Perang : Menang jadi Arang, Kalah jadi Abu dan Siapa yang Primitif?
.png)
Pepih yang lebih dulu memicu "perang pena" terkait perang Israel-Iran.
Saya coba menangkisnya, dengan sudut-pandang agak berbeda. Sudut-bidik ala-Dayak tentunya. Sukubangsa yang seabad lalu dicap oleh mereka yang saat ini justru melakukannya. Dan kembali ke titik-nadir peradaban: perang, permusuhan, dan balas dendam.
Saya teringat sebuah kalimat yang diucapkan di benua lain, dari masa yang jauh:
“In the primitive age, man fought; in the digital age, we collaborate.”
Kalimat itu menyiratkan gagasan tentang kemajuan peradaban umat manusia. Bahwa kita telah meninggalkan zaman kekerasan dan menuju era kolaborasi. Tapi benarkah demikian?
Ketika hari ini kita membuka media sosial, membaca berita daring, atau sekadar mendengar radio, yang muncul bukanlah cerita tentang kolaborasi, melainkan tentang perang. Tentang Timur Tengah. Tentang Rusia dan Ukraina. Tentang ketegangan yang menjalar dari Israel hingga Iran. Dunia tidak sedang berkolaborasi. Dunia sedang mempersiapkan medan tempur berikutnya.
Seseorang di sudut kafe Jakarta berkata, “Asalkan bukan di sini.”
Kalimat itu terdengar seperti semacam doa yang dibalut egoisme. Seolah-olah kekacauan dunia adalah tontonan yang bisa dilewati, asal tak berdampak langsung pada kita. Tapi sejarah selalu punya cara untuk mengejutkan.
Tidak ada perang yang benar-benar jauh. Setiap letupan di luar negeri, setiap drone yang meluncur di langit asing, lambat laun mengendap ke dalam hidup kita; baik dalam bentuk inflasi, kekacauan energi, atau migrasi manusia yang tak terbendung.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan penting harus diajukan: siapa sebenarnya yang masih “primitif”? Siapa yang masih percaya bahwa kekerasan adalah jalan menuju penyelesaian?
Bukan Dayak.
Suku bangsa ini, yang dahulu oleh orang Eropa dicap sebagai pemburu kepala, kini justru menjunjung tinggi kehidupan. Dalam banyak komunitas Dayak, iman kepada Tuhan bukan hanya soal ritual, tetapi praktik harian yang membumi. Mereka takut akan Tuhan, tapi bukan karena dogma. Mereka menjaga sesama dan alam sekitar bukan karena peraturan negara, tapi karena nilai-nilai luhur yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Dalam sejarah modern, Dayak tidak pernah memulai perang atas nama ekspansi. Tidak pernah menyerang demi sumber daya. Tidak pernah membangun negara atas dasar invasi. Justru ketika alam mereka dirampas oleh sawit, tambang, dan kekuasaan modal, mereka tetap bersikap sabar, mencari jalur hukum, menjaga adat, dan mendidik generasi mereka dengan kesadaran ekologis dan spiritual.
Bandingkan dengan mereka yang hari ini memiliki bom nuklir, armada kapal induk, dan jaringan satelit. Negara-negara besar itu bicara tentang demokrasi dan perdamaian, namun merancang rudal dan mendanai perang. Mereka menyembah pasar, memuliakan pertumbuhan ekonomi, dan mengorbankan manusia serta lingkungan dalam prosesnya. Mereka modern dalam teknologi, tapi primitif dalam watak kekuasaan.
Sejarah memberi kita cermin yang jelas. Dari Firaun hingga Hitler, dari Nero hingga VOC, kejahatan, sebesar dan sekuat apa pun ia tampak, tidak pernah bertahan lama.
Firaun runtuh karena rakyat yang muak dan krisis alam yang tak dapat dikendalikan.
Nero ditinggalkan oleh rakyat dan elitnya. Hitler mengakhiri hidupnya sendiri saat dunia mengepungnya.
VOC bangkrut oleh kerakusan dan perlawanan lokal yang tak pernah benar-benar padam.
Semua kekuatan jahat dalam sejarah berdiri di atas fondasi yang rapuh: ketakutan, keserakahan, dan penindasan. Dan semuanya pada akhirnya runtuh oleh satu hal yang sama: perlawanan dan harapan.
Harapan bukan sekadar ide yang manis. Ia adalah bahan bakar sejarah. Ketika Musa membawa bangsanya keluar dari Mesir, harapan adalah obor yang mereka pegang di tengah padang gurun. Ketika White Rose menentang Hitler, mereka tahu risiko yang mereka ambil, tapi tetap menulis, tetap menyebarkan selebaran, karena mereka percaya bahwa kebaikan tidak boleh diam. Ketika para petani rempah Maluku melawan monopoli VOC, mereka tahu bahwa kekuatan tak berpihak pada mereka, tapi harga diri dan keyakinan moral membuat mereka tidak tunduk.
