Semua "Dihandle "Google Tugas Sekolah Apa?
Judul: Semua “Dihandle” Google Tugas Sekolah Apa?
Penulis: Muchlas Samani
Penyunting: Adriono
Tahun Terbit: 2016
Penerbit: Unesa University Press
Tebal: xviii + 326
ISBN: 978-979-028-981-9
Memperbincangkan apa gunanya sekolah adalah sangat menarik. Terutama saat banyak hal sudah bisa dipelajari/didapat dari luar sekolah. Selama ini sekolah sudah dianggap sebagai sebuah institusi yang harus dilalui oleh manusia modern sebelum mereka masuk dalam dunia kerja. Institusi sosial yang telah bertahan lama dalam peradaban dunia ini seakan tak kenal surut. Meski sudah dikritik keras oleh Ivan Illich melalui masyarakat tanpa sekolah dan kualitasnya diejek oleh Bernard Shaw: “Siapa yang bisa mengerjakan, siapa yang tidak bisa mengajar, siapa yang tidak bisa mengajar mendirikan sekolah,” namun sekolah tetap saja diminati dan digandrungi. Itulah sebabnya mengulas persekolahan untuk memberikan arah yang lebih baik adalah lebih penting daripada membunuh sekolah.
Prof Muchlas Samani adalah salah seorang yang masih percaya akan pentingnya sekolah (hal. 84). Sebagai seorang yang bergelut di dunia pendidikan, Prof Muchlas Samani galau dengan kondisi persekolahan saat ini. Kegalauan beliau setidaknya ada pada: (1) Apakah sekolah sudah mempersiapkan dirinya untuk menyongsong era media sosial? (2) Apakah guru-guru sudah disiapkan dengan baik? Selain kedua topik di atas, Prof Muchlas juga menyoroti arah sekolah di Indonesia yang sering berubah-ubah. Apakah sekolah akan diarahkan untuk merencanakan kebutuhan tenaga kerja, atau sekolah diarahkan untuk pengembangan sumber daya manusia. Sebagai seorang yang telah malang-melintang dalam dunia pendidikan, khususnya dalam mempersiapkan calon guru, Prof Muchlas tentu saja tidak berhenti hanya galau. Beliau memberikan beberapa pemikiran yang sangat membantu dalam menajamkan arah sekolah ke depan.
Sekolah harus berubah. Sekolah tidak boleh lagi hanya fokus kepada memberi ilmu pengetahuan kepada siswa. Sebab ilmu pengetahuan dan informasi sudah diberikan secara mudah dan cepat oleh media sosial. Kita bisa mendapatkan informasi (hampir) apapun dalam waktu kurang dari 1 menit melalui laman google yang akan menghantarkan kita kepada si sumber informasi. Apalagi anak-anak kita sekarang ini sudah melek gajed. Mereka sudah terbiasa menggunakan smartphone dalam berkomunikasi, bermain dan mencari informasi. Namun perubahan seperti apa yang harus dilakukan oleh sekolah?
Dalam rangka menyongsong era digital Prof Muchlas menyampaikan bahwa sekolah tidak boleh lagi hanya berkutat dengan mengisi siswanya dengan pengetahuan saja. Sekolah seharusnya mengajarkan kepada siswanya untuk menjadi seorang yang memiliki life skills, bisa belajar secara mandiri (hal. 5), dan mampu berpikir tingkat tinggi (hal. 34). Sekolah juga harus mengembangkan karakter siswanya sehingga mampu bersaing, bertanding dan bersanding secara global. Beliau mengusulkan perkuliahan harus dibuat problem base learning (hal. 175). Prof Muchlas juga menganjurkan supaya anak-anak sekolah menguasai bahasa Inggris sebagai pergaulan internasional (hal. 257). Itulah sebabnya ia mendorong dosen-dosen muda di Universitas Negeri Surabaya - UNESA (saat beliau menjadi rektor) untuk mengambil studi lanjut ke luar negeri (hal. 127). Sayang sekali Prof Muchlas tidak membahas bagaimana sekolah bisa membantu menyiapkan siswanya dalam mengarungi dunia yang semakin terbelah.
