Bekerja Seperti Akar
Di dalam sunyi kedalaman tanah, akar bekerja tanpa sorak-sorai. Ia tak pernah memamerkan jasanya, tak pula menuntut pengakuan. Akar, sebagaimana digambarkan dalam lagu berjudul Akar ciptaan Iwan “Abah” Abdulrachman, trubadur dari Bandung Utara, adalah lambang pengabdian yang tulus.
Lewat dentingan gitar akustik Langkah grup Kalikausar, yang pada 1977 memukau pendengar dengan Sejuta Kabut, Abah Iwan menyanyikan esensi akar, yakni sebuah eksistensi yang memberi tanpa meminta, menopang tanpa terlihat. Akar menyerap air, menyuburkan batang, menghijaukan daun, dan mempersembahkan buah—semua dilakukan dalam diam, jauh dari sorotan mata.
Filosofi akar mengajarkan kita tentang keikhlasan. Ia tak pernah naik ke permukaan untuk berkoar, “Lihatlah aku, yang membuat pohon ini kokoh, yang menghidupkan bunga, yang menghasilkan buah!” Akar adalah metafora dari kerja yang tak terpuji oleh dunia, namun esensial bagi kehidupan. Dalam kesendiriannya, akar bebas dari godaan kesombongan, bebas dari nafsu untuk dianggap penting. Tetapi, di era modern yang riuh ini, adakah kita masih mampu meneladani sifat akar?
Di tahun 2025, dunia kita dipenuhi sorotan. Media sosial, seperti platform X, menjadi panggung di mana setiap Langkah diukur dari jumlah like, retweet, atau view. Menurut laporan We Are Social pada Januari 2025, pengguna media sosial global mencapai 5,17 miliar, dengan 62,3% populasi dunia terhubung secara daring. Dalam budaya ini, bekerja seperti akar—tanpa sorotan—bisa terasa sia-sia. Kita didorong untuk memamerkan setiap langkah. Dari rencana megah hingga hasil kecil, semua harus divisualisasikan, diumumkan, dan divalidasi oleh orang lain.
Politisi, misalnya, sering kali menjadi antitesis dari akar. Sebelum Pemilu 2024 di Indonesia, spanduk dan baliho bertebaran, menjanjikan “akan” ini dan “akan” itu. Data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ribuan pelanggaran kampanye, termasuk pemasangan alat peraga yang tak sesuai aturan.
Janji-janji itu kerap menguap pasca-pemilu, meninggalkan konstituen dalam kebisuan. Mereka yang berlabel “Tuan Akan” ini jauh dari sifat akar, yang bekerja tanpa perlu menggembar-gemborkan niat.
Pejabat publik pun tak luput dari sorotan ini. Dalam laporan Kementerian Pertanian 2024, Indonesia mengklaim swasembada beras, namun impor beras masih mencapai 2,5 juta ton pada tahun yang sama, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Klaim prestasi sering kali lebih keras suaranya ketimbang kenyataan di lapangan. Akar, sebaliknya, tak pernah mengumbar hasil. Ia hanya memberi, dalam diam, tanpa meminta tepuk tangan.
Mereka yang Bekerja seperti Akar
Meski dunia riuh, masih ada mereka yang menyerupai akar, bekerja dalam kesunyian untuk kebaikan bersama. Para pemulung di Jakarta, misalnya, mengelola sampah yang menumpuk hingga 8.000 ton per hari, menurut Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta (2024). Tanpa mereka, kota akan tenggelam dalam limbah. Namun, adakah yang memuji kerja mereka? Mereka bekerja tanpa spanduk, tanpa sorotan kamera.
Di pesisir Madura, petani garam berjuang di bawah terik matahari. Produksi garam nasional pada 2024 hanya mencapai 1,1 juta ton, jauh di bawah kebutuhan 3,7 juta ton, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tanpa mereka, masakan kita kehilangan rasa. Di hutan-hutan Sulawesi, penyadap aren menorehkan getah dalam kesendirian, menyumbang gula aren yang menghidupkan industri kuliner tradisional. Peneliti di laboratorium, seperti mereka yang mengembangkan vaksin Merah Putih di Universitas Airlangga, bekerja bertahun-tahun dalam sunyi sebelum hasilnya terlihat.
Mereka ini adalah akar-akar kehidupan. Mereka tak mencari pengakuan, namun keberadaan mereka menopang kita semua. Filosofi akar mengingatkan kita pada konsep wuwei dalam Taoisme, yakni bertindak tanpa memaksakan diri, memberi tanpa mengharap balas. Dalam kesunyian, mereka menunjukkan ketangguhan sejati.
Pertanyaan yang menggelitik, adakah ruang bagi kita untuk menjadi akar di zaman yang menuntut sorotan? Mungkin sulit membayangkan bekerja tanpa pengakuan, terutama ketika penghargaan sering diukur dengan bonus, promosi, atau popularitas. Namun, akar mengajarkan bahwa makna kerja bukan pada sorotan, melainkan pada dampak yang diberikan.
Seorang guru di pedalaman Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara, yang mengajar tanpa fasilitas memadai, misalnya, adalah akar yang sejatinya. Seorang relawan yang membersihkan sungai tanpa nama di medsos adalah akar. Mereka adalah bukti bahwa sifat akar masih hidup.
Pada akhirnya, bekerja seperti akar adalah pilihan filosofis. Ia menantang kita untuk merenung, apakah kita bekerja untuk dilihat, atau untuk memberi makna?
Di tengah hiruk-pikuk dunia, mungkin kita bisa belajar dari akar, bahwa dalam kesunyian kita menemukan kekuatan dan dalam pengabdian tanpa sorotan kita menemukan keabadian.
Kita harus belajar dari akar, belajar dari warga Krayan.
Malinau, 18 Juni 2025
***