Literasi

Krayan dan Jalan Senyap Kedaulatan Pangan Pertanian Organik

Kamis, 12 Juni 2025, 06:48 WIB
Dibaca 289
Krayan dan Jalan Senyap Kedaulatan Pangan Pertanian Organik
Yansen TP (Foto: Pepih Nugraha)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Pesawat SMART berkapasitas 12 penumpang sudah menunggu di sudut Bandar Udara RA Bessing Malinau, Kalimantan Utara, ketika saya menemani Yansen TP, tokoh masyarakat Dayak Lundayeh menuju Krayan di Kabupaten Nunukan. Untuk kesekian kalinya saya akan menuju sebuah sudut sunyi perbatasan negeri. 

Atas undangan Pak Yansen, demikian saya biasa memanggil mantan wakil gubernur Kalimantan Utara ini, kali ini saya menghadiri peringatan Hari Pertanian Organik yang ke-8 sekaligus mengadakan kegiatan literasi sebagai "core businness" saya, Yansen TP, dan Masri Sareb Putra. Satu anggota lainnya, Dodi Mawardi tidak dapat hadir karena kesibukannya sebagai Direktur Sekolah Alam Cikeas. "Seat" pesawat untuk sementara digantikan Gunawan, jurnalis senior sekaligus pengelola situs Paktaniku.

Penerbangan akan berlangsung 30 menit saja, mengarungi hamparan "brokoli" berupa pepohoan alami hutan Kalimantan menuju sudut keheningan sebuah negeri. Ketika hiruk-pikuk pembangunan kerap terhenti di peta strategis negara, Krayan berdiri sendiri. Ke sanalah kami terbang tinggi sekitar 800 kaki di atas permukaan laut. Di tanah tinggi yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini, rakyat Krayan di lima kecamatan tidak hanya mengolah tanah. Mereka merawat peradaban. 

Saya pribadi merasa, kepergian saya ke Krayan untuk memperingati HPO sekaligus pesta hasil tanam rakyat Krayan sebagai penanda bukan hanya tradisi, tetapi juga perlawanan terhadap amnesia negara terhadap pinggiran. Seperti yang diungkapkan filsuf Pierre Bourdieu, “yang tak tampak sering kali justru yang paling penting.” Krayan adalah contoh paling nyata dari ketaknampakan itu. Terlupakan dalam narasi besar pembangunan nasional, rakyatnya menanggung biaya mahal dari keterisolasian: akses jalan yang sulit, bahan pokok mahal, dan kebijakan pusat yang terlalu lambat menjangkau.

Namun dari kesunyian inilah tumbuh suara yang tidak bisa diabaikan, yakni suara yang menyatakan bahwa pangan bukan sekadar soal konsumsi, tapi soal identitas dan harga diri. Di sinilah letak makna terdalam dari Hari Pertanian Organik Krayan, bukan festival pertanian biasa, melainkan refleksi kultural tentang relasi manusia, tanah, dan masa depan.

Dalam perhelatan rakyat Krayan ini hadir kembali Dr. Yansen TP, putra Krayan yang kini menjadi filsuf organik. Sosok yang berubah dari birokrat menjadi filantrofis yang tak berjarak dengan masyarakat. Jika beberapa tahun mantan bupati Malinau dua periode ini berbicara tentang dasar-dasar teknis pertanian organik, kali ini Yansen melangkah lebih jauh ke ranah ontologis. 

“Pertanian organik bukan sekadar teknik tanpa pupuk kimia,” katanya, Rabu (11/6/2025) tadi malam, “Tetapi warisan hidup, bagaimana kita menempatkan alam sebagai subjek kosmis, bukan objek eksploitasi. Krayan harus mandiri dan berdaulat pangan dari hasil pertanian organik, kita harus berani menolak segala macam pupuk kimia yang menghancurkan.”

Saya yang hadir di tengah udara Krayan yang menusuk-nusuk hingga tulang tetapi rembulan sedemikian terang, pernyataan Yansen mengingatkan saya pada pandangan Martin Heidegger tentang Gelassenheit, yakni sikap membiarkan sesuatu hadir sebagaimana adanya, tanpa niat menguasai. Alam Krayan, dengan tanah suburnya dan budaya kolektif yang kuat, harus didekati dengan rasa hormat, bukan logika pasar.