Sebagai seorang mantan rektor UNESA dan pernah menjabat di Kementerian Pendidikan sebagai Direktur Ketenagaan Prof Muchlas adalah orang yang sangat paham dengan persoalan guru di republik ini. Persoalan kualitas guru dan ketidak-merataan distribusi guru adalah dua masalah yang didiskusikannya dengan sangat mendalam dalam buku ini. Untuk mengurai persoalan guru di Indonesia, Prof Muchlas mengusulkan untuk membenahi sejak dari hulunya, yaitu sistem perekrutan guru dari sejak seleksi masuk Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik (LPTK). Pembatasan jumlah LPTK (hal 131), pembatasan jumlah mahasiswa, atau setidaknya pada saat proses Pendidikan Profesi Guru (PPG) sudah harus dilakukan supaya tidak terjadi masalah di hilirnya (hal. 137). Bahkan beliau mengusulkan supaya pendidikan guru dijadikan pendidikan kedinasan saja (hal. 139). Dengan sistem kedinasan maka guru-guru bisa ditugaskan ke semua wilayah Indonesia dengan lebih mudah.
Tentang tunjangan sertifikasi beliau melihatnya secara positif. Dengan adanya tunjangan sertifikasi ini anak-anak yang memiliki kemampuan akademik tinggi sudah tertarik untuk masuk menjadi calon guru (hal. 180). Sayangnya perbaikan kesejahteraan guru melalui tunjangan sertifikasi ini belum diikuti dengan peningkatan mutu guru. Dalam hal ini Prof Muchlas mengingatkan supaya kita jangan hanya menyalahkan guru (hal. 181). Bahkan beliau mengingatkan bahwa penerapan sebuah aturan harus diterapkan pada diri sendiri “Tepakna Awakmu Dhewe” (hal. 105). Harus ada sebuah sistem yang baik dan jalan untuk membenahi kualitas guru. Peningkatan kualitas guru melalui professional learning community seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) perlu digiatkan (hal. 154). Sebab hanya melalui kegiatan kelompok belajar profesi seperti itu guru bisa saling mengasah pengetahuan dan keterampilannya.
Tentang arah pendidikan, Prof Muchlas menoroti terombang-ambingnya sistem pendidikan Indonesia dari model Man Power Planning dengan Human Development (hal. 7). Sebagai negeri yang mewarisi pendidikan sistem Belanda, awalnya pendidikan di Indonesia beraliran Man Power Planning. Namun seiring dengan banyaknya cendekiawan yang pulang dari studi lanjut ke Amerika, pendidikan di Indonesia perlahan-lahan berubah arah ke model Human Development. Parahnya lagi setiap ganti menteri arah pendidikan ini sering berganti. Akibatnya anak-anak menjadi korban dari sistem yang tidak pasti ini. Sayang sekali Prof Muchlas hanya sampai mengulas persoalan dan belum memberikan usulan sistem seperti apa yang cocok untuk kondisi Indonesia.
Pokok bahasan Prof Muchlas tentang sistem pendidikan hanya fokus kepada pendidikan untuk menyiapkan siswa menjadi alat dan belum membahas sistem pendidikan sebagai sebuah proses untuk menjadikan sebuah pribadi yang utuh. Beliau misalnya, tidak membahas pandangan Fraire dimana sekolah/pendidikan adalah sebagai tempat untuk membebaskan manusia dari berbagai hal yang menghambat kemerdekaannya. Pendapat Fraire ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro bahwa sekolah adalah taman untuk menumbuhkan yang muda. Artinya pendidikan bukan sekedar menyiapkan seseorang untuk menjadi alat, tetapi lebih sebagai proses untuk menjadi sebuah pribadi yang utuh dan merdeka.
Prof Muchlas Samani adalah seorang pakar tapi sangat rendah hati. Dalam menyampaikan usulan-usulan dan kritikan-kritikan, beliau menyampaikannya dengan bahasa yang sangat santun. Beliau tidak pernah menyinggung orang per orang secara pribadi. Beliau adalah orang yang sangat menghargai siapa saja. Itulah sebabnya dalam setiap tulisannya ia berupaya menuliskan nama-nama orang yang ditemuinya. Bahkan di akhir buku ini beliau menulis tentang orang-orang kepada siapa beliau belajar, yaitu orang-orang dengan pribadi inspiratif. Orang-orang itu tidak hanya orang-orang yang memiliki nama terkenal, tetapi juga orang-orang biasa yang memberi andil dalam nilai-nilai kehidupan, seperti Mbak Yos, seorang mantan TKW.