Literasi

Menggagas Sekolah Toleransi ala Pak Eko

Jumat, 28 Mei 2021, 10:17 WIB
Dibaca 635
Menggagas Sekolah Toleransi ala Pak Eko
Hendi

Sekolah merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, secara umum sekolah memiliki makna sebuah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran atau ilmu pengetahuan menurut tingkatan dan jurusannya (KBBI).

Tentunya keberhasilan dari metode belajar mengajar disekolah ditentukan oleh pola interaksi yang ideal antara para pendidik dengan siswanya melalui metode pembelajaran tertentu. Seiring perkembangan, telah banyak sekolah-sekolah yang menawarkan berbagai metode pembelajaran dan penyesuaian kurikulum pendidikan sehingga bisa menjadi alternatif pilihan bagi orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Selain Sekolah Nasional, saat ini marak juga kita mendengar istilah Sekolah Nasional Plus, Sekolah Internasional, Sekolah Alam, dan Home Schooling.

 

Hari ini, saya memiliki kesempatan untuk berjumpa dan berdiskusi bersama seorang pendidik, juga menjabat sebagai kepala sekolah SMP Negeri 1 Tanjung Selor, yaitu Bapak Eko Purdiyanto, S.Pd.

Beliau telah mengabdikan diri sebagai pendidik sejak tahun 1988 di Kecamatan Tanjung Palas, hingga akhirnya saat ini menjabat sebagai kepala Sekolah SMPN 1 Tanjung Selor sejak 12 Oktober 2016.

Ada sebuah obsesi yang telah lama terpendam dan baru dapat direalisasikan beliau saat menjabat sebagai Kepala Sekolah, yaitu memberikan fasilitas ruang belajar dan peribadatan di sekolah sesuai dengan agama dan kepercayaan dari masing-masing siswa siswi yang ada di sekolah.

 

Tentunya, bukan sebuah perkara mudah bagi beliau untuk mewujudkan obsesi atau impian tersebut. Hambatan terbesar adalah sekolah tidak memiliki kemampuan untuk membangun fasilitas-fasilitas tersebut dengan anggaran sendiri.

“Kita tidak boleh pasrah atau menyerah pada keadaan, meskipun terbatas pada fasilitas dan anggaran,” demikian disampaikan beliau.  

Oleh sebab itu, Pak Eko menginisiasi beberapa kali pertemuan bersama para guru dan orang tua murid guna mencari solusi bagi terwujudnya sarana tempat belajar dan praktek ritual keagamaan bagi siswa-siswa mereka. Pihak Sekolah berupaya menyediakan lahan atau tempat di dalam lingkungan sekolah, sedangkan pembangunan serta kelengkapan sarana dan prasarana lainnya bisa diupayakan swadaya oleh para guru, orang tua siswa dan para donatur.

“Setiap siswa memiliki hak yang sama untuk beribadah dan belajar agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan mereka. Saya juga menganjurkan agar tempat yang ada di desain sebaik mungkin guna menciptakan nuansa dan kesan yang baik bagi siswa-siswi,” tutur beliau.

 

            Aspek utama yang patut dikembangkan oleh sekolah dan lembaga pendidikan adalah spiritualitas. Karena hal ini merupakan sarana atau dimensi yang paling efektif guna mewujudkan karakter dan budi pekerti yang baik, sebagai modal dasar mewujudkan sikap toleransi.

“Sesungguhnya, sikap toleransi itu nggak perlu kita gaungkan ke mana-mana, karena setiap insan manusia pasti memiliki hal tersebut di dalam sanubari mereka.” Demikian Pak Eko.

Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh beliau, bahwa toleransi itu sesungguhnya sudah hadir di dalam batin kita masing-masing. Hanya saja, ia telah diselimuti oleh kegelapan batin sebagian besar manusia sehingga belum mampu memahami esensi dan makna sebenarnya dari sikap toleran.

 

Sekolah Toleransi, demikianlah obsesi beliau terhadap sebuah gagasan yang ingin diwujudkan menjadi kenyataan dalam lingkup sekolah dan pendidikan resmi milik Pemerintah. Saya yakini, tidak banyak yang berpikir mengenai hal tersebut, apalagi memiliki keberanian untuk mewujudkannya. Sungguh ini sebuah ide brilian, mengenalkan sebuah perbedaan hakiki ke-Bhineka-an kita dalam masing-masing keyakinan dan ritual puja sedini mungkin, sehingga diharapkan kelak, anak-anak kita mampu memiliki pengertian yang objektif dan logis mengapa Perbedaan itu Ada.

 

            “Bukan tempat yang mengubah kita, tetapi kitalah yang mampu mengubah tempat.” Ini adalah kalimat yang saya kutip dari buku (Kaltara Rumah Kita) Bapak Yansen TP. Sangat bersesuain dengan apa yang disampaikan oleh Pak Eko, bahwa proses belajar itu tidak mengenal batasan waktu dan ruang, setiap tempat dan insan merupakan sarana pembelajaran.

JIka saja setiap pribadi, mampu melihat dengan jernih kedalam, maka dapat kita temukan bahwa, motor penggerak dari Cipta, Rasa dan Karsa adalah unsur-unsur batiniah kita, yaitu Buah Perasaan dan Pencerapan sebagai Peta Penunjuk Arah, Buah Pikiran sebagai Bahan Bakarnya serta Buah Kesadaran sebagai Masinisnya.

 

Tanggal 19 Agustus 2020, telah diresmikan sebuah ruangan untuk Cetiya Dharma Sekha dalam lingkungan SMP Negeri 1 Tanjung Selor, yang dapat digunakan sebagai sarana belajar mengajar dan beribadah bagi siswa-siswi umat Buddha.

Selain Cetiya, juga proses dibangun Mushola serta tempat ibadah dan belajar siswa-siswi Nasrani dan Katolik.

“Kami sangat berterima kasih dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada Pak Eko, Kemungkinan ini adalah sarana Cetiya pertama di Indonesia yang berada di lingkungan Sekolah Negeri milik Pemerintah.” Demikian ungkap Pandita Muda Sutrimo, S.Ag. selaku guru Agama Buddha SMPN 1 Tanjung Selor.  

 

Tentu hal di atas merupakan langkah awal motivasi dan kesan positif bagi kita semua, sebuah gagasan kecil, yang diharap mampu menggelorakan semangat para guru, orang tua murid, para donatur lainnya serta Kepala Daerah untuk merealisasikan konsep Sekolah Toleransi dari Provinsi Kalimantan Utara untuk  Indonesia.

 

Tetaplah melangkah ke depan, sekecil apapun langkah kita,

Karena ia sangat Berarti.

Kita hanya mampu Menciptakan Kesan

Yang menjadi Obsesi bagi Sang Pemilik Masa Depan,

Bebaskanlah Ekspresi mereka untuk dinikmati

Kelak tiba masanya mereka ber-Eksplorasi menemukan Jati Diri.