Perjalanan Penulis ke Krayan [5] 'Roller Coaster' di Bukit Perbatasan Negeri
Selepas sungai entah naik apalagi kami menuju Pondok Biru. Land Cruiser tak bisa melintasi sungai Krayan.
Kepala saya masih belum bisa lepas dari bayangan jembatan gantung. Di lurusan jembatan gantung terbentang jalanan tanah menuju ke perbukitan. Kanan kiri jalan dipenuhi pepohonan. Di mulut jalan itu terparkir beberapa truk besar, ekskavator yang tadi mengangkut tas, belong (stum walls), dan truk Unimog.
Kendaraan manakah yang akan kami tumpangi? Atau jalan kaki? Bukankah jaraknya masih cukup jauh? Tak lama keputusan pun diambil. Kami menaiki truk Unimog. Mobil serba bisa keluaran Mercedes Benz ini terlihat tangguh. Memang cat tubuhnya sudah kusam menandakan liarnya dia di alam bebas Borneo. Namun, cakar-cakar gerigi rodanya terlihat meyakinkan untuk mencengkeram jalanan bertanah. Untuk fungsi itulah dia lahir...
Seluruh tas dipindahkan dari ekskavator ke bak Unimog yang di tengahnya sudah terpaku satu tangki berbentuk kotak berisi solar. "Isinya 3.000 liter," ucap kernet Unimog sebelum membuka katup tangki dan mengalirkan solar ke kantung BBM ekskavator menggunakan selang. Tampaknya ekskavator sudah perlu 'minuman' baru.
Baca Juga: Nasehat Pram, Jangan Takut Menulis!
Pak YTP naik di depan di sisi kanan samping sopir truk. Unimog ini memang unik karena setir berada di kiri, sama dengan di negara asalnya Jerman. Jangan tanya kekuatannya. Dia punya mesin bertenaga nyaris 7.000 cc. Lebih dari empat kali tenaga Rush, si mobil idola baru itu. Seharusnya medan terjal bisa dilahapnya dengan mudah. Banyak pesohor yang menyukai ke-macho-an Unimog. Arnold Schwarzenegger, bintang Hollywood dan mantan Gubernur California punya mobil jenis ini meski kemudian dijualnya. Banyak jenderal di Jakarta juga memelihara Unimog, tentu versi kinclongnya yang terhindar dari kusamnya hutan.
Selain pak YTP, kami semua berada di atas bak. Serasa pasukan anti huru-hara Brimob yang hendak mengendalikan situasi keamanan. Pak Masri di atas kepala truk, duduk bersila seolah bersemedi menantang alam. Tangan kecil namun kekarnya mencengkeram batang besi. Kang Pepih dan mas Spaton duduk di pembatas bak bagian belakang bersama Lio Bijumes, pemuda asli Krayan yang sedang studi S3 di UKSW Salatiga. Saya di tengah berdiri di atas tangki solar berpegangan pada besi-besi penahannya. Tangan kanan tetap memegang HP mengabadikan sejuta peristiwa dalam foto dan video. Serasa paling gagah.
Perjalanan pun di mulai. Jalan tanah yang kami lewati ini adalah jalan tembus dari Krayan ke Malinau yang pertama kali dibuka pada Era SBY. Melintasi hutan dan sebagian kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Jalanan mentah. Masih berupa tanah yang baru sekali dua kali dikeraskan. Kemarin sore kabarnya turun hujan, sehingga kondisi tanah jadi lembek dan becek. Unimog yang mulai diproduksi tahun 1951 itu melaju diiringi raungan keras knalpotnya. Dia maksimal hanya bisa sekencang 100 km/jam. Tak bisa lebih.
Di medan bertanah ini kecepatan maksimalnya mungkin hanya 40 km/jam. Goncangan dan goyangan begitu terasa. Tubuh kami terombang-ambing ke kanan dan ke kiri sesuai kontur tanah yang dilewati. Perlu kuda-kuda kaki yang kokoh sebagai penyangga.
Ternyata oh ternyata, jalanan tanah ini sungguh menantang. Perpaduan antara naik turun perbukitan, kelokan berlekuk, dan tanah yang licin serta gembur. Kaki-kaki Unimog yang perkasa itu kadang harus mencakar dengan kekuatan maksimal agar bisa bergerak lincah.
"Roller coaster di Dunia Fantasi kalah menakjubkan!" Kang Pepih tiba-tiba saja berteriak disambut anggukan setuju mas Spaton. Mereka berdua tampak begitu menikmati wahana alami yang memacu adrenalin ini. Hutan di kanan kiri menjadi saksi. Pada beberapa tanjakan, Unimog tak mampu naik. Dia turun lagi. Kami dag dig dug mengikuti irama naik turun truk yang konon amat tangguh ini. Berkali-kali, bukan hanya satu dua kali.
