Literasi

Karena Suka Baca Jadi Punya 'Sense' Menulis

Rabu, 20 Januari 2021, 19:09 WIB
Dibaca 667
Karena Suka Baca Jadi Punya 'Sense' Menulis
Aku, buku, dan anak-suamiku.

Sedari kecil, saya tumbuh di lingkungan pasar. Berteman dengan dengan para pegadang sayur, ikan, daging, serta ibu-ibu yang berbelanja tiap pagi.  Pekerjaan utama saya saat masih anak-anak dan remaja adalah melayani pembeli kue basah di toko dan menjaga lapak telur ayam.

Bangun subuh, mandi, dandan, jaga toko sebentar, ke sekolah pukul tujuh pagi, pulang sekolah, jaga toko lagi sampai sore jam 6, itu semua adalah kegiatan saya. Kalau sekolah sedang libur, maka jadwal saya lebih sederhana: bangun subuh, mandi, dandan, lalu jaga toko sampai sore.

Rumah kami terletak di kompleks Pasar Tengah, salah satu pasar tradisional terbesar di Kota Pontianak di tahun 1980 an. Saya terbiasa dengan tanah becek, terpal yang bocor di kala hujan besar, terik matahari di puncak hari jam 12 , teriakan heboh orang pasar, umpatan kaki lima, lelucon vulgar, candaan kasar, tumpukan potongan merah daging sapi dan babi, serta bau amis ikan menjelang siang.

Seperti kebanyakan anak yang orangtuanya sibuk berdagang, dan anaknya juga ikut-ikutan dipaksa menyukai bergadang, saya jarang punya teman main. Teman yang lain nonton film, saya tak boleh ikut. Teman-teman pada kumpul-kumpul untuk barbeque, saya harus tetap di rumah. Teman sekolah pada piknik ke pantai, saya harus jaga toko.

Akibatnya, saya merasa terisolasi, kesepian, dan rendah diri.
Untuk mengurangi rasa sepi dan bosan, saya banyak membaca. Sementara anak yang lain memakai uang sakunya untuk membeli cemilan dan mainan, saya memakai sebagian besar uang jajan untuk memiliki bermacam buku, komik Nina, dongeng HC Andersen, majalah Bobo, sampai majalah Gadis di kala saya sudah remaja.


Membaca, menumbuhkan daya khayal saya. Walau kenyataannya saya harus berdiri hampir sepanjang hari ketika berjualan di lapak telur ayam milik keluarga kami, pikiran saya banyak berfantasi.

Saya pernah mengkhayal menjadi seorang balerina, dan dengan percaya diri saya membual ke beberapa teman saya, seolah saya memang pernah menari balet. Komik Nina benar-benar meracuni saya haha....

Di masa saya sedang mengejar karier profesional, tahun 2007, saya mengikuti pelatihan CFP (Certified Financial Planning), sebuah pelatihan di bidang keuangan. Ternyata saya sangat menyukai pengetahuan yang diperoleh selama pelatihan tersebut dan mengamini bahwa ilmu ini akan sangat berguna bagi orang lain juga. Supaya berbagai tips pengelolaan keuangan yang sudah saya dapatkan tidak hilang, maka saya mulai mencatat ulang, memberi sentuhan bahasa awam, serta membagikan hasil tulisan tersebut ke teman-teman yang ada di daftar handphone BBM (BlackBerry Messager).

Baca Juga: Proses Kreatif: Dari Skripsi Menjadi Buku

Saya menulis mulai dari tips membeli rumah secara KPR bagusnya 10 tahun atau 15 tahun, cara melunasi hutang kartu kredit yang menggunung, tips hemat sederhana ketika harus dirawat di RS, beragam kejahatan kartu kredit yang harus diwaspadai, sampai soal fengshui rumah yang ada hubungannya dengan keuangan. Saya belum pernah belajar menulis secara khusus. Kesukaan membaca buku selama bertahun-tahun, membuat saya memiliki semacam ‘sense’ ketika menulis.

Artikel pendek yang telah ditulis lalu saya bagikan secara berkala. Responsnya di luar dugaan. Apalagi jika saya menuliskan artikel yang agak panjang sehingga dibuat menjadi beberapa episode bersambung.

"Ngak sabaran nih. Kayak nunggu lanjutan sinetron tipi.", "Lhaa... Kok bersambung sich?", "Hooi... Bikin penasaran aja deh",  adalah sebagian komentar balik yang membuat saya tersenyum sendiri.

