Riset

Dayak Katolik, Menyibak Jejak-Jejak Sejarah Masa Lalu

Rabu, 20 Januari 2021, 17:56 WIB
Dibaca 1.942
Dayak Katolik,  Menyibak Jejak-Jejak Sejarah Masa Lalu
Dayak di Kalbar identik dengan Katolik.

Penulis akui bahwa dalam membaca sejarah Dayak dan tentang Dayak mendapat kesulitan di sana sini. Hal ini dikarenakan yang menulis ini bukanlah seorang sejarahwan melainkan golongan muda yang bertanya dan berefleksi tentang identitas dirinya.

Maksud dari narasi ini adalah bagaimana orang Dayak khusus yang sudah masuk dalam Gereja Katolik menempatkan dirinya. Ia terlibat dalam menanggapi kilasan sejarah, persoalan sosial, politik dan budaya. Ia tidak menutup mata dan berpangku tangan tetapi terus bergerak dan terlibat, bukan pertama-tama untuk diri sendiri dan kelompok tetapi untuk kesejahteraan bersama.

Nada bahasa dalam buku ini adalah nada bahasa eksklusif Katolik Dayak dan memang ini merupakan sebuah ‘kicauan dari dalam’. Seperti burung yang berkicau di atas pepohonan yang bisa saja didengar bisa saja tidak, demikianlah buku ini. Kicauan ini hanya merupakan upaya untuk sedikit menanggapi beberapa isu yang ada di dalam Katolik khususnya suku Dayak di Kalimantan.

Konteks yang disoroti dalam narasi ini banyak berasal dari Kalimantan Barat tetapi sari pati yang terurai mengacu pada ajaran sosial Katolik. Bantuan peneropongan dari ajaran sosial Katolik membantu memperdalam ide-ide yang dimuat sekaligus menunjukkan suara Gereja yang benar.  

Militansi umat Katolik khususnya kaum Dayak perlu terus dipacu dengan berbagai bantuan. Sebab kami berpegang teguh bahwa misi yang telah tertanam sebagai mutiara berharga tidak mungkin dilemparkan kepada ternak. Misi ini terus dilanjutkan dengan berbagai daya upaya. Pengajaran, katekese, kotbah, dan perjumpaan sangat mendukung kelanjutan misi ini. Kilasan sejarah hingga persoalan-persoalan terkini mesti ditanggapi guna melanjutkan pertualangan misi dan pembangunan Kerajaan Allah di tempat ini.  

Beberapan kebingungan, kesulitan, tantangan dan harapan indah tergores dalam beberapa tulisan untuk terlibat melahirkan gairah bagaimana Gereja dibawa ke depan. Beberapa pertanyaan dan kritik kecil dalam buku ini merupakan ungkapan kegelisahan sebagai orang muda. Mudah-mudahan apa yang terungkap dalam tema-tema di buku ini menjadi ‘pentilasi’ untuk memperdalam kekatolikan dan kedayakan sehingga terus menghirup udara segar dalam tubuh Gereja meskipun dilanda berbagai tantangan.

Di sini kami juga ingin menyampaikan bahwa narasi ini untuk menggurui siapapun. Semuanya murni lahir dari sebuah refleksi yang kemudian terungkap dalam tulisan. Apabila ada yang tidak sepaham jelas itu merupakan sesuatu yang sangat lumrah terjadi. Ide-ide argumentasi buku ini banyak merupakan pendapat pribadi penulis.

Yang jelas baik Katolik Dayak maupun non-Katolik Dayak dapat membaca narasi ini sebagai salah satu referensi apa yang menjadi ‘suara di dalam’ dari salah seorang buah misi di Kalimantan ini. Keyakinan bahwa beberapa tema senada juga menjadi kegelisahan banyak orang di berbagai tempat sangat mungkin saja terjadi. Itulah mengapa buku yang banyak bernada kegelisahan reflektif ini ditampilkan sebagai salah satu sumbangan kecil agar pembaca juga turut memikirkan persoalan yang serupa.

Terima kasih, selamat membaca.

Baca Juga: Memisahkan Sains dan Agama pada Ruang Berbeda

Apa yang dapat kita katakan tentang Dayak dahulu? Penulis membaca beberapa literatur yang ditulis oleh orang lain (maksudnya bukan orang Dayak) tentang siapa dan bagaimana orang Dayak itu dahulu. Para penulis itu menulis berdasarkan pengalaman pribadi dan jelas tidak lepas dari pandangan subjektif mereka sendiri. Walaupun demikian, sulit mengabaikan apa yang disampaikan oleh para saksi tentang Dayak itu untuk berbicara mengenai Dayak yang kini masih ada. Boleh kita memberi apresiasi bagi mereka yang meninggalkan pengalaman hidup bersama orang Dayak dalam tulisan-tulisan mereka.

Beberapa hal yang penulis tampilkan di sini ialah hal-hal yang senada antara penulis satu dengan penulis yang lain. Tampilan dari kesaksian demi kesaksian ini lebih merupakan sebuah tampilan untuk berefleksi tentang jati diri Dayak sendiri.

