Riset

Situs Purbakala Bersejarah di Long Midang yang Tenggelam Dibelah Jalan

Sabtu, 21 Juni 2025, 14:34 WIB
Dibaca 377
Situs Purbakala Bersejarah di Long Midang yang Tenggelam Dibelah Jalan
Situs bersejarah di Long Midang yang kini ditenggelamkan badan jalan.

"Sebuah situs purbakala telah punah. Dibelah jalan," kata dokter Aprianto, seorang Dayak Lundayeh yang berdinas, dan tinggal di Long Bawan, Krayan.

Satu titik di Long Midang, tempat sumur dan pabrik garam tradisional itu dulu berdiri, kini sudah tak menyisakan jejak apa-apa. Hanya tanah keras didasari batu dan kerikil. Dan suara kendaraan yang lalu-lalang. Yang dulu disebut monumen buaya, yang konon sakral, yang didirikan oleh tangan-tangan nenek moyang, kini tertimbun kenangan yang tak sempat diabadikan.

Saya dengar kabar itu dengan rasa getir. Barangkali begini rasanya kehilangan, bukan karena benda itu penting bagi saya secara pribadi, tapi karena ia adalah sepotong riwayat yang pelan-pelan terhapus. Karena kita, tampaknya, lebih cepat membangun jalan daripada menyelamatkan jejak.

Saya mengenal situs itu. Mula-mula, dari penelitian Robert Blust dan Peter Bellwood; dua nama yang dalam dunia prasejarah Borneo amat sangat dihormati. Lalu diteguhkan oleh Balai Arkeologi Kalimantan Selatan. Mereka pernah meneliti ke situ. Lalu bicara tentang artefak, tentang zaman megalitikum, tentang ingatan yang membatu di tanah tinggi Krayan.

Tapi kini, benda-benda itu hanya tinggal dalam kalimat masa lampau.

Saya dan Dr. Yansen TP pernah pergi ke sana, menjelajah Dataran Tinggi Borneo yang belum banyak dijamah. Kami menulis (Jejak Peradaban Manusia Sungai Krayan - buku ber-ISBN, 2021, setipis 340 halaman.

Tapi waktu itu kami bukan sedang menulis sejarah. Kami sedang mencari fragmen yang nyaris hilang. Seperti menyusun puzzle, yang potongannya tercecer di bawah ilalang, di balik kabut, atau terkubur di ladang sawah penduduk. Kami hanya menaruhnya sementara di Wikipedia. Karena kami percaya: hanya Dayak yang bisa menulis Dayak. Dari dalam.


Sejarah, kadang, tidak datang dari bangku universitas. Ia muncul dari dongeng nenek, dari mitos yang diwariskan lisan. Yuvai Semaring, misalnya. Tokoh gaib sekaligus nyata, yang tak hanya mengisi ruang-ruang narasi, tapi juga darah orang Krayan. Ia bukan hanya leluhur. Ia adalah arah.

Folklor, orang menyebutnya. Tapi siapa bilang mitos itu tidak lebih jujur dari dokumen resmi?

Batu Sicien, Long Mutan, dan Long Layu adalah gua-gua tempat ditemukan kapak dan beliung. Di antara tanah-tanah yang ditanam padi, terkubur serpih-serpih keramik tua. Benda-benda rumah tangga yang barangkali dulu biasa saja, kini menjadi bukti sejarah yang luar biasa. Bukti bahwa manusia Lengilo tidak datang dari mana-mana. Mereka tumbuh di situ. Hidup, mati, lalu menjadi tanah di mana pohon durian tumbuh.

Mereka bukan pendatang. Mereka asal.

Long Midang, yang sekarang terdengar seperti titik pinggiran di peta, adalah pusat. Di sanalah simbol-simbol megalitikum berdiri. Patung buaya dengan kepala menghadap tenggara. Yang satu lagi menghadap barat laut. Di antara keduanya, saya merasa sedang berdiri dalam satu garis waktu yang tak bisa saya pahami sepenuhnya. Yang saya tahu, buaya bukan sekadar binatang. Ia lambang. Ia penjaga. Ia kode.

Ada juga Batu Perupun. Sebuah susunan batu bertumpuk yang kini rusak. Dulu mungkin altar. Mungkin penanda. Kini hanya tumpukan yang tak sempat ditanya, lalu telanjur dibongkar. Ada juga Batu Narit, pahatan burung enggang dan tempayan melingkar di tubuhnya. Entah doa. Entah peringatan.

Apakah kita bisa memahami maknanya hari ini? Mungkin tidak. Tapi paling tidak kita bisa mengakui bahwa pernah ada dunia yang percaya bahwa batu bisa bicara.

Pada 2018, tim dari Balai Arkeologi datang ke sana. Mereka membawa alat ukur, mencatat koordinat, menandai titik. Dan—dalam diam—meneguhkan bahwa apa yang dulu kami duga, bukan sekadar spekulasi. Ekskavasi di Batu Sicien dan Long Padi membuka jejak yang tak terbantahkan: manusia Krayan telah hidup di sana ribuan tahun lalu.

Tapi jalan sudah terlanjur dibangun. Situs sudah punah.

Saya percaya: sejarah tidak hanya terletak pada apa yang ditemukan. Tapi juga pada apa yang hilang. Dan barangkali, pada apa yang nyaris kita lupakan.

Karena itu saya menulis ini.

Untuk situs yang sudah tak ada. Untuk patung buaya yang kini menjadi mitos. Untuk tanah tinggi yang tak tinggi lagi di mata kebijakan negara. Dan untuk orang-orang yang diam-diam tahu, bahwa sungai bukan hanya tempat air mengalir. Tapi tempat ingatan mengendap.

Tags : riset