Pertemuan Ibu dan Anak yang Tertunda Penerbangan

Di Long Bawan, ada bandara kecil. Kecil sekali. Seperti mimpi yang tak selesai. Seperti kamar tunggu di ujung dunia yang cuma bisa menampung rasa rindu, takut, dan... ya, doa.
Di sanalah seorang ibu duduk. Tidak, dia tidak duduk. Dia mengambang. Matanya tak ke langit, tak ke tanah. Wajahnya, ah, wajah itu seperti kertas yang basah, tak bisa lagi menampung tulisan apa pun. Ia sudah check-in. Sudah. Sudah! Tapi pesawat tak kunjung datang. Atau lebih tepat: tidak jadi datang.
“Cuaca tidak mengizinkan,” kata petugas bandara. Seolah langit itu punya KTP. Seolah langit bisa ditanya dan bilang, "Maaf ya, saya lagi pusing."
Pesawat itu kecil. Hanya 7-9 orang. Seperti arisan ibu-ibu RT. Tapi yang ini bukan arisan. Ini antara hidup dan mati. Dan anaknya, anaknya di Malinau, sedang sakit. Sakit sekali. Tapi siapa peduli?
Ibu itu pulang. Pulang dengan tubuh, tidak dengan hati. Jiwanya masih nongkrong di ruang tunggu bandara. Tidak ada yang mengusirnya. Tidak ada yang menyuruhnya pulang. Tapi ia pulang. Karena pesawat tidak jadi datang.
Besoknya, langit cerah. Seperti tidak pernah punya salah. Seperti tidak pernah menggagalkan siapa pun. Pesawat datang. Ibu datang. Naik. Duduk. Diam.
Doa. Sepanjang 30 menit di udara. 30 menit! Itu bisa untuk bikin mi instan enam kali. Tapi ibu itu tidak makan. Tidak melihat keluar jendela. Tidak juga menangis. Ia hanya... berdoa.
Tapi Tuhan sudah mengetuk jam lebih awal. Anak itu sudah pergi jam 9 pagi. Pesawat baru lepas landas jam 10. Jadi siapa yang telat? Siapa yang datang lebih dulu?
Tidak ada yang bilang apa-apa kepada si ibu. Karena siapa sanggup bilang, “Bu, anak Ibu sudah tiada,” di tengah langit yang biru?
Di Malinau, ibu itu dijemput. Dibawa ke rumah sakit. Mobil berjalan cepat. Tapi tidak cukup cepat untuk mengalahkan kematian.
Di depan kamar jenazah, ia berhenti. Menatap pintu. Pintu tidak bicara apa-apa.
Lalu ia masuk. Dan di sanalah anak itu. Diam. Lebih diam dari doanya tadi di udara.
Ibu itu tidak menangis. Tidak marah. Tidak menggugat pesawat, petugas, cuaca, Tuhan.
Ia hanya melihat. Dalam-dalam. Seperti menelusuri jejak terakhir yang entah dari mana dimulai. Seperti ingin bertanya: apakah selama 30 menit di langit tadi, anaknya juga sedang melayang?
Tidak tahu, siapakah yang salah? Sebuah pertemuan yang tertunda.
Atau mungkin doa seorang ibu memang selalu sampai. Tapi kadang, jawaban Tuhan sudah lebih dulu sampai ke alamat lain.