Literasi

Pramugari: Sepotong Cinta dan Pesawat Hilang Kontak yang Membawanya Pergi

Kamis, 14 Januari 2021, 00:05 WIB
Dibaca 640
Pramugari: Sepotong Cinta dan Pesawat Hilang Kontak yang Membawanya Pergi
cover novel saya (2016), berkisah tentang Bertha, pramugari dan sepotong cintanya yang tulus.

Merinding bulu roma saya membaca-kembali novel  (2016) ini. Berkisah tentang Bertha, pramugari dan sepotong cintanya yang tulus, terbang, hilang bersama tak-tahu.

Saya posting, sepotong saja isi novel ini, halaman 202-210:

14 Februari. Di Hari Valentine. Sebuah kabar tersiar stasiun TV. Pesawat Love Air jatuh di perairan Selat Karimata setelah sempat hilang kontak. Bagi seseorang yang belum kawin, berita itu sangat menyetak. Mungkin bukan hanya ia yang gugup. Orang lain juga. Terlebih keluarga dan handai tolan seluruh penumpang serta kru pesawat. Termasuk kekasih pramugari cantik tinggi semampai, yang celah sarung kebayanya terbelah sungguh menggoda.

***

# 15

Di Heaven

DENGAN jantung berdebar dan lutut gemetar.

Aku mengikuti perkembangan peristiwa nahas pas kejadian di Hari Valentine siang itu. Satu demi satu nama korban terbaca pada over-lay graphic TV.

“Aman!” aku merasa lega.

Syukur kepada Allah! Tak ada namanya dalam senarai korban. “Satu lagi pemirsa,” kata reporter lapangan. “Baru kami terima data korban.”

Tak salah lagi. Pramugari tinggi semampai penutup dan pembuka pintu pesawat salah satu korban pesawat nahas itu. “Dan setelah petugas SAR bekerja keras, berkoordinasi dengan tim Kesehatan, dan DNA dico-cokkan, teridentifikasi identitas korban.”

Pembaca berita berhenti sejenak.

Sembari wajahnya penuh empati, seolah-olah sang reporter turut merasakan dalamnya duka peristiwa nahas itu. “Bertha Valentine Saraswati,” lanjutnya. Aku merasa dunia seperti kiamat. Antara percaya dan tidak, kutermangu depan pesawat TV diruang tamu.

Entah sudah berapa kali miss call aku tak mendengar. Ketika sadar kuraih HP dan meli-hat begitu banyak telepon masuk.Yang penting bagiku hanya dua. Dari Leni dan Angel. Telepon masuk. “Udah tahu berita TV?” tanya Leni. Aku hanya terisak. Leni pasti tahu kedukaanku. “Tabah ya, Mas!” Aku hanya diam.

Lalu kutelepon Angel. Rupanya, ia sudah tahu lebih dulu. Orang HRD tempat anak gadisnya bekerja sudah memberi tahu kemungkinan terburuk sejak pesawat hilang kontak di Selat Karimata. Aku tak sudi cerita detail bagaimana pesawat nahas itu jatuh setelah kehilangan kontak. Terlalu menyakit-kan. Hal itu akan membuatku trauma setiap mendengar kata “pesawat”, apalagi naik burung berkerangka besi itu.

Mega adalah adik kandung Angel yang tinggal di Pontianak. Ia sayang Bertha sebagaimana ia me-nyayangi anak-anaknya. Angel memberitahu ada paman dan tantenya di Pontianak yang mengurus. Hari itu juga, jasad Bertha diterbangkan ke Jakarta menggunakan pesawat carteran.

Aku diminta menunggu di bandara Halim Perdana Kusuma. Sementara dia mengurus segala keperluan di krematorium. Dari mulai disemayamkan hingga upacara pelarungan.Tak ada air mata. Terlalu dangkal mengung-kapkan yang kurasa. Yang ada rasa kehilangan luar biasa. Kaget bercampur kecewa ditinggal mendadak dan sekejap itu!

Oh, inikah penglihatannya ke depan? Waktu ia minta dibuatkan obituari? Inikah predestinasi, ketika di telepon ia berkata merayakan ultah di Heaven? Aku menyesal telah sembarangan menulis obituarinya. Juga tidak dapat mencegah ia mengeluarkan kata-kata sembarangan yang pada akhirnya kejadian sungguhan. Aku menyesal!

