Jauh Dekat
Dua senior penulis – Pepih Nugraha dan Masri Sareb Putra – menulis dua artikel unik dengan judul “Jauh” dan “Dekat”. Keduanya berbalas artikel. Maklum, sama-sama lulusan UGM (Universitas GraMedia – singkatan yang maksa sih sebenarnya hehe). “Kampus” yang sudah jauh lebih lama ada dibanding UMN, yang didirikan oleh Grup Kompas.
Dengan makna filosofis, keduanya masing-masing mengupas kata jauh dan dekat, yang sesungguhnya amat sederhana menjadi sama sekali tidak sederhana. “Begitulah filsafat…” kata pak Masri, yang usianya terpaut belasan tahun di atas saya. Yang sedang damai bin adem ayem saja dipertanyakan…
Sebagai anggota inti literasi paling muda di YTPRayeh.com, tentu saja saya pun tak mau ketinggalan jauh. Saya mau dekat juga dengan berbalas artikel ini. Tak mau jauh-jauh. Biar dekat-dekat.
Jauh dekat pasti sudah familiar di kepala kita. Terutama orang ibukota atau penikmat angkutan umum. “Jauh dekat Rp 5.000,” sebagai pengumuman bahwa tarif angkutan itu sama saja. Biasanya tertulis dalam bentuk stiker sederhana di pintu atau kaca jendela angkot/bis kota. Mau turun lima meter setelah naik bayarnya Rp 5.000, atau turun di ujung trayek juga tetap Rp 5.000.
Sama seperti tarif tol Jagorawi, jauh dekat Rp 7.000.
Kata jauh dekat juga familiar di kuping dan telinga para pecinta lagu atau syair-syair sastrawi. Begini bunyinya, “Jauh di mata, dekat di hati.” Familiar bukan?
Begitu banyak lagu yang berisi syair serupa itu. Saya cuplikan tiga saja di antaranya.
RAN, grup musik tahun 2000-an yang masih amat eksis sampai sekarang, punya syair itu dalam lagu “Dekat di Hati”.
“Meski kau kini jauh di sana
Kita memandang langit yang sama
Jauh di mata namun dekat di hati…”
Grup musik lawas The Sister, malah judul lagunya persis kalimat tersebut.
Liriknya pun berulang menyampaikan kalimat tersebut.
“Jauh di mata dekat di hati
Meski jauh kau slalu di hati
Jauh di mata dekat di hati
Ku selalu ada untukmu… ”
Penyanyi top masa lalu Mus Mulyadi juga tak ketinggalan menyanyikan lagu dengan lirik Jauh Di Mata Dekat Di Hati, berirama keroncong.
“Ingatlah akan janjimu oh dinda
Pada malam nan bersaksi
Walaupun jauh di mata namun
Selalu dekat di hati…”
Jadi, kata jauh dekat ini ternyata tak bisa jauh-jauh. Selalu berdekatan. Isinya pun beragam. Misal kata yang bunyi ujungnya serupa (berima sama), “Jauh dikenang, dekat disayang…” "Jauh dicari, dekat dimaki."
Ah, kata-kata semacam ini paling banyak terdapat di bagian belakang boks truk.
Pada era media sosial sekarang, kata jauh dekat juga sering berkumandang.
Konon katanya, perangkat sosmed menjadikan, “Yang dekat jadi jauh, yang jauh jadi dekat…”
Kami berempat: Yansen TP (YTP) pak Wagub Kaltara, Masri Sareb Putra, Pepih Nugraha, dan saya. Mengelola website YTPRayeh ini. Kami aktif berliterasi. Tiada henti. Khususnya karena bimbingan pak YTP yang luar biasa telaten. Dia kadang JAUH di hutan Kalimantan sana. Kami di hiruk pikuk Jabodetabek. Jauh secara fisik. Tapi pikiran dan perasaan kami selalu DEKAT. Karena kepedulian yang sama pada literasi.
Kami jauh dekat juga. Kadang jauh kadang dekat. Tapi tak pernah bisa jauh-jauh.
Seringkali di-DEKAT-kan oleh pisang Malinau, atau Kopi Kapten, atau beras Adan yang sultan itu.
Mengakhiri artikel pelengkap “Jauh – Pepih Nugraha” dan “Dekat – Masri Sareb Putra”, izinkan saya memperkenalkan sebuah lagu keren dari grup musik Kereta Kencana berjudul “Jauh Dekat” yang dirilis pada 2019 silam. Masih baru tapi belum banyak yang tahu. Liriknya bukan jauh di mata dekat di hati, yang jadul dan sedikit basi itu he he.
Enak sekali lagu ini. Mendayu mengayunkan kalbu.
Nikmat juga jika didengarkan ketika kita berasyik masyuk di Batu Ruyud dalam Writing Camp, kelak.
Begini bunyi Reff-nya:
“Aku ingin JAUH lebih mengenalmu…
Aku ingin DEKAT dan rasakan rimbun taman terindah hangat gurun Sahara…”
Klik saja di YouTube judul lagu dan penyanyinya. Lalu dengarkanlah.
"Perahu Rekat Diikat Tali
Jauh Dekat Selamat Menikmati..."
***