Sosok

Masri, Sepatu dan Garam Gunung

Kamis, 19 Juni 2025, 12:48 WIB
Dibaca 209
Masri, Sepatu dan Garam Gunung
Masri Sareb Putra di Pulau Sapi (Foto: Pepih Nugraha)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Masih menjadi misteri mengapa setiap berangkat naik pesawat bersama rekan Masri Sareb Putra, penulis dayak produktif, selalu saja terjadi "trouble" ringan yang paling tidak memakan waktu beberapa menit untuk mengurusinya.

Momok Masri di bandara adalah sepatu yang dipakainya dan garam gunung yang dibawanya!

Peristiwa pertama terjadi tiga tahun lalu saat transit di Bandara International Yogyakarta (YIA). Dari tiga orang penumpang yang merupakan satu rombongan, yaitu saya, Dodi Mawardi dan Masri Sareb Putra, hanya nama terakhir yang bermasalah. Saat itu Pak Masri, demikian saya memanggilnya, sempat adu mulut dengan petugas bandara. 

"Kau jilat sajalah garam itu," kata Masri "keluar" dayaknya ketika petugas nyerocos tentang serbuk putih yang dikemas seperti tabung yang dibungkus daun panjang itu. Ajaib, petugas bandara itu mencicip garam gunung krayan yang kami bawa. Kemudian ia meyakini bahwa itu memang garam gunung dan menyilakan kami bertiga meneruskan perjalanan.

Persoalannya, mengapa hanya garam Masri saja yang diperiksa dan terkena inspeksi mencurigakan, padahal dari tampang tak sedikitpun Masri berwajah penyelundup narkoba. Sementara saya yang cenderung pendiam lolos, apalagi Dodi Mawardi yang bertampang ustad alim, lancar banget. Mungkin petugas bandara takut kualat kalau memeriksa garam ustad Dodi. Sementara memeriksa garam gunung Masri dianggap jihad fi Sabilillah

Peristiwa kedua terjadi saat tulisan ini saya susun di Bandara Juwata Tarakan, Kamis 19 Juni 2025. Kini hanya saya berdua dan Pak Masri selepas jalan-jalan ke Krayan atas undangan tokoh Krayan, Yansen TP. Kami berdua lolos sampai pemeriksaan bagasi terakhir sebelum menuju ruang tunggu.

Saat kami memasan kopi di gerai makanan-minuman, tiba-tiba terdengar pengumuman. Intinya suara perempuan melalui pelantang itu meminta Masri kembali ke ruang check-in saat pertama masuk bandara. Saya curiga karena Masri membawa tanaman yang bisa saja belum dilapor ke karantina.

"Mungkin tanaman vanila yang Pak Masri bawa harus dilaporkan terlebih dahulu," kata saya mengira-ngira sekaligus meminta yang bersangkutan segera mengurusnya, sementara saya menunggu kopi diseduh. "Iya toh?" kata Masri setengah bertanya.

Setelah turun ke lantai bawah, tidak lama kemudian Masri naik lagi ke atas. "Aneh, garam gunung lagi yang jadi masalah," katanya. Kontan saya ingin tertawa tapi takut Rossa... kok bisa, gumam saya, bukankah lumuran dosa yang disandangnya tidak harus meleber ke urusan garam gunung? 

Lebih ajaib, garam gunung serupa yang saya bawa aman-aman saja tanpa hambatan apapun! Saya jadi berpikir, apakah bandara Juwata di Tarakan ini digunakan sebagai simulasi umat lolos ke surga.

Sebelumnya, sepatu Pak Masri juga bermasalah dan ketika melalui gerbang pindai harus dicopot dulu itu sepatu. Saya iseng tanya kepada petugas perempuan ada apa dengan sepatu yang dikenakan teman saya itu. "Sepatunya mengandung besi, Pak," jawab sang petugas. Saya cuma nyengir mendengarnya, bokya sepatunya mengandung emas, gitu, emas 'kan lagi mahal-mahalnya.

Dan, elegi sepatu Masri yang bermasalah itu berulang di beberapa bandara lainnya saat saya pergi bersamanya untuk urusan literasi.

Perkiraan Analisa 

Saya cuma menganalisa perkiraan saja mengapa elegi garam gunung dan sepatu Masri kerap terjadi. Kalau sepatu, jelas ada unsur logam yang pasti dicurigai sebagai bahan peledak yang disembunyikan. Tetapi mestinya petugas bandara tahu kalau Pak Masri tidak ada tampang teroris.

Tetapi soal garam saya hanya memperkirakan karakteristik garam gunung krayan yang dikaitkan dengan prosedur keamanan bandara.

Beberapa kemungkinan penyebab dapat dianalisis dari penampilan fisik dan kemasan garam gunung krayan berbentuk bubuk atau batangan yang sering dikemas secara sederhana dalam plastik tanpa label resmi. Saya menduga, bentuk bubuk yang tidak seragam atau kemasan non-standar dapat memicu kecurigaan alat pemindai sinar-X di bandara, karena menyerupai serbuk yang tidak dikenal atau bahan berbahaya.

Kemungkinan lain kandungan kimiawi di mana garam krayan mengandung natrium klorida tinggi, yodium, serta mineral seperti magnesium, kalium, zat besi, zink, dan kalsium, sebagaimana pernah diteliti. Kandungan mineral ini boleh jadi menghasilkan pola densitas atau sinyal kimiawi pada alat deteksi (misalnya, spektroskopi atau pemindai bahan peledak) yang tidak identik dengan garam dapur biasa, sehingga memicu alarm keamanan.

Hal lain kurangnya dokumentasi atau pelabelan di mana garam krayan sering diproduksi secara tradisional oleh masyarakat Dayak Lundayeh dan dijual tanpa sertifikasi atau label komersial. Tanpa dokumentasi yang jelas, petugas keamanan bandara mungkin kesulitan memverifikasi bahwa barang tersebut sebagai garam, terutama jika penumpang tidak dapat menjelaskan asal-usulnya dengan baik.

Dan paling masuk akal adalah mengenai prosedur keamanan bandara yang ketat karena Bandara Juwata Tarakan menerapkan standar keamanan penerbangan yang ketat, termasuk pemeriksaan barang bawaan dengan alat canggih. Barang yang tidak umum, seperti garam gunung yang jarang ditemui di luar Krayan, dapat memicu pemeriksaan tambahan karena tidak termasuk dalam database bahan yang dikenali oleh sistem keamanan.

Apalagi Bandara Juwata Tarakan yang dekat dengan perbatasan Indonesia-Malaysia, memiliki sensitivitas keamanan tinggi karena lokasinya yang strategis. Barang dari daerah perbatasan seperti Krayan mungkin diperiksa lebih ketat karena potensi penyelundupan atau ketidakpastian asal-usulnya.

Apa yang saya kemukakan di atas hanyalah perkiraan semata. Di luar itu semua, saya meyakini kehidupan Pak Masri cukup terjamin dari menulis dan menerbitkan buku, tidak perlu beralih profesi sebagai penyelundup.

Bagaimana mungkin jadi penyelundup wong membawa garam gunung saja kena periksa di mana-mana. Pak Masri tidak berbakat.

Bandara Juwata Tarakan, 19 Juni 2025