Menelusuri Jejak Sejarah Lambang Garuda dari Simbol Kerajaan Sintang
Istana Kerajaan Sintang. Bisa jadi clue, titik-pijak penyelidikan sejarah asal usul lambang negara kita, Garuda Pancasila. Lambang/ simbol kerajaan Sintang jadi model lambang negara kita oleh Sultan Hamid II. Fakta sejarah ini, tak bisa dibantah.
Menurut pengakuan Raja Sintang H.R.M. Ichsani Ismail Tsyafioeddin bahwa Sultan Hamid II sebagai pencetus gagasan lambang negara Republik Indonesia telah meminjam lambang kerajaan Sintang.
Pada 1948, lambang kerajaan Sintang dibawa ke Pontianak. Lambang kerajaan Sintang kini masih tersimpan di istana Al Muqqaromah Sintang berupa patung burung yang memang sama dengan lambang negara kita saat ini. Konon kabarnya, patung burung itu dibuat oleh seorang Dayak bernama Sutha Manggala di masa kerajaan Sultan Abdurrahman. Patung tersebut disahkan sebagai lambang kerajaan Sintang pada 1887.
Gambar patung burung yang kemudian dijadikan lambang kerajaan Sintang, konon kabarnya idenya berasal dari salah satu bagian gantungan gong dari bagian seperangkat gamelan yang dijadikan barang antaran lamaran Patih Loh Gender kepada putri kerajaan Sintang, Dara Juanti.
Nah, pada bagian gantungan gong, terdapat ukiran menyerupai burung garuda. Ukiran itu memiliki dua kepala yang berlawanan pandang. Satu kepala asli burung, sedangkan satu lagi menyerupai kepala manusia. Sementara pada lambang kerajaan Sintang kepala patung diukir menyerupai kepala manusia.
Penulis novel-sejarah, R. Masri Sareb Putra, M.A., "baru berani" sebatas menyebut clue. Titik terang, atau lampu hijau untuk penyelidikan sejarah tentang itu.
Masri mencatat hal yang demikian ini:
18. Perangkap Majapahit
PUTRI jelita, cekat, lincah, dan sedikit picik itu Dara Juanti.
Pernah masuk perangkap ikan, membuat Dara Juanti dapat bertahan, sekaligus awas di air. Karena itu, ia mengemban misi mencari putra mahkota bernama Demong Nutup bergelar Abang Jubair yang telah lama berlayar ke tanah Jawa, sampai ketemu. Kemudian, membawanya dalam keadaan segar bugar kembali ke kerajaan Sintang.
Sudah tujuh purnama Demong Nutup tak ada berita. Kabar burung dari para prajurit yang pulang kembali ke kerajaan menyebutkan bahwa Demong Nutup tidak lama setelah berlabuh, ditawan oleh pasukan Majapahit.
Pada senja dan hari mulai gulita. Haluan sebuah kapal berbendera burung enggang, yang diimajinerkan sebagai burung garuda, lambang kerajaan Sintang masuk perairan Jawa. Merapat ke dermaga dengan bebas, kapten mengarahkan haluan kapal masuk pelabuhan. Wilayah itu dikenal sebagai Janggala, yakni sebuah pantai bagian utara pulau Jawa ketika itu.
“Coba periksa lambung kapal!” perintah Loh Gender pada para prajurit.
Lalu penyelam-penyelam andal mencebur, masuk air, memeriksa lambung kapal.
Dan benar saja! Setelah keluar dari lambung kapal, ditemukan benda aneh. Benda itu sengaja ditempel, disembunyikan di bawah lambung kapal. Benda itu adalah kura-kura emas yang disebut-sebut sebagai stempel milik Kerajaan Majapahit.
Seluruh awak kapal seketika menjadi pucat pasi melihat benda aneh itu. Tak satu pun merasa mencuri milik kerajaan Majapahit. Namun, apa mau dikata? Hendak menampik tidak melakukan, bukti berbicara. Hendak mengaku “ya”, tidak satu pun awak kapal melakukan seperti yang didakwa.
“Ayo, mengaku dan menyerahlah. Kalian kami tawan, bukti sudah bicara!” kata Loh Gender.
Kura-kura emas yang dipasang di lambung kapal ternyata adalah perangkap belaka.
Tipu muslihat prajurit-prajurit Majapahit untuk memerangkap, sekaligus menangkap semua awak kapal yang masuk wilayah kerajaan Majapahit.
Lalu seluruh awak kapal berbendera kerajaan Sintang, di bawah pimpinan Abang Jubair, sejak itu resmi jadi tawanan kerajaan Majapahit. (Masri dalam Ngayau 2014: hlmn. 311-314).
Maka, saya bersetuju dengan Nur Iskandar, dkk. Untuk meluruskan sejarah, dan menempatkan Sultan Hamid II pada porsinya. Bahwa lambang negara kita ini, ada juga kontribusi warna keDayakannya dan orisinal keMelayuannya.
Suatu masa, sejarah akan menyibakkan tubir kelamnya. Maka, benarlah kata pepatah, "Tempus omnia revelat" --waktu akan membuka semua yang tersembunyi.
Kita nantikan riset asal muasal lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibuka. Tentu, dengan niat dan kehendak luhur.
Dan yang penting: jujur pada sejarah.
Mitos dan legenda juga bisa jadi apa yang disebut dengan "interteks". Masyarakat Sintang dan sekitarnya percaya, bahwa Darajuanti dan Patih Loh Gender di akhir "moksa" mereka, menetap di bukit Kelam, Sintang.
***
Penulis adalah peneliti, dosen, kini diamanahkan sebagai Wakil Rektor I Universitas Kristen Palangka Raya, asal dari Sintang.
***