Agenda Setting
Isu politik masuk WA ponsel saya.
Dua kali. Pesan pertama, langsung saya hapus. Meski sekilas sempat membaca isi pesan di layar. Terganggu privasi rasanya. Ada rasa sebal dan kesal. Bercampur sedikit benci. Sebab di-blash,. Tanpa saya mau. Dan saya tidak kuasa untuk menampiknya.
Namun, blash isu yang diagenda-settingkan oleh sang perancang yang terakhir, saya simpan. Sebagai contoh nyata. Bahwa itulah agenda setting. Isu yang diset/ disetel untuk mempengaruhi publik oleh si perancangnya.
Mula-mula saya, tentu seperti orang lain juga, tidak suka. Malah benci. Karena merasa terganggu. Namun, lambat laun, gangguan itu jadi pikiran. Mulailah saya merenung-renung. Menimbang-nimbang. Benar/ tidak isu itu? Masuk akal tidak? Mungkinkah isu itu diembuskan kubu lawan? Atau dengan sengaja diciptakan kubu/ partai itu? Atau sekadar untuk test the water/ mengukur kedalaman air? Itulah cumulative impact. Dampak kumulatif dari kuasa media, dalam hal ini, media sosial.
Lalu dari feed back, atau respons publik itu, akan dibuat tindak-lanjut. Riset tentang bagaimana feed back itu didapat dan dikelola, menjadi tulisan tersendiri.
Namun, apa yang digambarkan tentang isu yang di-blash di WA saya (dan mungkin ke jutaan WA lainnya) adalah saripati agenda setting! Bagaimana menciptakan isu. Mengemasnya. Memilih media untuk menyalurkannya di dalam menyampaikan pesan ke khalayak untuk mempengaruhi.
Jika media mengangkat isu tertentu, dan mengekspos itu tersebut terus-menerus, maka isu tersebut berpotensi menjadi agenda publik. Di mana-mana orang akan membicarakan isu itu. Agenda media berkembang menjadi agenda publik. Agenda publik akan mempengaruhi/ menekan Pemerintah (penguasa). Begitu seterusnya. Bergulir. Sehingga saling mempengaruhi.
Isu yang diembuskan si penyetel/ pembuat agenda, luar-biasa kuasanya bekerja mempengaruhi dari pikiran menjadi tindakan publik.
Itulah agenda setting!
Persoalannya: Kita yang menari dalam irama gendang orang lain? Ataukah kita yang menciptakan seluruh rangkaian pertunjukannya: pemain, alat, irama, penari, hingga menguasai panggungnya untuk tujuan kita?
Mengapa? Sebab isu yang diagendakan, dibicarakan luas di masyarakat, tidak ada bantahan, atau tidak ada kaunter yang lebih kuat; dianggap sebagai kebenaran. Opini publik terbentuk oleh itu yang diagendakan itu. Di sanalah kuasa media.
Amerika sejauh ini paling menguasai media. Itu sebabnya, ada buku The Media are Americans. "Belajar" dari menguasai media untuk tujuan (politik dan bisnis) ini, banyak orang mulai menelaah, kemudian mengikuti, dan mempraktikkan agenda setting. Memang memakan biaya, waktu, pikiran, dan tenaga. Tapi kini, di era digital, itulah real-khalayak. Mau tidak mau, aktor politik terlebih-lebih, harus terjun, dan memainkannya.
Agenda setting adalah: upaya sengaja mengeset atau membentuk suatu agenda atau tema tertentu agar menimbulkan efek.
Dalam politik, atau bisnis, atau apa pun yang berkaitan dengan interest (kepentingan) besar dan luas, praktik menciptakan agenda (isu) ini sering dimainkan.
Teori agenda setting terkait dengan pengaruh media. Terjadi perdebatan mengenai the impact of media atau the power of media. Seberapa besar pengaruh media? Apa betul bahwa media sedemikian powerful. Sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi, bahkan mengubah sikap dan perilaku khalayak/publik? Seperti biasa bahwa setiap perdebatan selalu ada kubu pro dan dan kubu kontra, demikian pula halnya dengan pengaruh media, terdapat kubu pro dan kontranya.
Baik jika dimengerti lebih dahulu apa artinya “agenda setting”. Agenda adalah acara, topik, atau tema yang dibicarakan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 12) dan setting ialah mengeset, menyetel, menata, membentuk. Jadi, agenda setting adalah: upaya sengaja mengeset atau membentuk suatu agenda atau tema tertentu agar menimbulkan efek.