Hari ini, kita hidup dalam dunia yang lebih rumit, lebih canggih, lebih cepat. Tapi wataknya, sering kali, sama saja. Kekuasaan masih diburu. Uang masih jadi ukuran nilai. Dan kekerasan, meski kini lebih tersembunyi dalam bentuk teknologi, masih menjadi pilihan banyak negara.
Perang hari ini tidak lagi dibuka dengan genderang dan pidato. Ia bisa dimulai dengan satu klik. Satu drone. Satu analisis yang salah. Dan dunia bisa berubah hanya dalam hitungan detik. Tapi tetap saja, logika yang dipakai sama seperti zaman batu: siapa kuat, dia menang.
Di sinilah letak keterbalikan dunia. Kita hidup dalam zaman yang secara teknologis modern, tapi dalam hal etika dan nurani, kita justru mundur. Kita bisa membuat jaringan global, tapi tidak bisa membangun empati lintas batas. Kita bisa mengakses informasi dalam hitungan detik, tapi tidak punya cukup waktu untuk merenung. Kita bisa membuat satelit untuk mengawasi bumi, tapi tak mampu menjaga bumi itu sendiri.
Sementara itu, di pedalaman Borneo, masyarakat Dayak tetap hidup dengan cara yang tidak spektakuler, tapi mendalam. Mereka tak butuh banyak untuk merasa cukup. Mereka mengukur waktu bukan dengan jam digital, tapi dengan perubahan angin dan nyanyian burung. Mereka tidak bicara tentang “kolaborasi digital”, tapi setiap panen dan upacara adat adalah bentuk kolaborasi sejati, antara manusia dan alam, antara generasi tua dan muda, antara yang hidup dan yang sudah tiada.
Mereka menjaga hutan seperti menjaga tubuh sendiri. Bagi mereka, sungai bukan sekadar jalur air, tapi urat nadi kehidupan. Mereka tidak punya anggaran besar untuk konservasi, tapi mereka tahu bahwa tanpa hutan dan tanah, mereka bukan siapa-siapa. Dan karena itu, mereka menjaganya dengan iman, bukan hanya dengan regulasi.
Ketika dunia seperti sekarang berada di ambang bencana global, pelajaran dari Dayak menjadi sangat relevan. Mungkin dunia memang perlu terbalik. Agar kita bisa melihat bahwa yang dulu kita anggap “terbelakang” justru lebih maju dalam hal cara hidup yang selaras. Bahwa yang dulu disebut “pagan” justru lebih dekat dengan hakikat keberagamaan. Bahwa yang dulu dianggap “liar” justru tahu bagaimana merawat peradaban.
Dunia hari ini berjalan cepat, tapi tak tahu ke mana. Kita dipacu oleh kemajuan, tapi kehilangan arah. Kita merayakan teknologi, tapi melupakan kearifan. Dan ketika semuanya runtuh, ketika krisis datang entah dalam bentuk perang, pandemi, atau kerusakan iklim, kita akan mulai bertanya: siapa sebenarnya yang waras?
Mungkin jawabannya ada di kampung-kampung yang dulu kita anggap pinggiran. Di komunitas-komunitas yang tak punya akses internet supercepat, tapi punya ketenangan jiwa. Di antara orang-orang yang tidak banyak bicara tentang kolaborasi, tapi hidup setiap hari dalam semangat gotong-royong.
Dan mungkin, dari sanalah kita bisa mulai merajut kembali dunia yang telah terbalik. Dengan harapan. Dengan keberanian. Dan dengan kesadaran bahwa primitif bukan soal alat yang digunakan, tapi cara manusia melihat sesamanya dan alam semesta.
***
Saya juga teringat akan Paus Fransiskus. Nama ini membawa serta gaung kehangatan, kesederhanaan, dan semangat kemanusiaan yang begitu kuat.
Ketika ia menginjakkan kaki di Indonesia pada 3-6 September 2024, rasanya ada sesuatu yang istimewa di udara. Lawatan apostoliknya itu bukan sekadar kunjungan seorang pemimpin agama, tetapi juga sebuah pernyataan tentang dialog, perdamaian, dan harapan di tengah dunia yang sering kali terpecah belah. Sebagai Paus ke-266 dalam sejarah Gereja Katolik, Fransiskus membawa warisan panjang, namun dengan caranya sendiri yang begitu merakyat.
Kata Paus Fransiskus, "Pemicu perang adalah kesombongan dan keserakahan."
Kesombongan dan keserakahan.
Dua patah kata itu adalah dosa sosial. Bukan hanya ranah pribadi orang per-orang.
Jakarta, 23 Juni 2025.