Setiap kali berhasil menaiki tanjakan, kami lega dan bersuka cita. Apalagi pemandangan di depan setelah satu bukit terlewati begitu indah. Bukit-bukit yang sebelumnya terlihat dari angkasa lewat kaca jendela Kodiak, kini ada di depan mata. Berjejer berlapis-lapis sejauh mata memandang. Hijau menyejukkan retina dan jiwa. Saya membayangkan salah satu adegan dalam film Jurassic Park. Untunglah tak ada dinosaurus muncul di balik bukit itu atau di tengah jalan di hadapan kami.
Namun, petaka itu pun akhirnya tiba setelah sekitar 20 menit perjalanan. Di depan kami jalan menanjak sangat terjal dan cukup panjang. Bisa jadi lebih dari 45 derajat kemiringannya. Unimog berancang-ancang. Sang sopir yang sudah berpengalaman melewati jalur ini tahu cara jitu menaklukkan jalan menanjak. Sayang sekali, lebih dari lima kali mencoba tapi tetap gagal di tengah tanjakan. Keringat membasahi tubuh pak sopir. Knalpot sudah mengeluarkan berton-ton asap hitam. Suaranya menderu seperti jutaan tawon yang menyerbu. Unimog tetap tak bisa bergerak maju. Setiap kali itu pula kami mundur lagi dalam rasa berdebar tingkat tinggi. Khawatir Unimog oleng dan melemparkan kami ke bumi. Kang Pepih pun pindah mendekati saya. "Di sana agak susah lompat kalau truk terbalik." Demikian alasan masuk akalnya.
Apa boleh buat Unimog menyerah setelah lebih dari 20 menit mencoba naik dan turun. Kami harus menunggu bantuan ekskavator untuk menarik atau mendorong Unimog agar bisa naik. Tahu sendiri berapa kecepatan kendaraan khusus pengeruk tanah itu. Dia jauh di bawah sana.
Daripada menunggu lama, kami pun memutuskan untuk berjalan kaki dan membuktikan sendiri beratnya kondisi jalan bertanah itu.
Satu dua bukit kami lewati. Napasku sudah terengah-engah. Sebelum berangkat ke Kalimantan, saya lupa menyiapkan diri berolahraga menguatkan otot kaki dan pernapasan. Kaki terasa sangat berat. Sepatu buatan Jerman ini sudah dipenuhi tanah dan menambah beban ketika diangkat. Pinggang pun minta dibelai. Entah berapa tanjakan dan turunan yang sudah kutempuh. Sepertinya tak ada jalanan yang mendatar. Oh inikah keindahan bukit yang terlihat dari jauh? Setelah berada di permukaannya, keringatlah yang bercucuran.
Kami berangkat dari Binuang sekitar pukul 4. Sampai matahari tenggelam, kami belum sampai di Pondok Biru. Kaki-kaki kami masih terus bergerak dengan sisa tenaga yang ada. Unimog tak berbohong. Medan jalan tanah ini memang "menakjubkan". Mungkin benar kata pak Wagub, perlu tiga jam perjalanan dari Binuang ke Pondok Biru. Walaupun menurut hitunganku, tak lebih dari 20 menit dalam kondisi normal untuk jarak sejauh ini.
Baca Juga: Perjalanan Penulis ke Krayan [1] Serunya Menulis di Tempat Sunyi
Menjelang tanjakan yang lebih curam lagi, saya sudah membatin. "Apakah mau ikut naik motor?" Karena ada beberapa sepeda motor yang juga bersusah payah menuju ke Pondok Biru mengantarkan sejumlah barang. Tapi malu lah sama pak YTP dan kawan-kawan. Apalagi sebelumnya pak YTP menolak tawaran salah satu pemotor. Di depan sana tampak pak Masri yang masih lincah berjalan. Dia memang orang Dayak yang pada masa kecilnya sudah sangat terbiasa berjalan kaki. Penulis 109 judul buku itu terlihat menikmati masa kecilnya...
Ah, Allah Maha Baik. Dari kejauhan di belakang terdengar suara yang akrab di telinga meraung-raung. Unimog datang! Tampaknya ekskavator berhasil mendorongnya. Kami pun naik kembali sambil menanti ekskavator tiba karena di depan ada lagi tanjakan yang lebih curam dibanding sebelumnya.
Unimog dan kami semua perlu bantuan ekskavator untuk kembali mengarungi roller coaster dalam kegelapan malam di perbukitan Krayan yang mengagumkan!
***
Tulisan sebelumnya: Perjalanan Penulis ke Krayan [4]: Jembatan Gantung Indiana Jones