayap ke area parkir di mana seluruh penumpang masih harus tetap duduk. Meski tidak ada bagasi karena sudah diwanti-wanti, tetap saja saya baru bisa berdiri di Lorong pukul 14.10 dan… jelas speedboat terakhir ke Malinau tidak mampu saya kejar.

“Telat sudah, tidak ada lagi speedboat ke Malinau,” kata Pak Sukri dengan logat makassar-nya yang masih kental. “Tidak tahu lagi harus pakai apa,” katanya lagi. Saya mencoba tidak panik. Memang menjadi taruhan besar karena kalau saya stranded atau terlunta-lunta di Tarakan dan baru keesokan paginya ke Malinau, artinya saya gagal berangkat ke Long Bawan, Krayan, sebagaimana tujuan yang telah direncanakan, sebab dari Malinau pesawat SMART akan terbang pukul 08.00 WITA.

Masih banyak jalan menuju Malinau, pikir saya membesarkan hati. Bagaimanapun Pak Sukri tetap mengantarkan saya ke pelabuhan dan alhamdulillah, masih tersisa satu tiket ke Tanjung Selor. Allah sudah mengaturnya demikian, telat semenit saja saya kehabisan tiket dan menjadi persoalan baru. Dengan demikian, dari ibukota Kaltara Utara itu saya akan meneruskan perjalanan menggunakan jalan darat. Sudah ada sopir yang menjemput dan akan mengantarkan saya ke Malinau. Nasa, namanya.

Di Pelabuhan Tanjung Selor, Nasa -nama ini mengingatkan saya ke badan antaraksi Amerika Serikat sehingga mudah saya ingat- belum hadir sehingga saya harus menunggu sekitar 20 menit. Waktu tunggu saya manfaatkan untuk mengenang Tanjung Selor, ibukota Kalimantan Utara di mana kami, pegiat literasi yang tergabung dalam Esplindo (Empat Sekawan Pegiat Literasi Indonesia), pernah tinggal selama berminggu-minggu untuk menyusun buku Sejarah Kalimantan Utara yang tak pernah terwujud meskipun pekerjaan telah kami selesaikan.

Kala itu puluhan narasumber baik di Jakarta, Jawa Barat sampai Kalimantan Timur telah kami datangi dan wawancarai, berbagai sudut Kalimantan Utara telah kami singgahi, tetapi rupanya kekuasaan tidak menghendaki buku Sejarah Kalimantan Utara itu terwujud. Kami terjegal di ujung usaha yang sebenarnya telah rampung kami kerjakan sebagai draft buku, termasuk telaah komprehensif Prof Asvi Marwan Adam dari LIPI, wawancara Dr. Andi Alifian Malarangeng dan Dr. Ryaas Rasyid. Ah, “Je finirai par l’oublier,” pikir saya teringat lagu merdu yang disenandungkan Nana Mouskouri, “saya akan mengakhiri dengan melupakannya.”

Nasa datang kemudian. Seorang pemuda berkacamata yang mengenakan topi. Ia tersenyum dari balik kemudi Hilux double cabin. Selintas saya bangga karena akan disopiri aktor muda korea yang berseliweran di film-film drama Korea yang membuai itu. Tetapi mimpi saya terlalu tinggi. Nasa hanya mirip pemuda Korea yang sopan. Dia adalah keponakan Yansen TP, penggerak literasi sekaligus pendiri Esplindo yang mengundang saya ke Krayan. “Maaf terlambat,” katanya menyalami saya yang sebatang kara menunggu di depan pelabuhan.

Saya langsung mengenali Nasa saat perayaan Natal, 25 Desember 2020 di Malinau di mana  “anak ini” hadir bersama ayahandanya, Samuel TP. Saat virus corona mengancam jiwa-jiwa yang tenang, saya berserta anggota Esplindo lainnya hadir di kediaman Yansen TP, menghadiri perayaan Natal keluarga besar Tipa Padan ini setelah selama seminggu berada di Batu Ruyud, Krayan.

Saya mencoba memantik ingatan Nasa dengan peristiwa saat saya duduk berdampingan dengan ayahanda Nasa, yaitu Samuel, dan bicara soal masa depan Krayan di sela perayaan Natal. Sebulan kemudian, persisnya 31 Januari 2021, saya mendengar Samuel yang saat itu menjabat Kepala Biro Pengelola Perbatasan Negara Kalimantan Utara meninggal dunia akibat terkena Covid-19. Sang kakak, Yansen TP, demikian terpukul atas kepergian adiknya itu.