Beberapa kali saya menerima broadcast kiriman tulisan saya sendiri. Ada yang dari teman, yang sebelumnya menerima dari iparnya, yang ternyata mendapatkan lewat ibu-ibu yang anaknya satu sekolahnya dengan putrinya.

Dari pengalaman ini, saya mulai menyadari bahwa tulisan saya ditunggu, disukai, dan diterima pembaca.

Selain membaca dan menulis sedikit-sedikit, saya yang haus ilmu, rajin pergi mengikuti training dan berbagai pelatihan. Mulai dari Money Magnet (karena pengen cepat kaya hahaha), Hipnoterapi, Grafologi, DISC, dan berbagai pelatihan motivasi.

Sementara pada saat itu, di rumah, putri saya mulai memasuki masa balita. Sebagai ibu muda, saya sungguh gagap menghadapi anak kecil. Mudah emosi, tidak pengalaman, egois, mudah putus asa, sering menangis, stress, itulah saya. Ambisi saya menjadi yang terbaik di kantor berlomba dengan pertumbuhan emosi dan mental anak saya di rumah. Kedua hal ini saling berebut waktu.

Saya dan suami berangkat kerja jam 6 pagi, saat anak belum bangun, kemudian tiba di rumah lagi jam 9 atau 10 malam. Hari Sabtu saya masih bekerja. Hari Minggu, saya tepar, kelelahan amat sangat. Saya mengisi hari Minggu dengan kegiatan....tidur!

Anak saya serahkan ke babysitter. Jadinya, komplitlah, hubungan anak dan saya merenggang.

Urusan anak jadi nomor sekian. Walau sebagai pembicara dan motivator di kelas, saya sering membicarakan tentang pentingnya sebuah keluarga, pada kenyataannya, saya sering melalaikan tugas saya sebagai ibu.


Kesibukan di kantor menelan semua waktu saya. Ketika mulai muncul masalah, dan direspon oleh saya dengan emosi meledak-ledak, barulah saya sadar, ada sesuatu yang salah selama ini.

Beruntung, buku serta pelatihan yang saya ikuti memberi saya banyak sudut pandang baru. Misalkan lewat pelatihan hipnoterapi. Ilmu tentang cara kerja pikirannya membuat saya mengerti bahwa bahwa tindakan dan emosi yang muncul ketika menghadapi masalah dengan anak, adalah akibat dari pengalaman dan trauma masa kecil saya.

Kurangnya perhatian dan rasa dihargai di masa kecil, membuat saya kerja gila-gilaan di kantor, demi sebuah penghargaan dan pengakuan dari sesama rekan.

Pembelajaran yang saya peroleh dari masa-masa jatuh bangun membina hubungan dengan anak tersebut saya tuliskan di note handphone Blackberry. Pengalaman masa kecil saya yang kering dan suram membuat saya menjadi sosok yang tidak percaya diri, renta, mudah tersinggung, merasa diri tidak berguna, mudah putus asa.

Saya tidak ini terulang pada anak saya.  Saya ingin ia menjadi sosok yang kuat dan mandiri, yang jauh lebih baik dari saya. Saya berharap, kelak ia bisa membaca dan belajar dari tulisan saya, sehingga ia bisa menjadi orangtua yang lebih bijaksana dari ibunya.

Lagi-lagi, tulisan pendek tersebut saya sebarkan ke kontak yang ada di daftar BBM saya. Dan responnya, sungguh menghangatkan hati. Saya terus menulis. Pengalaman, peperangan batin, perenungan, pembelajaran yang didapatkan setelah badai emosi berlalu, menjadi kunci dari artikel saya.

Suatu hari, saya membaca buku berjudul Mari Berhitung Sisa Hidupmu (Suryanto Rustam). Buku yang penuh gambar, tulisannya besar-besar dan typonya beraneka ragam. Maklum, penulisnya ternyata design grafis.

Isinya serasa menampar saya. Katanya, jika kau mati besok, apa yang ingin kau lakukan?  Ketika kamu meninggal, kamu ingin orang-orang mengingatmu sebagai apa? Apa yang telah kamu wariskan?

Buku itu membuat saya merenung. Jauuuuh sebelum peristiwa ini, saya sebenarnya sudah gelisah. Namun saya berusaha mengabaikan perasaan tersebut. Selama ini saya sangat sibuk di pekerjaan. Karir, pencapaian target, jumlah penghasilan, menjadi terkenal di industri yang digeluti, adalah adalah hal penting buat saya saat itu.
Tiap hari mikirnya hanyalah target, target, dan target.