Bicara agenda setting, tidak dapat lepas dari the impact of media. Terdapat dua kubu yang berseberangan, yakni kubu yang memandang bahwa:
1) The media is powerful (media sangat berkuasa/omnipotens) dan
2) The media is not powerful (kuasa/pengaruh media biasa-biasa saja).
Media disebut powerful karena media bisa mengubah atau mempengaruhi, misalnya kebijakan pemerintah. The powerful of media ini diyakini oleh kelompok yang disebut sebagai penganut “teori jarum suntik” atau "hypodermic needle theory". Jarum suntik ini adalah metafora yang menggambarkan bagaimana suatu media begitu berkuasa, seperti jarum suntik, yang tidak berapa lama setelah disuntikkan dokter akan langsung obat lewat jarum suntik itu menyerap ke tubuh pasien dan langsung mempengaruhinya. Atau jarum vaksin, masa kini.
Media yang secara terus-menerus melancarkan pesan-pesannya kepada khalayak dianalogkan dengan jarum suntik atau vaksin saat ini. Pasiennya dianalogkan dengan komunikan (khalayak), pesan itu masuk ke dalam otaknya, orang ditembak, disuntik, dipengaruhi oleh pesan-pesan. Sedemikian powerful-nya media, sehingga audience terpengaruh belief mereka, sikap (attitude) mereka, bahkan bisa mempengaruhi perilaku mereka.
Misalnya, ketika Reformasi, banyak orang yang benci pada Golkar. Lama-lama, orang yang tadi benci, berbalik, dan jadi cinta pada partai berlambang pohon beringin itu. Kini pun ada sebuah partai sedang di-"aniaya". Jika dikelola, seperti Akbar Tanjung pada masanya, agenda setting sang perancang bisa bisa jadi berbalik. Khalayak yang yang lebih luas, dari hanya anggota dan simpatisan, atau pemilih partai tersebut, bisa tersedot dan menjadi pendukung. Tergantung memainkan agenda, dan kepandaian memutar setting-annya!
Penganut agenda setting ini berada dalam kubu yang menganggap bahwa the media is powerful. Begitu powerful, sehingga agenda media dapat mempengaruhi agenda publik, bahkan agenda media dapat mempengaruhi agenda pemerintah.
Jika suatu media mengangkat isu tertentu dan mengekspos itu tersebut terus-menerus maka isu tersebut bisa dipastikan menjadi agenda publik. Di mana-mana orang akan membicarakan isu tersebut dan itu berarti bahwa agenda media tersebut berkembang menjadi agenda publik.
Isu atau masalah yang terus-menerus diekspos media massa sering menjadi isu yang diperbicangkan masyarakat luas. Perbincangan masyarakat luas terhadap isu tersebut, kemudian dapat membentuk public opinion. Pendapat publik ini selanjutnya dapat menekan Pemerintah. Di Amerika Serikat, Presiden selalu memperhatikan opini publik yang didapat dari hasil jajak pendapat (polling) atau opinion survey. Opinion survey sangat dihormati di Amerika Serikat, didengar Pemerintah, bahkan menjadi landasan untuk menetapkan kebijakan. Polling biasanya dibuat oleh lembaga survei yang independen, atau dibuat oleh media yang bergengsi, misalnya Harrison atau Times Magazine Poll.
Selain media yang mempengaruhi Pemerintah, Pemerintah juga dapat mempengaruhi media, dan bahkan kerap melempar isu (memberi umpan) yang langsung disambar dengan cepat oleh media. Celakanya, kerap media tidak sadar mereka sedang diumpan oleh isu yang sengaja diciptakan. Ini karena Pemerintah punya sumber dan bisa mengalihkan isu yang tengah membuatnya gerah. Sebaliknya, ada agenda tertentu, dari kelompok dan media tertentu yang mempengaruhi pemerintah.
Dalam konteks "mediamorfosis", media dan zaman (manusia) berevolusi seiring sejalan; media pengarus-utama tidak lagi dominan. Bahkan, kuasa media sosial kadang lebih mustajab dibanding media pengarus utama. Agenda setting ini bisa (saja) disalurkan melalui channel, tokoh kunci, orang yang berpengaruh, atau grup/ komunitas yang terhubung dengan Internet.
Ketika Reformasi, banyak orang yang benci pada Golkar. Lama-lama, orang yang tadi benci, berbalik, dan jadi cinta pada partai berlambang pohon beringin itu. Kini pun ada sebuah partai sedang di-"aniaya". Jika dikelola, seperti Akbar Tanjung pada masanya, agenda setting sang perancang bisa bisa jadi berbalik. Khalayak yang yang lebih luas, dari hanya anggota dan simpatisan, atau pemilih partai tersebut, bisa tersedot dan menjadi pendukung. Tergantung memainkan agenda, dan kepandaian memutar setting-annya!