Dan, anak Samuel tertua Samuel itu kini berada di samping kanan saya, mengendalikan kemudi kendaraan berpenggerak empat roda yang akan membelah malam dari Tanjung Selor menuju Malinau. Sambil disopori, sejenak saya mengenang Samuel TP dan karyanya yang luar biasa ini sebulan sebelum berpulang...

Krayan Sang Pemilik Modal Alam

Samuel adalah doktor yang “berisi” dan rendah hati. Interaksi antara saya dengannya berlangsung hanya sekejap saja, tetapi meninggalkan kesan yang mendalam. Ia bercerita tentang buku yang ditulis berdasarkan disertasinya. Telaahnya menarik, yakni Krayan yang secara geografis terletak di ujung utara Indonesia, berbatasan langsung dengan Sabah dan Sarawak, Malaysia, sebagai pemilik modal alam yang berlimpah. Sejak lama dan dipertegas dalam buku itu, surga organik di Kalimantan Utara itu bercita-cita menjadi Daerah Otonom Baru (DOB). Upaya itu bahkan terus dilakukan oleh tokoh-tokoh Krayan seperti Gat Khaleb yang mendatangi Gedung DPR, menyuarakan hasrat Krayan sebagai DOB beberapa bulan lalu.

Di mata Samuel, Krayan bukan sekadar titik di peta. Wilayah ini menyimpan kekayaan alam luar biasa yang bisa menjadi fondasi masa depan sejahtera, sekaligus tantangan untuk mengatasi keterbatasan yang selama ini membuat perbatasan terasa rapuh. Penelitian Samuel mengungkap bagaimana modal alam—seperti hutan, pertanian tradisional, dan kearifan lokal—bisa menjadi kunci untuk membangun Krayan yang mandiri, kuat, dan berdaya.

Bayangkan hutan-hutan lebat Krayan yang menyediakan kayu, gaharu, rotan, bambu, madu, hingga tanaman obat tradisional. Tambahkan pula ladang-ladang organik yang dikelola secara tradisional, menghasilkan padi adan, sagu, dan buah-buahan yang tak hanya menjadi sumber pangan, tetapi juga identitas budaya masyarakat setempat. Inilah “modal alam” yang menjadi jantung dari rencana pembentukan Kabupaten Krayan sebagai daerah otonom baru.

Modal alam ini bukan sekadar sumber daya mentah. Jika dikelola dengan baik, hutan dan pertanian Krayan bisa menjadi motor penggerak ekonomi lokal. Bayangkan petani lokal tak lagi menjual hasil panen ke Malaysia karena infrastruktur di Krayan sudah memadai. Masyarakat tak lagi melirik “negeri jiran” untuk kebutuhan sehari-hari, melainkan bangga berpaling ke Indonesia. Dengan otonomi, Krayan bisa mengelola sumber dayanya secara lestari, menciptakan lapangan kerja, dan bahkan menarik investasi.

Daerah perbatasan seperti Krayan sering kali terisolasi, dengan akses terbatas ke infrastruktur, pendidikan, dan peluang ekonomi. Kondisi ini membuat masyarakat setempat rentan beralih orientasi ke negara tetangga yang tampak lebih menjanjikan. Otonomi daerah menawarkan solusi: memberi Krayan keleluasaan untuk mengelola sumber dayanya sendiri, membangun infrastruktur yang layak, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Namun, otonomi bukan perkara sederhana. Penelitian yang dilakukan Samuel dalam bentuk disertasi ini menunjukkan bahwa pembentukan daerah otonom baru membutuhkan keterlibatan pemerintah pusat, daerah, dan—yang terpenting—dukungan masyarakat lokal. Tanpa perencanaan matang, otonomi bisa jadi beban baru. “Oleh karena itu, Krayan harus mempersiapkan diri dengan baik, mulai dari pengelolaan sumber daya hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia,” demikian Samuel menyimpulkan.

Samuel mengingatkan, pembentukan Kabupaten Krayan sebagai daerah otonom baru bukan tanpa rintangan. “Infrastruktur yang masih minim, seperti jalan, listrik, dan akses pasar, menjadi hambatan utama,” tulisnya. Selain itu, “diperlukan kebijakan yang jelas untuk melindungi kearifan lokal dan memastikan pengelolaan sumber daya alam tetap lestari. Misalnya, pertanian organik dan tradisional Krayan adalah aset budaya sekaligus ekonomi yang harus dijaga dari eksploitasi berlebihan.”

