Jalan Krayan Ketika Tabir Kenisah Tercarik Belah Dua

Pada peta, Krayan hanya deretan pegunungan sunyi di utara Borneo. Tapi di hati mereka yang tinggal, Krayan adalah dunia kecil yang dijaga dalam sepi, dalam doa, dan dalam kesetiaan yang tak banyak bicara.
Ini adalah jalan utama di Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Jalan yang menghubungkan Malinau, Ba’ Binuang, lalu terus merambat pelan ke Long Bawan, perbatasan Lawas, Malaysia.
Jalan ini tak mulus. Bukan aspal hitam mengilap yang menyambut kendaraan, tapi kerikil kasar, bongkah batu, dan lumpur yang menggenang seperti luka. Tapi justru dari luka itulah tumbuh pengharapan yang paling tabah.
Di sisi barat negeri ini, jalan-jalan dibangun seperti karpet kehormatan bagi negara. Di sini, di Krayan, jalan hadir seperti pertanyaan: sudahkah kami benar-benar bagian dari Indonesia?
Warga Krayan tidak banyak menuntut.
Mereka tidak mengenal mogok massa. Tidak membuat gaduh. Tapi jika kau belah dada mereka, pelan-pelan, tanpa prasangka, akan mengalir merah putih. Meski di sebelah sana, Malaysia bersiap menyambut dengan senyum: menawarkan aspal mulus, akses kesehatan, sinyal kuat, dan segala kemudahan yang negara ini belum sempat beri.
Tapi Krayan memilih bertahan. Memilih tetap bernyanyi Indonesia Raya, walau dengan suara yang nyaris tak terdengar dari pusat republik.
Dalam grup-grup WhatsApp warga Krayan, ada percakapan yang lebih dalam dari sekadar kondisi jalan. Ada suara-suara yang cemas: bahwa jalan yang mereka tunggu bertahun-tahun ini, bisa menjadi pintu masuk yang membawa serta budaya baru, nilai baru, bahkan keyakinan baru yang pelan-pelan merobek adat, dan mengguncang sendi-sendi kehidupan Injili yang telah dibangun sejak seabad silam.
Dr. Yansen TP, seorang putra Krayan dari Pe’ Upan, pernah berkata, “Injil seabad silam, telah membelah kegelapan Krayan.”
Tapi hari ini, cahaya itu bukan hanya menuntun, ia juga menyilaukan. Tabir kenisah, kuil batin yang dijaga oleh doa, adat, dan iman, perlahan tercarik.
Bukan oleh badai. Tapi oleh sesuatu yang lebih halus: modernitas, televisi nir-kabel, konten viral, dan ketergesaan untuk merasa maju.
Masyarakat Krayan tidak melawan kemajuan. Tapi mereka takut kehilangan akar saat pohon terlalu cepat tumbuh tinggi.
Jalan lingkar Krayan memang dibangun. Inisiasinya dimulai sejak masa Presiden SBY. Disambung perlahan oleh rezim sesudahnya. Didorong bukan semata oleh keputusan pusat, tapi oleh mereka yang berasal dari tanah ini: para birokrat Krayan yang tidak lupa pulang, tidak lupa dari mana mereka berangkat. Mereka bekerja dalam diam. Menjahit proposal. Menembus birokrasi. Mereka adalah jembatan sunyi antara gunung dan istana.
Dan jalan ini pun jadi. Belum sempurna. Tapi nyata. Belum mulus. Tapi hadir.
Di sepanjang jalan itu, anak-anak Krayan masih berjalan kaki ke sekolah. Petani masih menuntun kerbau ke padang rumput yang hijau. Atau ke sawah-sawah untuk pertanian organik. Jemaat yang taat, masih berjalan ke gereja pada hari Minggu.
Tidak ada keluhan. Tidak ada tuntutan. Hanya diam yang bermartabat.
Mereka tahu, mereka adalah bagian dari republik. Tapi mereka juga tahu, republik belum sepenuhnya hadir untuk mereka. Maka, mereka menjadi negaranya sendiri dalam solidaritas, dalam ketahanan pangan, dalam ketahanan mental yang tak banyak ribut.
Jika pembangunan adalah suara, maka Krayan adalah bisikan yang sering tak terdengar. Tapi dalam bisikan itu, tersimpan kesetiaan yang tak tergantikan.
Jalan Krayan mungkin belum selesai. Tapi kesetiaan warga Krayan kepada Indonesia, tak pernah setengah. Di saat dunia menawarkan kecepatan, mereka memilih setia. Di saat yang lain pindah kewarganegaraan karena akses kesehatan, mereka tetap menanam padi, tetap menyimpan lagu kebangsaan dalam hati.
Sebab di Krayan, nasionalisme bukan poster. Ia adalah napas yang dihela pelan-pelan. Dan dibayar dengan kesabaran yang tak bisa ditukar oleh undangan makan malam di istana.
Jalan Krayan. Tabir kenisah itu mungkin tercarik belah dua. Tapi belum sepenuhnya robek. Masih ada waktu. Untuk hadir.
Untuk menguatkan. Untuk mencintai Krayan, bukan karena strategis atau geopolitik, tapi karena mereka telah lebih dulu mencintai Indonesia. Jauh sebelum Indonesia hadir sepenuhnya untuk mereka.
Krayan - Jakarta 21 Juni 2025