***

Surga di tengah kota. Awalnya, aku pun tak tahu tempat itu. Heaven namanya. Aku tak pernah mengira Bertha bisa tiba di tempat ini.

Kumasih ingat. Ketika itu matahari senja Soetta membias warna emas keperakan ke segenap sudut. Sinar itu juga menyentuh ujung sarung kebaya motif batiknya yang terbelah dua. Pada penerbangan tambahan ke Pontianak yang enggan dijalaninya, Bertha sebenarnya menolak. Ia semacam melihat ke muka, kepada apa yang akan terjadi. “Jatuh dari ketingian, gak perlu dicoba. Pasti remuk redam.”

Aku masih ingat percakapan kami via telepon ketika itu, jelang Imlek. Lalu aku bertanya tentang di mana merayakan ulang tahunnya, tepat di hari Valentine tahun itu. “Heaven!” katanya. Aku terkesiap. Sekaligus berdiri bulu roma mendengarnya.“Bukankah itu tempat....” kataku. “Kamu pasti hafal deh daerah Pluit, dekat Ancol. Itu kan nama Krematorium?”

Aku bergidik.

Ada-ada saja Bertha ini. Di hari ulang tahun yang seharusnya sukacita dan dirayakan, ia justru menunaikan tugas sebagai pramugari. Menutup pintu pesawat.“Hidup mati ada di genggaman Tuhan!” itu katanya terakhir menjawabku.

“Bertha, hallo Bertha Valentine Saraswati,” aku menyebut nama lengkapnya. Ia tak menjawab. H-nya tidak aktif. Benar-benar ia kesal sepertinya. Tapi tak tahu pada siapa.

Aku menyesal lupa mengucapkan, ”Selamat Ulang Tahun” kepadanya. Saking konsentrasi pada coba-coba dan usaha membatalkan penerbangan tambahan rute Jakarta-Pontianak.

Kini di muka jasadnya yang kaku.

“Bertha, hallo Bertha Valentine Saraswati,” aku menyebut nama lengkapnya. Ia juga tak menjawab. Aku menyebut nama itu lagi. Berkali-kali. Bah kan hingga histeris. Tapi ia diam saja. Berbaring kaku dalam peti mati yang hanya ia sendiri ada di dalamnya.

Peti seisinya diterbangkan dari Supadio dengan pesawat carter yang mendarat di Halim Perdana Kusuma. Aku tahu berapa ongkos carternya. Angel memintaku mengurusnya sebab ada saudara kandung di Kun Tien, julukan bagi ibukota Borneo Barat itu. Rp300 juta tak ada artinya bagi Angel, asalkan jasad putrinya lekas tiba di hadapannya. Aku tadi menunggunya tiba di Halim, sementara Angel mengurus kedatangannya di Krematorium. Dan kini Bertha ada di tempat yang pernah disebutnya.

Aku memandang lamat-lamat wajahnya dari balik kaca.

Peti hanya menyisa bagian atas kepala aja, seperti jendela pesawat, hanya untuk melihat wajah beku di dalamnya. Sebab pastinya sudah di-suntik formalin sebelum diberangkatkan. Bertha Valentine Saraswati! Terbujur kaku dalam pelukan harum bunga kenanga, tapi ia tak menciumnya.

***

Aku mengamatinya. Aku rindu senyum dan man-janya. “Vita brevis, ars longa!” tiba-tiba kudengar peribahasa itu lagi. Diucapkan dokter Angela di Maria Virgina, ibu kandungnya, mewakili keluarga. Bukan sambut an namanya orang yang memberi kata terakhir untuk seseorang, tapi: eulogi. Semua air mata di ruang duka yang penuh sesak itu berurai untuknya.

Mati muda seperti sepetik mawar yang dipersembahkan entah untuk siapa. Mungkin harum bunga muda itu terpetik untuk Tuhan. Tuhan sayang padanya dan mengambilnya lekas agar tak tak tercemar lagi.

Aku termangu. Menatap dengan lamat peti cokelat muda. Seperti warna kukunya.

Tags : literasi