Filosofi

Memisahkan Sains dan Agama pada Ruang Berbeda

Selasa, 18 Agustus 2020, 11:18 WIB
Dibaca 601
Memisahkan Sains dan Agama pada Ruang Berbeda
Ilustrasi ilmu dan filsafat (Foto: Graha Filsafat)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Orang-orang pinter bicara sains dan agama sampai keriting begitu, asap mengepul dari kepala. Bagi saya yang terbiasa berpikir sederhana, cuma tersedia 3 opsi antara sains dan agama: 1. saling melengkapi, 2. saling mempertentangkan, dan 3. saling mencuekkan (napsi-napsi).

1. Saling Melengkapi

Ini sangat ideal kalau bisa dilakukan, sebagaimana penggambaran Dan Brown dalam novel-novelnya, sepertinya lewat cara bercerita ia ingin mencoba sekuat mungkin "menjodohkan" ilmu pengetahuan yang tampak keren dengan agama yang tampak kolot itu, syukur kalau berlanjut ke jenjang "perkawinan".

Sains seperti fisika dan matematika, dipenuhi angka-angka. Islam, misalnya, sangat menyukai angka-angka ganjil seperti 1, 5, 33, 99 dan seterusnya. Pun Hindu sangat menghormati bilangan-bilangan tertentu.

Apa maknanya, agama mengenal bilangan dengan kekuatan "spiritual" di dalamnya. Bagaimana dengan sains, ia tidak peduli dengan agama apapun yang menggunakan bilangan-bilangan itu sebagai mistis. Di sini, sains agak bersombong diri.

2. Saling Mempertentangkan

Sepertinya kondisi inilah yang ada sekarang, telah ada sejak agama lahir dan akan tetap hidup sampai dunia ini berakhir. Masing-masing, ilmuwan dengan agamawan -sebutlah begitu- saling klaim mana yang lebih relevan dan bermanfaat buat kehidupan, mana yang lebih menghancurkan, apa yang diberikan sains buat kehidupan dan kemaslahatan hidup manusia, apa yang diberikan agama buat peradaban dan kemaslahatan manusia. Sains dan agama tetap berada di atas ring tinju, saling diadu mana yang lebih kuat.

Sains bilang, agama itu irrasional, dogmatis, tahayul, mistis, tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, karenanya buang-buang waktu dan selalu menganggap orang-orang beragama (pemeluknya) tidak jauh dari sifat-sifat tersebut di atas. Agama bilang, sains dan para pemujanya hanya mengurusi persoalan dunia, padahal ada kehidupan yang lebih langgeng kelak di mana semua persoalan "sains" yang rumit akan teratasi, kalau berhasil masuk surga.

Sains juga bersifat menghancurkan, tuh lihat bom atom, nanti mungkin bom nuklir, senjata kimia dan biologis, semua yang berdaya menghancurkan itu adalah produk keangkuhan sains. Sains tak kalah pedas, penghancur dunia yang nyata itu para pemeluk agama (fanatik), yang menganggap agamanya yang paling baik dan karenanya hanya boleh ada satu agama saja di dunia ini, lalu mereka berperang demi mempertahankan agamanya itu. Pertentangan sains dan agama ini tidak akan selesai sampai akhir zaman.

3. Saling Mencuekkan atau Napsi-napsi

Jika dapat memilih opsi 1, adalah sangat ideal, di mana saat sains dapat membuktikan secara ilmiah bergeraknya alam semesta karena ada Sang Penggerak, yaitu Tuhan, bukan bertumpu pada argumen bahwa bergeraknya semesta dan seisinya sesuatu yang mekanistis, dapat dihitung dan dipastikan kejadiannya di masa mendatang, bukan karena "tangan-tangan" Tuhan yang menggerakkan, bukan klaim semata bahwa semua itu karena kehendak Tuhan. Lahirnya semesta bukan karena "Big Bang" tetapi memang ada yang menciptakannya.

Ilmuwan nyinyir kepada kaum beragama, "sedikit-dikit karena Tuhan, sedikit-sedikit karena Tuhan, Tuhan kok sedikit-sedikit", itu 'kan bisa menihilkan penemuan yang sudah teruji secara ilmiah. Sementara kaum beragama menganggap ilmuwan terlalu meremehkan Tuhan, padahal kalau Tuhan berkehendak mencabut nyawa mereka saat ini juga, lenyap sudah itu sains di kepala mereka.

Maka opsi ketiga atau napsi-napsi ini layak dipertimbangkan daripada terjebak pertikaian yang tak kunjung padam antara mana yang lebih unggul antara sains dan agama. Ekstrem dari napsi-napsi ini adalah "saling meniadakan" dan jika itu dianggap lebih baik, kenapa tidak. Sains menganggap agama tiada, pun sebaliknya agama menganggap sains tiada.
Tetapi dalam dunia nyata, peniadaan atau saling meniadakan ini sangat sulit terwujud. Dalam kehidupan sehari-sehari, manusia tidak lepas dari kelimpahan dan nikmat sains dan teknologi, mulai menyalakan lampu, menghidupkan televisi atau komputer, membuka kulkas, sampai menghidupkan mobil. Semua itu hasil sains dengan segala perhitungan presisinya. Jika agama meniadakan hasil sains ini, artinya sangat melecehkan atau mempermalukan agama itu sendiri, karena menutup mata pada kenyataan.

Pada diri manusia, masing-masing individu, terkandung sekaligus antara spiritualitas dan akal, menyatu dalam dirinya, tidak terpisahkan. Pengakuan adanya Yang Lebih Tinggi karena keterbatasan akal membuat dirinya yakin akan adanya Tuhan, larinya adalah ke keimanan. Tetapi dengan akalnya pula, ia berusaha menafsirkan Kitab Suci secara kontekstual, bukan tekstual semata. Dengan sains yang dimilikinya, ia bisa memperkirakan kapan harus berlayar agar tidak terjebak ombak lautan, meski tetap yakin umur ada di tangan Tuhan.

Saya cenderung memilih opsi ini; saya tidak harus ingkar dari agama dan keyakinan Ilahiah meski ilmu pengetahuan bertambah dan teknologi baru ditemukan. Saya tidak harus nyinyir kepada sains dan teknologi wong saya menikmati hasil kerja mereka dalam kehidupan sehari-hari. Suara azan biar terdengar lebih keras dari masjid pun menggunakan teknologi, bukan?

Agama yang dipeluk miliaran manusia yang ada sekarang dan ratusan juta umat manusia yang telah tiada, toh telah membentuk peradabannya sendiri, cara pandanganya sendiri. Orang-orang bisa hidup tenang dan tentram secara spiritual karena kukuh memeluk keyakinannya. Agama menjadi jalan hidup.

Saya senantiasa berusaha mendamaikan sains dan agama dalam diri saya setiap kali saya menarik dan mengembuskan napas. Semua berjalan mekanistis dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang harus saya pertentangkan!

Kalau kamu, pilih opsi mana?

***