Yansen juga menyatakan bahwa ekonomi kreatif Krayan tidak boleh dibangun di atas model luar yang asing dengan realitas lokal. “Apa yang tidak ada di Krayan?” tanyanya retoris. “Kita punya semua yang dibutuhkan untuk hidup: tanah, air, udara, dan semangat gotong-royong.” Maka, mengimpor cara berpikir luar justru menjadi bentuk pengkhianatan terhadap potensi sendiri.

Tidak sulit mencari kisah getir dari tanah Krayan. Petani harus mengangkut hasil panen selama berhari-hari untuk mencapai pasar. Harga bahan pokok melambung tinggi karena buruknya infrastruktur. “Kami sering merasa seperti warga negara kelas dua,” ujar Gat Khaleb, petani dari Pa' Upan yang setia pada prinsip pertanian organik.

Tadi malam Gat yang anggota DPRD Nunukan ini hadir di Krayan karena dialah steering commitee Peringatan HPO ini.  Dari luka dan derita itu muncul tekad, sebagaimana dikatakannya, Krayan tidak akan tunduk. “Kalau tanah sudah tidak bisa lagi ditanami dengan cara nenek moyang, lalu siapa kita?” katanya.

Dalam kesederhanaan itu, tersimpan filsafat yang dalam. Seperti dikatakan Vandana Shiva, pemikir agroekologi dari India: “Pangan bukan hasil industri, tetapi relasi antara benih, tanah, dan manusia.” Krayan mewujudkan ini secara konkret. Mereka tidak sekadar bertahan, melainkan juga sedang menulis ulang narasi pembangunan dari bawah, dengan tanah sebagai aksara, dan kerja kolektif sebagai tata bahasanya.

Samuel TP dan Mimpi Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Gagasan besar yang pernah ditulis Dr. Samuel Tipa Padan, adik kandung Yansen TP,  yang merupakan ilmuwan organik Lundayeh, kini seolah-olah menemukan momentumnya: “Bangunlah Krayan berdasarkan kekuatan sumber daya alamnya.” Prinsip ini mengandung gugatan diam terhadap pendekatan pembangunan eksploitatif yang kerap melahirkan ketergantungan. Krayan memilih jalan sulit, yakni berdiri di atas kaki sendiri.

Saya juga melihat, HPO ke-8 menjadi arena konsolidasi antargenerasi. Di sela-sela diskusi kecil, muncul kekhawatiran nyata, siapa gerangan yang akan melanjutkan pertanian jika generasi muda enggan kembali ke ladang? Tetapi di saat yang sama, ada secercah harapan: regenerasi mungkin, jika pertanian dipandang bukan sebagai kerja kasar, melainkan bagian dari perjuangan menjaga harga diri dan identitas kolektif.

Dalam dunia yang dikepung Internet dari berbagai sudut dengan algoritma sebagai penggerak raksasa tak kasat mata, di tengah ketergesa-gesaan yang kadang absurd, Krayan menawarkan sesuatu yang radikal, yakni kesabaran, keberlanjutan, dan kedekatan dengan tanah. Di tengah tekanan terhadap alih fungsi lahan dan serbuan produk luar, mereka memilih jalan organik—tidak sekadar karena tren, tetapi karena keyakinan filosofis bahwa tanah harus diolah dengan cinta, bukan keserakahan.

Ekologi dalam atau "deep ecology" menuntut kita mengubah cara berpikir, bukan hanya cara bertani. Krayan sudah melangkah ke arah itu. Pertanian organik mereka bukan hanya metode, tetapi ekspresi jati diri. Dan dari pinggiran negeri, mereka menyerukan satu hal bahwa masa depan Indonesia tidak bisa hanya dibangun dari pusat. Ia juga tumbuh dari tanah-tanah sunyi yang penuh makna seperti Krayan ini.

Tadi malam Wakil Bupati Nunukan Hermanus dalam sambutannya saat membuka acara mengingatkan bahwa kontestasi Pilkada telah usai, para pemenang jangan berpikir untuk mengamankan diri sendiri dan kelompok politiknya, tetapi sudah saatnya melayani dan melindungi rakyat. Pertanian organik menurutnya sebagai jalan sebenar-benarnya menuju kemandirian pangan tanpa bergantung kepada pangan hasil pertanian pupuk kimia. "Satu desa dengan satu produk pertanian unggulan berbasis pertanian organik," katanya.

Krayan Barat, 11 Juni 2025