Namun, tantangan ini juga membuka peluang. Dengan otonomi, Krayan bisa mengembangkan model pengelolaan yang berbasis pada kekhasan lokal. Pertanian organik, misalnya, bisa menjadi daya tarik wisata atau produk unggulan untuk pasar nasional. Hutan-hutan Krayan, jika dikelola secara berkelanjutan, bisa menjadi sumber pendapatan jangka panjang tanpa merusak lingkungan.

Samuel merekomendasikan tiga langkah besar untuk mewujudkan Krayan sebagai daerah otonom yang sukses. Pertama perlindungan hukum untuk kearifan local, di mana pemerintah daerah perlu membuat regulasi yang melindungi pengelolaan sumber daya alam secara tradisional, seperti pertanian organik dan pemanfaatan hutan secara lestari. Kedua, peningkatan kualitas SDM, yakni pendidikan, baik formal maupun informal, harus diarahkan untuk melestarikan kearifan lokal sekaligus membekali generasi muda dengan teknologi dan pengetahuan modern. Ketiga, kebijakan yang kuat di mana pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk mengoptimalkan potensi modal alam Krayan, memastikan pembangunan yang efektif, efisien, dan berkelanjutan.

Bagi Samuel, Krayan bukan lagi sekadar daerah terpencil di perbatasan. Dengan modal alam yang melimpah dan semangat otonomi, Krayan berpotensi menjadi contoh sukses pembangunan daerah perbatasan. Bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang harga diri bangsa—membuktikan bahwa perbatasan Indonesia bisa menjadi pagar yang kokoh, sekaligus pintu gerbang menuju kesejahteraan. Dengan langkah yang tepat, Krayan bisa bertransformasi dari “ujung dunia” menjadi pusat harapan baru bagi masyarakatnya.

Jalan Terjal Menuju Otonomi

Mimpi besar tidak datang tanpa rintangan. Infrastruktur di Krayan masih seperti teka-teki yang sulit dipecahkan. Jalan yang memadai masih langka, listrik dan air bersih sering jadi barang mewah. “Kami sedang berupaya keras membangun akses jalan dan meningkatkan transportasi udara dari Tarakan atau Tanjung Selor untuk memperlancar distribusi barang,” ungkap seorang pejabat dari Dinas Pekerjaan Umum Kalimantan Utara, yang memilih tidak disebut Namanya, saat berterus-terang (mungkin agar terang terus) kepada masri Sareb Putra, anggota Esplindo.

Tantangan ini membuat warga Krayan kerap melirik Malaysia untuk kebutuhan sehari-hari, sebuah kebiasaan yang ingin diubah melalui pembangunan “Toko Indonesia” di perbatasan. Toko ini, yang didukung Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara, akan menyediakan barang bersubsidi agar warga tak lagi bergantung pada negeri jiran. Saat saya melintas menuju Krayan Barat, terlihat “Toko Indonesia” ini belum beroperasi. Lokasinya terpencil dari keramaian Long Bawan, sedangkan akses jalan di depan “Toko Indonesia” masih terjal dan berbatu.

Di sisi lain, Krayan tak hanya bertaruh pada infrastruktur fisik. Pemberdayaan sumber daya manusia menjadi kunci. Program wajib belajar 16 tahun digulirkan untuk membekali generasi muda dengan pendidikan, sementara UMKM dan koperasi diperkuat untuk mendorong ekonomi lokal. Peraturan Desa (Perdes) berbasis kearifan lokal Lundayeh menjadi pedoman, memastikan pembangunan tak mengorbankan budaya atau lingkungan. Masyarakat adat Lundayeh juga dilibatkan sebagai penjaga Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) seluas 103.339 hektar, menjaga habitat satwa langka sekaligus memperkuat peran mereka sebagai tuan rumah di tanah leluhur.

Krayan bukan lagi sekadar titik di perbatasan. Dengan sumber air garam yang unik, hutan yang memesona, dan pertanian organik yang kaya nilai budaya, Krayan punya potensi menjadi destinasi wisata sekaligus model DOB yang inspiratif. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat adat, dan pemangku kepentingan menjadi tulang punggung untuk mewujudkan visi ini. Seperti kata Samuel, sebagaimana dikutip Masri, “Krayan bukan hanya soal otonomi, tetapi tentang membuktikan bahwa perbatasan bisa menjadi pusat harapan baru.”

Di tengah hutan lebat dan ladang-ladang hijau, Krayan sedang menulis cerita baru. Dari beras yang disanjung setinggi langit hingga garam yang bernilai emas, wilayah ini sejatinya telah siap melangkah dari pinggiran menuju panggung utama pembangunan Indonesia. Kendalanya ada di mana? Itulah misteri yang tak terpecahkan hingga Samuel menutup mata.

 Bintaro, 21 Juni 2025

***