Literasi

Perjalanan Penulis ke Krayan [4]: Jembatan Gantung Indiana Jones

Kamis, 4 Februari 2021, 09:53 WIB
Dibaca 576
Perjalanan Penulis ke Krayan [4]:  Jembatan Gantung Indiana Jones
Jembatan Gantung Indiana Jones

Dodi Mawardi

Penulis senior

Udara segar menyeruak di seantero angkasa Binuang Krayan Tengah. Matahari mulai condong ke barat, hendak terbenam di balik bukit. Panasnya cukup menyengat. Akan tetapi, oksigen mengalir lebih lancar melalui lubang hidung kami karena murni tanpa polusi. Benar-benar segar.

Rumah panggung khas warga Dayak menjadi tempat persinggahan pertama kami. Letaknya persis di samping bandara. Ukurannya cukup besar. Mungkin setara dengan rumah tipe 72 atau lebih besar lagi kalau di perumahan elite. Warna biru sangat dominan melapisi dinding dan tiang kayunya. Ya, seluruh rumah ini terbuat dari kayu. Bahan baku yang terserak di hutan mereka.

Baca juga: Perjalanan Penulis ke Krayan (1)

Ternyata kami sudah disiapkan makan siang di situ. Keluarga besar pak Yansen Tipa Padan (YTP) menyambut kami dengan suka cita. Saya lupa jumlahnya, mungkin lebih dari 10 orang bergantian salaman ala Covid-19. Hanya menempelkan pergelangan tangan. Konon cara salaman seperti ini aman dari penularan Corona. 

"Pernah makan daging Rusa?" pertanyaan yang terdengar dari pak Masri anggota tim literasi yang sudah pengalaman berkunjung ke Binuang. Dan tentu saja pernah makan daging Rusa. Sementara kami yang lain bertiga belum pernah. Menarik juga mencicipi cita rasa daging Rusa. "Harus dicoba!" pekik suara dalam hati.

Di meja makan ala prasmanan tampak sajian yang menggugah selera. Ada nasi Adan yang terkenal itu, sayuran hijau, dan tiga jenis sajian daging: goreng, semur, dan sup. Ketiganya berbahan baku, daging Rusa. Kami mencoba ketiganya. Maknyusss...

Daging Rusa ternyata nikmat. Serasa menyantap daging Sapi. Itulah kali pertama saya menikmati daging Rusa, yang katanya adalah hasil buruan di hutan. Hewan ternak mereka dan khas di Krayan adalah Kerbau. Bukan Rusa atau Sapi.

Setelah sejenak istirahat, kami harus lanjutkan perjalanan ke Pondok Biru Batu Ruyud. Jaraknya tak lebih dari 10 km. Mungkin kurang. Tadi sudah terlihat dari angkasa lokasi pondok tersebut. "Berapa lama perjalanan ke sana Pak?" tanya saya kepada pak YTP. Yang ditanya mesem-mesem sambil menjawab, "Tiga jam!" Pak Masri tersenyum lepas mendengar jawaban itu. Mencurigakan. Masa sih jarak sedekat itu menghabiskan waktu 3 jam?

Mobil Land Cruiser sudah siap mengangkut kami dan seluruh barang. Pak YTP sendiri yang menjadi sopirnya. "Wah asyik nih," kata kang Pepih, "masuk hutan disopiri pak Wagub." Jalanan tanah yang basah dan becek jadi pemandangan kala kami meninggalkan pusat kota Binuang yang hening itu. Di sekeliling lapangan terbang ala alun-alun tersebut memang dipenuhi rumah panggung. Namun jumlahnya tak seberapa. Tak lebih dari 100 rumah. Satu kecamatan yang mungkin setara dengan satu RW di Jakarta. Jumlah penduduknya.

Kurang lebih satu km dari Binuang kami harus menyeberangi sebuah Sungai berukuran sedang. Mungkin lebarnya sekitar 50-70 m. Namanya sungai Krayan. Nama sungai inilah yang sekaligus menjadi nama kecamatan. Airnya keruh. Kotor tapi tak seperti air Ciliwung atau Citarum. Tak ada sampah rumah tangga apalagi limbah pabrik. Meski keruh, tetap aman dipakai mandi.

Setelah mobil berada di bibir sungai, tak ada jembatan di sana. Land Cruiser ini mau nyeberang pakai apa? Lompat atau terbang? Di seberang tampak ekskavator kuning turun ke sungai lalu menerobos aliran air menuju ke arah kami. Perlahan tapi pasti dia mendekat. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Jangan-jangan dia akan menarik kami. Benar saja, setelah mendekat tali temali disiapkan. Air sungai cukup tinggi. Mungkin bisa merendam setengah badan mobil. Barang-barang kami pindahkan ke atas kap mobil. Biar aman.