Narasi Masa Lampau: Tertindas, Terpelosok, dan Terbelakang

Dari banyak literatur yang berbicara tentang Dayak tidak satu pun yang luput menulis tentang Dayak dahulu yang tertindas, terpelosok, dan terbelakang. Dayak menjadi suku yang tersingkir di tanah sendiri. Kesaksian ini mungkin hanya dilihat oleh para misionaris dan para antropolog yang secara jujur mengungkapkan tentang situasi orang Dayak kala itu.

Sebagai contoh yang begitu menyentuh hati ialah kesaksian Pastor I.P.N Sanders tahun 1816. Dalam catatan Sanders, ia mengungkapkan bagaimana kesedihannya melihat orang Dayak kala itu di Kalimantan. Sanders mengatakan, “Di antara rakyat yang terjajah ini, nasib orang Dayaklah dalam segala hal paling menyedihkan.

Baca Juga: Agama yang Dibawa-bawa dalam Penunjukan Kapolri

Oleh karena itu, sangatlah diharapkan, agar di kalangan rakyat yang bernasib jelek ini dapat dimulai suatu misi....” Pastor Sanders tidak menyangkal bahwa misi bagi orang Dayak akan mengalami banyak kesulitan yang harus diatasi. Tetapi menurutnya misi itu perlu untuk membawa sesuatu yang indah bagi Dayak.

Salah satu kesulitan waktu itu yang disebut ialah ketamakan yang tak dapat dipuaskan dan pemerasan yang tiada henti-hentinya...terhadap orang Dayak. Pemerasan ini menurut Sanders dapat “mengecewakan harapan-harapan yang terbaik,  dan menggagalkan cita-cita yang indah” di kalangan Dayak. Sebab “pemerasan dan ancaman- ancaman dalam segala hal ini merupakan senjata yang paling ampuh ... yang tak terbatas atas penduduk Dayak.”

Mengenai Dayak yang tertindas ini Pastor Herman Josef van Hulten mengutip apa yang dikatakan oleh Gentilis von Loon. Pastor Herman mengatakan, “Apa yang kutulis dalam kisah yang panjang tentang penindasan para Daya, Gentilis von Loon dalam satu kalimat merangkum: “berabad-abad lamanya para Daya didesak mundur, dirampok habis dan ditipu ... sebenarnya siapa saja yang berhubungan dengan mereka.” Dayak kala itu seolah-olah tuan yang disekap di dalam lumbungnya sendiri.

Selain ditindas, Dayak tergolong suku yang menempati tempat yang terpelosok. Jarang ada Dayak zaman dahulu berkumpul di pusat-pusat pemerintahan, kota atau tempat-tempat strategis perekonomian.

Pastor Herman mengungkapkan demikian, “Semua muara sungai, sedangkan itu banyak sekali, sepanjang Sungai Kapuas 1000 kilometer (sebenarnya 1.143 km), diduduki oleh orang-orang Melayu dan di belakang muara itu dalam hutan-hutan tinggal para Daya.” Seolah-olah Dayak menyembunyikan diri. Ingin hidup bebas dengan kekayaan alam yang tersedia. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa dengan jauh dari muara-muara sungai itu, Dayak sudah lelah ditindas.

Jarak yang jauh

Pastor Pacifikus pernah mengungkapkan tentang kesulitan untuk membangun manusia Dayak di Kalimantan. Kesulitan itu menyangkut jarak antara kampung yang sangat jauh. Selain dari jarak yang jauh penghuni kampung-kampung Dayak sangat sedikit. Jumlah penduduk Dayak sangat kurang dibandingkan dengan yang lain. Hal ini menyulitkan terutama menyangkut membangun sekolah bagi Dayak.

Pacifikus menulis demikian, “Kesulitan-kesulitan besar misi Dayak adalah: jarak-jarak yang sangat besar dan kekurangan masyarakat....Pada jarak-jarak tertentu ditemukan di sana-sini di daerah-daerah Dayak satu kampung, satu rumah dengan 20 sampai 100 penghuni. Terlalu kecil untuk satu sekolah, terlalu jauh dan sulit letaknya untuk bersama kampung-kampung lain bersama mengisi satu sekolah. Itu merupakan salah satu sebab mengapa kami di stasi-stasi kami, sekurang-kurangnya untuk sementara, diperlukan asrama-asrama. Antara orang-orang Dayak dan Cina, misi tetap setia akan panggilan merawat orang-orang sakit.”

Kesaksian lain IPN Sanders mengungkapkan hal yang senada. Dia mengatakan, “Masih ada lagi satu kesulitan besar dalam hubungan ini, ialah bahwa orang Dayak ini hampir semuanya terpencar-pencar satu sama lain dan berdiam di tempat-tempat yang hampir tidak bisa dicapai. Kampung terbesar, yang sudah saya lihat, terdiri atas 90 jiwa, yakni pria, wanita dan anak-anak, sedangkan kebanyakan kampung biasanya cuma meliputi 40 sampai 50 jiwa.”

Sejak lama  jumlah penduduk bagi komunitas Dayak sudah menjadi perbincangan. Perlu sebuah perspektif yang mendukung adanya keinginan besar agar warga Dayak sendiri memikirkan bagaimana kelanjutan keturunan suku bangsanya. Kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang menyudutkan sangat dibutuhkan dewasa ini.

***

Penulis adalah Sarjana Filsafat Teologi asal Kalimantan Barat. Saat ini bertugas di Desa Tuguk, Kayan Hilir.