Perjalanan Penulis ke Krayan [6] Sepotong Surga Literasi di Kaki Bukit
Akhirnya sampai juga di Pondok Biru Batu Ruyud. Tujuan akhir kami di tempat peristirahatan pak YTP sekaligus kawah candradimuka literasi keluarganya. Hari sudah gelap. Pandangan kami terbatas. Terdengar suara keras genset berbahan bakar solar sumber listrik yang menerangi wilayah itu. Sebuah rumah panggung yang cukup besar berdiri di tengah lapangan.
Mungkin ukurannya tidak kurang dari 12 meter kali 20 meter. Lebar dan panjang. Seratusan orang pasti muat kalau berkumpul di dalamnya. Ada beranda di depan dengan meja panjang dan kursi-kursi. Saya sudah membayangkan bakal bercengkrama di situ sambil ngopi berlayarkan pemandangan alami. Ruang tengah begitu lapang. Di sisi kanan dan kiri terdapat masing-masing dua kamar. Kamar yang sangat besar. Kami berempat tidur di satu kamar dengan kasur sendiri. Besar bukan?
Lepas dari ruang tengah, dapur besar menyambut. Meja makan panjang berwarna kehijauan dengan kursi yang banyak siap menyuguhkan makanan khas Krayan. Dapur itu dilengkapi rak perabotan yang menempel di dinding sebelah kanan. Piring, gelas, dan bermacam perkakas dapur ada di sana. Di pojok kiri, tiga tungku tradisional berbahan bakar kayu sudah menyala menghadirkan kehangatan. Di Cianjur, kami menyebutnya Hau.
Kata empunya tempat, suhu udara di Pondok Biru sangat dingin. Kami harus membawa baju hangat yang banyak. Benar juga. Bulir-bulir kecil udara itu menyelusup ke pori-pori kami. Memang dingin. Saya bandingkan dengan suhu udara di Puncak Bogor. Kira-kira sedikit lebih dingin.
Yang lebih membedakan adalah keaslian dan kemurnian kualitas udaranya. Bersih tanpa polusi. Benar-benar menyegarkan.
Suara beragam hewan terdengar saling menyahut di sawah dan ilalang. Mungkin juga berasal dari hutan yang mengelilingi kami. Samar-samar dalam kegelapan, saya masih bisa melihat rimbunnya pepohonan di sekitar. Setelah duduk-duduk, mengobrol, dan menyeruput segelas besar kopi, jelang tengah malam kami memasuki sleeping bag masing-masing. Tak perlu AC, udara sudah menusuk tulang.
Ketika pagi menyapa, barulah saya menyadari indahnya Pondok Biru Batu Ruyud. Sebelum mendarat di bandara Binuang kemarin, sempat melihatnya dari angkasa. Sebuah pondok di tengah lapang yang dikelilingi hutan belantara.
Dalam agama saya, surga digambarkan sebagai suatu tempat yang sangat nyaman, berrumah yang menyenangkan, dengan aliran sungai berair jernih d bawahnya, plus buah-buahan di sekitarnya. Kira-kira begitulah gambaran Pondok Biru. Sepotong surga yang tertinggal di batas negeri, Krayan Tengah, Nunukan.
Tenang dan menenangkan. Teduh dan meneduhkan. Nyaman dan menyamankan. Di sebelah kiri terdapat dua kolam besar dengan banyak ikan hidup di sana. Beberapa pohon buah tumbuh. Sekitar 50 meter dari situ sebuah sungai mengalir dengan air yang jernih di sela-sela bebatuan yang menghiasinya. Di sayap kanan, sawah beberapa petak menghampar. Hijau. Batangnya lebih tinggi dibanding padi yang biasa saya lihat di Jawa. Sebuah dangau besar berdiri di bagian tanah yang lebih tinggi. Siapa pun bisa leluasa mengawasi sawah dari sana. Termasuk mengawasi Pondok Biru dari kejauhan.
Bukit-bukit atau pegunungan berdiri gagah di sekitar kami. Sambung-menyambung mengelilingi seperti tak ada pemisah. Pohon besar tampak jelas tumbuh di sana. Meski pagi itu, awan sepertinya enggan melepas dekapannya pada bukit. Jam 8 pagi belum terasa siang. Matahari tak mampu menerobos awan.
Kang Pepih berulang kali mengatakan, "Nikmat manalagi yang akan engkau dustakan?" Menyitir ayat suci sambil menunjuk ke saya. Pagi yang indah dengan pemandangan tiada duanya. Terlalu kalau kita lupa mensyukurinya.
Wajar, jika keluarga pak YTP berhasil menyelesaikan naskah bukunya di sini. Suatu tempat idaman para penulis baik non-fiksi maupun terutama penulis fiksi (penyair, cerpenis, atau novelis). Sebulan ditanam di sini, mereka pasti akan membuahkan ribuan kata dan karya. Kami - tim literasi - sudah menyiapkan penuntasan satu naskah bersama dan masing-masing satu buku sendiri. Pun pak YTP punya misi menuntaskan satu naskahnya sendiri berjudul "Budaya Membangun Bangsa."
Beliau memang tokoh, pejabat, birokrat yang melek literasi. Sudah menghasilkan lebih dari tujuh buku. Sebagian besar diterbitkan oleh Grup Gramedia. Tak mudah menemukan birokrat sepertinya. Dia juga berhasil memengaruhi orang sekitarnya untuk melek literasi, termasuk keluarga besar dan para anak buahnya di Pemkab Malinau.
Sampai siang, kami masih menikmati suasana surgawi itu. Laptop dan hape baru menyala kemudian. Dan sadarlah kami semua. Ternyata kami berada di kamp konsentrasi literasi yang terputus dari dunia luar. Tak ada jaringan telepon seluler. Apalagi sambungan internet.
Di pojok kanan atas layar HP-ku tertulis "tak ada layanan." Bar bertingkat penanda kehidupan komunikasi tak tampak sama sekali.
Benar-benar kamp literasi. Biar kami lebih konsentrasi.
***
Tulisan-tulisan sebelumnya:
Perjalanan Penulis ke Krayan (1)
Perjalanan Penulis ke Krayan (2)
Perjalanan Penulis ke Krayan (3)
Perjalanan Penulis ke Krayan (4)
Perjalanan Penulis ke Krayan (5)