Jika suatu hari saya mati, lhaa... apa yang saya wariskan?

Apakah saya akan dikenal sebagai orang sukses? Sukses apanyaaa...?

Sebagai orang terkenal? Siapa yang kenal? Orang-orang di Pasar tengah ? J

Sebagai orang kaya? Kaya apaan..? untuk makan sehari-hari sih pas. Tak lebih dari itu.

Lalu, saya mulai berpikir, memangnya kalau bicara soal warisan, kita mesti bicara soal materi saja?

Baca Juga: Trik Menulis Objek Di Sekitar Kita

Bagaimana dengan keahlian dan ilmu kita yang kita miliki?

Bukankah itu juga bisa diwariskan?

Aha! itu dia. Bagaimana jika semua pengalaman saya menjadi ibu muda, termasuk dengan segala pergulatan emosi dan mental dan pembelajarannya, dijadikan buku?

Saya lalu mengikuti pelatihan menulis dan berguru pada beberapa mentor menulis. Di masa-masa tersebut, saya bergulat dengan keraguan, ketidakpercayaan diri, penundaan, alasan, kekhawatiran, juga harapan, keinginan dan ambisi. Semua campur aduk.

“Kalau saya mati suatu ketika, dan saya bertemu dengan Sang Pencipta, saya mau bilang, ‘Tuhan, ini saya kembalikan semua bakat yang telah Kau berikan padaku. Tinggal sedikit. Sudah saya pakai semua sewaktu masih di dunia’. Kamu itu bisa menulis. Kamu dikasih anugrah bisa menulis. Pakai itu, Priska! ” begitu kata seorang mentor yang mencambuk saya di masa itu.

Setelah setahun, kerja keras saya membuahkan hasil. Salah seorang mentor sangat berjasa  membantu saya, dan buku tersebut diterbitkan Gramedia Pustaka Umum. Dengan semangat ‘45, saya mengadakan launcing buku di cafe, lalu keliling ke banyak toko Gramedia, menawarkan diri membawakan Product Knowlegde tentang buku saya tersebut. Dengan biaya sendiri, saya juga keliling ke beberapa kota membawa buku tersebut.

Saya sering ditanya, bukunya sukses ngak, Pris?

Sukses bagaimana, maksudnya, balik saya bertanya.

Pertanyaan tentang kesuksesan, sama dengan pertanyaan soal kebahagiaan. Pertanyaan jebakan. Karena sukses dan bahagia adalah soal presepsi, tergantung orang menilai.  Dan banyak orang membuat kriteria mereka berdasarkan pendapat orang lain, bukan dari dirinya sendiri.

Oleh karena saya tidak ingin tambah pusing dan stress, saya membuat kriteria sukses sesederhana mungkin. Untuk buku saya, ukuran sudah sukses adalah, jika buku tersebut bisa mengubah hidup satu pembacanya. Satu orang berubah, itu sudah cukup buat saya.

Saya merasa beruntung dan bersyukur. Banyak pembaca memberi komentar positif, menceritakan perubahan setelah mereka membaca buku tersebut, mengucapkan terima kasih, dan menjadi kawan baik saya sampai saat ini.

Baca Juga: Fog Index: Formula Mengukur Keterbacaan Wacana

Saya masih terus menulis. Kesukaan saya adalah menulis aneka hal di Facebook. Buat saya, ini adalah salah satu media untuk memperbanyak jam terbang dan mempertajam ketrampilan merangkai kata. Saat ini saya sedang berusaha menyelesaikan buku sejarah sebuah yayasan nirlaba yang telah berusia 40 tahun di Kalimantan. Saya berharap, buku saya ini bisa bermanfaat banyak.

Sementara itu, saya sedang menunggu kelahiran buku antalogi yang ditulis ramai-ramai bersama ibu-ibu yang lain. Judulnya:  Menyusui itu Seruuu!

Naaah... ngak nyambung banget kan topik tulisannya.

Haha... buat saya, itulah serunya hidup. Berani mencicipi beraneka ragam hal, dan menjadi seseorang yang sungguh merayakan hidup.

Selamat menulis, Kawan! (PDD)

*** 

Saya seorang trainer, penulis, dan Ibu rumah tangga, tinggal di Tangerang.

Penulis buku inspiratif parenting – ANAKKU MATAHARIKU, terbit 2014, GPU, Jakarta)

2 Maret 2016