Kini media massa tidak bisa dikatakan selalu very powerful. Berkembang media sosial yang menjadi alternatifnya. Yang benar adalah: media tertentu dapat mempengaruhi audience tertentu, pada waktu tertentu, di komunitas tertentu, dan kultur tertentu. Semacam ada ceruk, segmented. Sehingga punya/menguasai banyak media, menjadi penting!
Tidak kalah penting adalah kepiawaian di dalam memainkan/ mengelola isu yang diagendakan itu!
Lalu keterampilan awak media, para pengelola, pekerja kata di balik news room atau dapur media itu. Bagaimana isu itu dikemas, disajikan, di-blash. Sudah tentu, dalam konteks teori "media is the message", sebab tiap media punya karakter dan kuat-kuasanya sendiri-sendiri. Isu/news yang sama, dapat dikemas untuk disalurkan dalam media yang berbeda. Panjang pendek serta karakternya juga menyesuaikan dengan medianya.
Ini sebabnya mengapa komunitas, suku, kaum, perusahaan, pejabat publik, politisan, pesohor perlu memiliki dan melek media.
Menjadi adagium bahwa pengaruh media ditentukan oleh jenis media, pesan, audience, tempat, dan kultur. Media tidak bisa efektif untuk semua audience, semua waktu, dan di semua tempat. Misalnya, dalam kampanye. Berkampanye di hadapan dan mempengaruhi para CEO, tentu saja, media dan strateginya berbeda jika berkampanye di masyarakat Gunung Kidul. Jika berkampanye di kalangan eksekutif perlu dengan makan siang, lalu menyajikan data, diagram, dan presentasi disertai dengan argumentasi.
Media tertentu, punya keunggulan tertentu pula untuk menjangkau audience. Radio misalnya, di Amerika Serikat masih sangat efektif menjangkau khalayak yang sedang berkendaraan di highway.
Dalam suasana perjalanan, banyak orang mendengar radio, bukan saja dari radio didapat informasi, namun juga hiburan. Di Gunung Kidul, atau di kampung-kampung, media yang cocok adalah pagelaran kesenian, dalam hal ini dangdut, untuk menarik massa, lalu disisipkan dengan pesan-pesan. Wayang juga cocok untuk menarik massa di Gunung Kidul, tapi media ini tidak cocok untuk eksekutif atau khalayak di kampung Dayak atau Papua.
Di kampung saya, media yang cocok adalah "boraump", "solami', makan bersama. Kasih uang konsumsi untuk membeli sekian ekor ayam atau hewan tertentu, dimasak, makan bersama, di sana sekampung diundang datang. Mereka merasa bukan saja dihormati, namun juga "berutang budi". Di sanalah agenda dapat disampaikan, acara makan bersama, akan powerful.
Ini sebabnya mengapa komunitas, suku, kaum, perusahaan, pejabat publik, politisan, pesohor perlu memiliki dan melek media.
Di masa Pandemi ini, ada yang berubah dalam media dan kemasan. Namun ada pula yang tetap: orang ingin disapa, dihargai, di-wongke. Media akan berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Namun, pesan/isi (konten)-nya, tidak!
Dua tahun terakhir, sebaran iklan media tercerap banyak ke media sosial. Artinya, media pengarus utama telah bukan satu-satunya (lagi) saluran atau penyampai pesan kepada khalayak. Peta Media Scene, atau katakanlah kue iklan di Indonesia, tidak seperti dulu lagi. Di mana TV terbanyak menyerap belanja iklan, disusul koran, majalah, dan media lain seperti radio dan iklan luar-ruang.
Belanja iklan banyak beralih ke media sosial. Beda antara media massa (pengarus utama) dan media sosial, jelas ada demarkasinya. Akan ada satu tulisan tersendiri. Di sini hanya mau dikatakan bahwa telah terjadi apa yang oleh Fidler (1997) disebut: Mediamorfosis. Yakni migrasinya khalayak mengikuti perkembangan teknologi media, meski media lama juga tidak ditinggalkan.
Jadi, media tidak bisa dikatakan selalu powerful. Sekali lagi, media tertentu dapat mempengaruhi audience tertentu, pada waktu tertentu, di komunitas tertentu, dan kultur tertentu.