Literasi

Perjalanan Penulis ke Krayan (3): Ini Bukan Bandara Soekarno-Hatta

Rabu, 3 Februari 2021, 11:41 WIB
Dibaca 757
Perjalanan Penulis ke Krayan (3):  Ini Bukan Bandara Soekarno-Hatta
Anak-anak Menyaksikan Pesawat di Bandara Ba'Binuang

Dodi Mawardi

Penulis senior

Bukan hal istimewa suatu kecamatan atau malah desa di Kalimantan Utara memiliki bandar udara. Biasanya disebut bandara perintis, senama dengan pesawat yang mendaratinya sebagai penerbangan perintis. Tahun 2014 silam, saya pernah singgah di Desa Long Nawang menggunakan pesawat berbadan kecil melalui bandara perintisnya. Sudah beraspal mulus meski tak sebagus Sepinggan Balikpapan atau Juwata Tarakan. Pesawat kecil dengan mudah hinggap di atasnya. Dalam bayangan saya, demikian pula kondisi bandara yang akan menjadi wahana mendarat pesawat Kodiak MAF siang itu di Binuang, Krayan Tengah.

Beberapa menit sebelum mencium landasan, pesawat bermanuver. Tampaknya Craig sang pilot sudah mendapatkan pesan dari pak Wagub untuk memberikan sensasi khusus kepada kami. Pesawat diajak berputar mengelilingi Binuang, sesaat setelah melewati barisan bukit yang menaunginya. Saya membayangkan sedang berada di pesawat tempur yang mengincar sasaran di bawah sana. Kalau dilihat dari bawah, kami seperti elang raksasa yang melayang di udara mengumpulkan energi untuk mematuk mangsa.

Tampak dari angkasa, wajah Binuang ibukota kecamatan Krayan Tengah. Pak Wagub menunjuk satu bangunan biru yang terlihat kecil di tengah hamparan hijau tanpa pohon besar di kaki bukit namun dikelilingi hutan. Itulah tujuan akhir kami di Krayan, Pondok Biru Batu Ruyud. Tempat keluarga pak Wagub menciptakan rekor literasi keluarga.

Pemandangan Binuang Krayan Tengah dari udara sungguh cantik. Berada di tengah kumpulan bukit. Mirip seperti kawasan cekungan ala Bandung Jawa Barat versi lebih kecil. Di kaki-kaki bukit itu tampak persawahan yang di kanan kirinya dibentengi pohon. Hanya ada beberapa rumah di kaki-kaki itu. Cenderung menyendiri.

Terdapat lapangan luas yang di sekelilingnya berdiri rumah dan bangunan. Sebuah sungai berwarna kecoklatan mengitari lapangan luas itu. Pemandangan itu sekilas mirip alun-alun di Jawa.

Saya tak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mengabadikan pendaratan pesawat kecil di atas landasan bandara Binuang dengan kamera video HP. Suatu peristiwa bersejarah buat kang Pepih, mas Sapto, dan saya yang baru pertama kali datang ke sana. Sedangkan buat pak Masri, ini kali ketiga. Dia sebelumnya melakukan riset untuk buku "Jejak Peradaban Manusia Krayan" (yang sangat saya tunggu waktu terbitnya), dan pelatihan menulis yang menghasilkan buku pencetak Rekor MURI.

Daratan makin dekat. Sawah, pohon, dan rumah penduduk tampak lebih besar dengan warna aslinya masing-masing. Dan... Bruk. Suara keras roda pesawat menumbuk daratan. Suara yang tak biasa dan efek benturan yang mengagetkan. HP saya nyaris terlempar dan kursi bergetar hebat.

Dalam hati berkata, "Astagfirullah, jangan-jangan as roda pesawat patah." Ketakutan merajai sekujur tubuh. Namun sebelum rasa itu berkuasa, saya melihat pilot tenang-tenang saja.

Di kanan saya tampak lapangan sepak bola dan bola voli begitu dekat. Terlihat anak-anak dan orang dewasa berdiri berjejer di balik pagar landasan. Jaraknya cukup dekat. Tak jauh di belakangnya rumah-rumah panggung berdiri kokoh.

Ketika saya perhatikan lantai landasan, saya kaget sekaligus tenang sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Oh landasannya belum beraspal." Hanya berupa hamparan tanah keras yang diselimuti rumput tipis.

Pantas "touch down"-nya si Kodiak ini sensasional dan fantastis. Baru pertama kali seumur hidup mengalami pendaratan semacam itu. Pilot Lion Air yang biasanya hobi mendarat dengan keras, kalah dramatis oleh "landing" barusan.

Setelah berputar arah, pesawat parkir di tengah lapangan. Suara mesin masih menderu keras. Di sekitar pesawat tampak warga berkerumun. Ada remaja, anak-anak, dan juga orang dewasa. Bahkan tampak pula orang yang sudah berumur. Wajah mereka memperlihatkan kesederhanaan dan terbiasa melihat pesawat. Tidak udik seperti warga kampung saya di Cianjur sana yang setiap melihat pesawat terbang selalu berteriak keras, "Kapal menta duiiit."

Siapakah mereka? Penyambut kami? ah ge-er sekali.

"Tiang penyangga sudah dipasang, silakan turun," kata Craig dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Tiang penyangga adalah kayu atau tongkat yang dipasang di bagian ekor pesawat oleh petugas bandara untuk menahan agar sang Kodiak tidak condong ke belakang. Bahaya kalau tak ditahan. Bisa "ngajulaeut" (bhs Sunda) yang berarti bagian belakang lebih berat dan pesawat bisa jungkir.

Setelah kami turun, Kang Pepih yang ternyata juga memvideokan pendaratan tadi menampakkan wajah penasaran khas wartawan senior yang selalu mau serba tahu serta kritis. Apalagi HP-nya sempat terlempar dan jatuh ke lantai pesawat pas mendarat tadi. Beruntung HP dengan gambar bagian belakang buah Apel tergigit itu (sebut merek nih) tidak mengalami kerusakan.

"Tadi pendaratan keras sekali ya, Craig?" ucapnya kepada sang pilot asal California itu. Yang ditanya sedikit merengut namun dengan santai menjawab, "Ini bukan di bandara Soekarno - Hatta."

Jawaban yang membuat kami semua tergelak. Sungguh, pilot Kodiak berani dan terampil mendaratkan pesawat di landasan bandara berfasilitas minim ini. Benar-benar tak ada bagian yang beraspal. Semuanya hanya lapangan rumput yang bisa jadi becek jika hujan deras turun. Konon pernah kejadian ekor pesawat nyangkut di pagar landasan yang lebarnya hanya 15 meter ini tatkala hujan mengguyur. Pasti licin.

Lalu kepala saya mulai membayangkan penerbangan pulang enam hari kemudian. "Landing-nya begitu, bagaimana take off-nya ya?"