Baca juga: Perjalanan Penulis ke Krayan (2)

"Kita tak jadi nyeberang!" tiba-tiba saja pak YTP memberikan informasi yang tak kami harapkan. Seluruh jiwa raga sudah menyiapkan diri untuk pengalaman terbaru ini: menyeberangi sungai dengan Land Cruiser menerobos derasnya air. Mungkin badan kami akan ikutan basah. Tahun 2005 silam saya pernah menyeberangi sungai di Samarinda menggunakan rakit bersama satu mobil Toyota. Kami mengambang bersama. 

"Sebenarnya mobil ini bisa dan tak akan terganggu mesinnya meski terendam. Tapi kita dengarkan sarannya," sambungnya. Yang menyarankan adalah keponakannya. Sungguh bijaksana.

Apa boleh buat. Hanya barang bawaan kami yang akan menyeberang menggunakan ekskavator. Seluruh tas yang ada di kap mobil berpindah ke sana dan mulai bergerak di keruhnya air sungai Krayan. Beruntungnya tas-tas itu.

 

Bagaimana dengan kami? "Kita lewat jembatan itu," kata pak YTP menunjuk sebuah jembatan gantung yang berjarak sekitar 50 meter sebelah kiri kami. Dari tadi saya sudah memperhatikannya. Bergoyang-goyang kala beberapa orang tampak lalu lalang di atasnya. Wah, bakal melewati jembatan Indiana Jones.

Land Cruiser sudah kadung berada di bibir sungai. Tak mungkin putar balik. Tak mungkin juga menggunakan gigi mundur untuk kembali ke atas. Terlalu curam. Apalagi jalannya bukan aspal atau batu. Hanya tanah gembur yang begitu liat bekas diguyur hujan. Tanah itu lebih cocok jadi bahan baku gerabah.

Baca juga:  Napak Tilas bersama Penulis Profesional

Untunglah, masih ada ekskavator lain di belakang. Dialah yang menarik mobil dan kami di dalamnya. Deru suaranya membahana di tengah hutan. Seperti dengus banteng yang beradu dengan banteng lainnya. Perlahan mobil kami naik dan sampai di atas.

Kini saatnya kami lanjutkan perjalanan menyeberangi sungai melalui jembatan gantung yang tadi terlihat dari kejauhan.  Dalam hati saya menyebutnya, jembatan Indiana Jones. Begitu menapakkan kaki di atasnya... Duh, goyangannya lumayan juga.

Bayangan jembatan Indiana Jones lenyap berganti menjadi jembatan gantung putus seperti yang dilalui anak-anak sekolah di Banten. Awalnya mau gagah-gagahan seperti Harrison Ford tokoh utama film Indiana Jones, namun tak kuasa oleh ekspresi anak-anak itu. Menyedihkan sekaligus memprihatinkan.

Panjangnya tak kurang dari 70 meter. Lebarnya hanya satu meter. Alasnya berbahan lembaran papan kayu dalam posisi memanjang. Celah-celah kayu itu memperlihatkan pemandangan derasnya aliran sungai Krayan di bawahnya. Pada beberapa bagian tampak papannya tak utuh lagi. Bolong. Beberapa papan lainnya terangkat dari penopangnya. Paku atau murnya sudah lepas. Pemandangan di bawahnya kian terlihat nyata.

Saya berjalan belakangan. Rombongan sudah di depan. Bayangan anak-anak Banten dan anak pedalaman lainnya yang berjuang menuju sekolah dengan bergelantungan di jembatan gantung yang putus talinya sebelah, terus menampakkan diri. Kaki saya melangkah perlahan. Satu demi satu seperti merasakan tegangnya anak-anak itu. Sungguh, saya beruntung tak mengalami cobaan hidup seperti mereka.

Seekor anjing ternyata ikut menyeberang. Dia berada di belakang saya. Menjaga jarak sekitar 10 meter. Saya pelan dia ikut pelan. Saya berhenti dia ikut berhenti. Ketika sampai di ujung jembatan dan saya berbalik badan mengabadikan momen ini dengan kamera HP, anjing itu berhenti. Terdiam namun tak berani menatap mata saya. Mata yang masih berisi tayangan anak-anak di pedalaman negeri yang penuh perjuangan dalam menggapai cita-cita meski harus bertarung dengan risiko keselamatan dan nyawa.

Jembatan gantung penuh makna...

***

Tulisan sebelumnya: Perjalanan Penulis ke Krayan [3]: Ini Bukan Bandara Soekarno-Hatta