Filosofi

Jauh

Rabu, 22 Juni 2022, 17:57 WIB
Dibaca 590
Jauh
Pak Masri, saya dan Pak Yansen (Foto: Dodi Mawardi)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Jauh.

Tak ada kata yang tak berguna, semua kata terlahir untuk digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan jika sudah dimaknai. Kata menjadi tidak bermakna kalau para penuturnya belum bersepakat tentang makna yang terkandung di dalamnya. Kata itu tidak bermakna, oranglah yang memberi makna.

Saya sedang ingin bercerita tentang kata "jauh". 

Makna yang sudah disepakati dalam bahasa Indonesia terdiri dari empat huruf "j", "a", "u" dan "h". Dalam bahasa Inggris mungkin cukup tiga huruf "f", "a" dan "r". Kita semua bersepakat, kata "jauh" erat kaitannya dengan jarak, sebuah kondisi yang memisahkan antara satu objek dengan objek lainnya. Terdapat jarak, ruang sekaligus waktu yang membentang di antara dua atau lebih dari dua titik itu. 

Lawan kata "jauh" adalah "dekat", sebagaimana ditulis Masri Sareb Putra dalam sebuah artikel filosofisnya. Tetapi "dekat" pun masih memiliki jarak, ruang dan waktu, hanya saja kedekatan (proximity) sudah terasa karena mungkin sudah terlihat. Tetapi itu makna lugas yang masih terukur, makna kiasannya adalah menyatu atau sudah menjadi satu. Dengan dekat kita bisa bersatu.

Kalau demikian, burukkah makna "jauh" yang senantiasa berkelindan dalam kehidupan? 

Tidak ada kata yang sia-sia, semua kata bermanfaat untuk digunakan sesuai fungsinya. Anda mengumbar sumpah serapah, tersedia sejumlah kosakata yang siap pakai, dari yang paling halus sampai paling kasar. 

Peribahasa mengatakan, "jauh di mata namun dekat di hati" untuk mengungkapkan kerinduan. Dengan hanya "dekat di hati", ungkapan kerinduan itu tidak terlalu "nendang". Bandingkan jika didahului dengan kalimat "jauh di mata", terasa lebih bermakna, bukan. 

Kalau ada orang mengatakan saya punya sawah "sejauh mata memandang", itu maknanya pujian karena boleh jadi saya punya sawah yang luas. Tidak ada kalimat "sedekat mata memandang" untuk menunjukkan betapa sempitnya sawah yang saya miliki. Kata "jauh" di sini lebih bertenaga dibanding "dekat".

Pak Jakob, guru sekaligus pimpinan saya di Harian Kompas selaku menekankan karyawannya memiliki "visi jauh ke depan" dengan "tidak melupakan yang dekat". Dalam kalimat ini terkandung makna bahwa "jauh" maupun "dekat" sama pentingnya. Para sopir bus kota pada masa lalu menerapkan kesetaraan makna dalam ongkos yang mereka tetapkan; "jauh-dekat seratus rupiah". Tidak ada beda antara "jauh" dan "dekat".

Benar kata Pak Masri -demikian saya memanggil senior saya alumni UGM/Universitas Gramedia- bahwa setelah sama-sama pensiun dari kantor yang kami maknai sebagai "universitas kehidupan" itu, jarak yang demikian "jauh" menjadi "dekat" berkat kegiatan literasi sebagai satu-satunya kemampuan yang terus kami jalani hingga saat ini.

Kami terpaut usia dua tahun dengannya dan hitungan dalam matematis meski kami terpaut satu jam pun, Pak Masri tetaplah senior dan ia akan selalu menempatkan saya sebagai junior. Ia contoh "garis keras" menulis. Ada ribuan artikel dan ratusan buku yang lahir dari tangan dingin dan kepala panasnya. Tulisan yang menghidupi sekaligus menghidupkan semangatnya. Ia multifacet, apa saja bisa ia tulis; dari humor sampai horor.

Berkat Yansen Tipa Padan yang juga setarikan napas dalam hal literasi, jarak yang "jauh" itu menjadi "dekat" dan bahkan kini "menyatu" menjadi satu kekuatan penggerak literasi. Jika Pak Yansen lebih berperan sebagai pengungkit, kami bertiga yaitu saya, Masri dan Dodi Mawardi berperan sebagai penggerak dengan terus berliterasi tiada henti, salah satunya adalah menulis.

Meski kami berempat secara geografis terpisah jarak yang "jauh" membentuk empat "dot" (titik): Tanjung Selor, Karawaci, Bintaro, Cibubur, namun secara psikologis kami "dekat". Literasi menghubungkan keempat titik itu.

Terbukti, literasi mampu melenyapkan bentangan jarak sehingga kami dapat menyatu.

***