Agama yang Dibawa-bawa dalam Penunjukan Kapolri
Nama Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri kini menjadi perbincangan hangat. Tersebab, ia ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Idham Azis yang memasuki masa pensiun.
Khusus untuk Listyo, perbincangan hangat menjurus panas itu bukan sekadar penunjukannya sebagai calon Kapolri baru, melainkan latar belakang agamanya, yaitu Katolik. Perlu ditelusuri sebermula anggapan atau bahkan keharusan bahwa Kapolri harus beragama Islam, sampai-sampai ada media massa arus utama yang memberi judul berita tentang latar belakang agamanya.
Penunjukan Kapolri sejatinya merupakan hak prerogatif Presiden RI, tidak boleh ada campur tangan pihak manapun. Pun publik sebatas memberikan komentar, baik melalui media massa, media sosial, maupun media pribadi. Akan tetapi ketika persoalan keyakinan (baca: agama) yang melekat pada diri Listyo menjadi perbincangan dan bahkan ada yang bernada protes, ini suatu keanehan kalau tidak mau dikatakan kemunduran peradaban.
Padahal, Listyo bukanlah satu-satunya Kapolri yang beragama non-Muslim. Jenderal Widodo Budidarmo yang menjabat Kapolri tahun 1974-1978, juga beragama Kristen. Saat itu Presiden Soeharto yang menunjuknya sebagai Kapolri. Tidak ada yang aneh, sebab dalam hal pimpinan tertinggi institusi Polri, tidak ada kewajiban Kapolri harus diisi oleh seorang muslim.
Tahun 2016 lalu, saat Listyo akan menjabat Kapolda Banten, MUI Banten pernah menolak penunjukan itu dengan alasan yang tidak sesuai peradaban dan keadaban, yaitu karena Listyo non-muslim. Agak aneh, persoalan latar belakang agama seseorang untuk menduduki jabatan publik seperti Kapolri atau bahkan Direktur BUMN baru terjadi semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Baca Juga: Pramugari: Sepotong Cinta dan Pesawat Hilang Kontak yang Membawanya Pergi
Penolakan terhadap Listyo saat itu ditandatangani sejumlah ulama dalam sebuah petisi dan berencana menemui Kapolri yang saat itu dijabat Jenderal Tito Karnavian. Mereka meminta Tito menjelaskan duduknya perkara mengapa menunjuk Listyo sebagai Kapolda Banten, sedangkan Banten merupakan wilayah Kesultanan yang mayoritas penduduknya Islam.
Terlihatlah secara gamblang, Majelis Ulama Indonesia Banten sebagai institusi agama sudah masuk ke dalam urusan politik, yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan keagamaan. Polri jelas bukan lembaga dakwah, Kapolri juga bukan pimpinan ketua dewan dakwah, dewan masjid, dewan gereja dan semacamnya.
Kapolri adalah pimpinan sebuah lembaga yang keberadaannya dilindungi Konstitusi dan hukum. Undang-undang mengamanatkan, Kapolri ditunjuk oleh Presiden RI untuk disetujui DPR.
Urusan agama seharusnya sudah selesai -dalam arti tidak harus dipersoalkan lagi- dalam hal pengangkatan pejabat negara, mulai kepala daerah, pejabat tinggi negara, menteri dan bahkan Presiden. Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan azas Pancasila dan UUD 1945, yang tidak pernah mencantumkan keharusan seseorang beragama tertentu untuk menduduki jabatan apapun. Semua warga negara memiliki hak dan kedudukan yang sama, juga punya kesempatan yang sama.
Jadikanlah agama sebagai pedoman hidup dan keyakinan masing-masing orang yang hubungannya langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tempatkan agama di tempat yang sakral dan menjadi solusi bagi para pemeluknya, bukan menjadi sumber masalah. Sejatinya, agama harus digunakan sebagai sumber persatuan, kesatuan dan kerukunan, sebagaimana amanat Bhinneka Tunggal Ika, jangan jadikan agama sebagai alat penekan, alat politik praktis untuk kepentingan golongan dan kepentingan sesaat.
Joko Widodo selaku Presiden tentu dengan pertimbangan matang tatkala menunjuk Listyo selaku calon tunggal Kapolri. Presiden paham latar belakang Listyo yang non Muslim, tetapi latar belakang agama bukanlah masalah karena tidak melanggar konstitusi. Kecakapan, keterampilan, prestasi dan rekam jejak yang tanpa cacat adalah pertimbangan utamanya, bukan agama.
Baca Juga: Media Jurnalisme Warga dengan Semangat Kebangsaan
Sebagaimana diungkapkan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian, ada sejumlah faktor yang menjadi pertimbanan Presiden sebelum mengusulkan Listyo sebagai pengganti Jenderal Idham Azis. Semua persyaratan formal tentu terpenuhi selain faktor integritas, kompetensi, dan profesionalitas.
Sebelum Presiden menunjuk Listyo, ada empat calon Kapolri lainnya yang disebut-sebut berpeluang menjadi Kapolri, yaitu Gatot Eddy Pramono, Boy Rafli Amar, Agus Andrianto, dan Arief Sulistyanto. Semua berpangkat Komisaris Jenderal (bintang tiga).
Pertimbangan lain menurut Donny, adalah kemampuan calon Kapolri untuk bersinergi dengan para pemangku kepentingan, baik di internal maupun maupun eksternal pemerintahan. Dalam memilih nama calon Kapolri, Joko Widodo tidak sendirian. Ada banyak pihak yang dimintai pertimbangan, salah satunya Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas.
Sebagaimana diberitakan, nama Listyo sebagai calon Kapolri tunggal telah diserahkan Presiden Jokowi kepada DPR melalui Surat Presiden, setelah itu keputusan ada di tangan DPR yang akan melakukan uji kepatutan dan kelayakan. Surat Keputusan Listyo sebagai calon tunggal Kapolri diserahkan Presiden Jokowi kepada DPR, Rabu 13 Januari 2021, dikirim oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Dalam 20 hari ke depan, DPR akan memproses nama calon Kapolri dalam bentuk persetujuan atas calon tunggal Kapolri tersebut.
Tercatat, tiga kasus besar yang pernah ditangani Listyo, yaitu penyerangan terhadap Novel Baswedan, kasus pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 triliun lewat letter of credit (L/C) fiktif dengan tersangka Maria Pauline Lumowa dan pelrian narapidana Djoko Tjandra.
Sudah tepat Presiden Joko Widodo menunjuk Listyo atau siapapun sebagai calon Kapolri tanpa melihat latar belakang agama yang melekat pada dirinya.
***