Menguak Syahwat Kuasa di Panggung Politik Indonesia
.jpg)
Politik Indonesia selalu diwarnai hasrat untuk berkuasa yang menjadi nyanyian abadi, menggema di setiap sudut kekuasaan. Dulu, di era Soeharto, seragam militer menjadi simbol kuasa, menjamin posisi elite TNI di berbagai jenjang pemerintahan—kecuali singgasana presiden. Kini, panggung telah bergeser. Politikus, dengan segala manuver dan ambisinya, menjadi pemeran utama dalam drama perebutan kekuasaan. Birokrat, teknokrat, bahkan tokoh masyarakat, harus menjelma menjadi politikus untuk melepas syahwat kuasa mereka.
Namun, benarkah hasrat ini sekadar naluri manusiawi, atau justru bayang-bayang gelap yang mengaburkan esensi kepemimpinan?
Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa sejak Reformasi 1998, lebih dari 80% kandidat presiden dan wakil presiden berasal dari latar belakang politikus atau ketua umum partai politik. Pola ini terlihat jelas pada Pilpres 2004, 2009, 2014, 2019 dan bahkan 2024 di mana figur seperti Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto semuanya memiliki akar kuat di partai politik sebelum menduduki kursi eksekutif. Untuk menjadi calon presiden, menjadi ketua umum partai bukan sekadar keuntungan, melainkan keharusan.
Jika seseorang ingin meraih kursi eksekutif—presiden, gubernur, atau bupati/wali kota—jalur legislatif sering kali menjadi batu loncatan. Data KPU mencatat bahwa 65% gubernur terpilih pada periode 2010-2020 pernah menjabat sebagai anggota DPR atau DPRD sebelumnya.
Ini menunjukkan bahwa politik Indonesia telah membentuk hierarki yang jelas: dari pengurus partai di tingkat kabupaten hingga pusat, menuju legislatif, lalu baru ke eksekutif. Namun, diotomi etnis juga tak bisa diabaikan. Dalam tiga dekade terakhir, 70% presiden dan wakil presiden Indonesia beretnis Jawa, mencerminkan dominasi demografis yang kerap dieksploitasi tim sukses untuk memobilisasi dukungan.
Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche dalam The Will to Power menyebut hasrat berkuasa sebagai dorongan dasar manusia untuk mengatasi dan mengendalikan lingkungannya. Bagi Nietzsche, “kehendak untuk berkuasa” bukan sekadar ambisi, tetapi ekspresi vitalitas hidup. Namun, ia juga memperingatkan bahwa hasrat ini bisa menjadi destruktif jika tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral.
Dalam konteks Indonesia, hasrat ini sering kali terlihat dalam manuver politik yang mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok di atas amanah rakyat.
Sosiolog politik dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, menilai bahwa syahwat berkuasa di Indonesia kerap kali berujung pada “politik transaksional”. Dalam wawancara dengan Tempo pada 2023, ia menyebutkan bahwa 80% dana kampanye calon legislatif dan eksekutif berasal dari “cukong” atau donatur swasta, yang kemudian menuntut imbalan berupa proyek atau kebijakan yang menguntungkan. Kasus seperti skandal korupsi Bansos 2020-2021, yang melibatkan politisi senior, menjadi bukti bagaimana kuasa sering kali dipertahankan melalui jaringan patronase.
Filsuf politik Hannah Arendt menawarkan perspektif lain. Dalam The Human Condition, ia membedakan “kuasa” (power) sebagai hasil dari tindakan kolektif yang sah, dengan “kekerasan” (violence) yang kerap menyertai ambisi pribadi. Di Indonesia, batas antara keduanya sering kabur. Contohnya, praktik politik uang yang tercatat dalam laporan Bawaslu di mana pada Pemilu 2019, lebih dari 1.200 kasus pelanggaran terkait politik uang dilaporkan, meski hanya 10% yang berujung pada sanksi hukum. Ini menunjukkan bahwa kuasa di Indonesia sering kali dibeli, bukan diperoleh melalui legitimasi rakyat.
Kuasa, Amanah atau Sekadar Fatamorgana?
Pada Pilpres 2014, panggung politik Indonesia menjadi arena pertarungan hasrat berkuasa. Nama-nama seperti Prabowo Subianto dan Joko Widodo menjadi sorotan, bukan hanya karena visi mereka, tetapi juga karena pengaruh dan dukungan finansial yang mengiringi kampanye mereka. Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2014 memperkirakan bahwa biaya kampanye seorang calon presiden bisa mencapai Rp500 miliar hingga Rp1 triliun, dengan sebagian besar berasal dari donatur swasta.
Fenomena ini mengingatkan pada pernyataan almarhum Nurcholish Madjid, yang gagal dalam konvensi Golkar 2004 karena ketiadaan “modal finansial”. Tanpa uang, panggilan nurani untuk mengabdi tak cukup kuat di tengah riuhnya politik transaksional.
Apa yang terjadi setelah kuasa diraih? Nietzsche memperingatkan bahwa setelah hasrat terpenuhi, sering kali muncul kekosongan—lupa pada esensi kekuasaan sebagai amanah. Di Indonesia, ini terlihat dari janji-janji kampanye yang kerap menguap pasca-pemilu. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2015 menunjukkan bahwa hanya 30% pemilih merasa puas dengan kinerja presiden dan wakil presiden terpilih dalam setahun pertama masa jabatan. Rakyat, yang menjadi penentu kuasa, sering kali hanya menjadi penonton pasif setelah pemungutan suara.
Apa sesungguhnya esensi kuasa? Bagi Nietzsche, kuasa adalah dorongan untuk mencipta dan mendominasi, namun tanpa tanggung jawab, ia menjadi fatamorgana yang menipu. Dalam politik Indonesia, kuasa sering kali dikejar bukan untuk melayani, tetapi untuk mengamankan aset, membangun dinasti, atau membalas budi kepada pendukung. Data dari Transparency International menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2024 masih berada di peringkat 115 dari 180 negara, mencerminkan tantangan sistemik dalam menjaga integritas kekuasaan.
Pakar politik dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, berpendapat bahwa pemimpin sejati lahir dari kemampuan membangun kepercayaan rakyat, bukan sekadar mengandalkan pengaruh atau uang. Dalam wawancara dengan Tempo pada 2024, ia menekankan perlunya reformasi sistem politik untuk mengurangi ketergantungan pada modal finansial dan memperkuat mekanisme akuntabilitas. Tanpa itu, hasrat berkuasa akan terus menjadi kabut misteri yang menyelimuti panggung politik Indonesia.
Rakyat, sebagai pemilik suara, berada di persimpangan. Mereka bisa terus menjadi penonton, atau menuntut lebih dari sekadar janji manis. Seperti kata Arendt, kuasa sejati lahir dari tindakan kolektif—bukan dari syahwat pribadi yang membutakan. Di tengah hiruk-pikuk Pemilu 2024, pertanyaan mendasar tetap menggema apakah kuasa akan menjadi amanah, atau sekadar fatamorgana yang dikejar tanpa akhir?
***
Catatan: artikel ini diambil dan diolah kembali dari buku yang ditulis Pepih Nugraha: Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang (Bentang Pustaka, 2013)