Ekonomi

Membaca Kapitalisme dalam Patahan Sejarah

Minggu, 24 Januari 2021, 21:11 WIB
Dibaca 1.006
Membaca Kapitalisme dalam Patahan Sejarah
Ilustrasi kapitalisme (Foto: voxpop.id)


Sistem kapitalisme yang kita hidupi hari ini tidaklah alamiah ataupun ciptaan Tuhan, melainkan melalui suatu proses sejarah panjang. Maka dari itu, untuk mengkaji kapitalisme pertama-tama kita mesti menelusuri bentuk kepemilikan dan penguasaan atas kekuatan produktifnya sebagai upaya untuk mengetahui corak produksi dominan di dalam suatu kehidupan masyarakat.

Sebagai corak kegiatan ekonomi, kapitalisme sudah hidup sejak lama di antara corak-corak ekonomi non-kapitalistik di dalam jaringan perekonomian perbudakan atau feodalisme. Di mulai pada masa perbudakan di zaman Yunani-Romawi, yang identik dengan hubungan relasi antara majikan dan budak.

Pada fase ini, budak hasil belian para majikan diwajibkan menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk melayani sang majikan. Karena sudah dibeli, budak tidak lagi memiliki hak terhadap dirinya sendiri dangan kata lain budak hanya dapat menjual dirinya sendiri. Biasanya para budak itu diperoleh dari hasil perang.

Sementara dalam masa feodal, terjadi perubahan formasi sosial yang merubah kedudukan budak yang semula tidak memiliki apa-apa, pada periode feodal berubah menjadi hubungan perhambaan antara hamba dan tuan tanah.

Dimana pada zaman feodal Eropa penguasaan semua kekuatan produktif pokok, yaitu lahan garapan dimiliki oleh raja atau gereja yang menguasakan pemanfaatannya pada bawahannya secara bertingkat hingga lapisan paling bawah ditangan seorang tuan tanah. kekuatan produktif lainnya yakni tenaga-kerja dikuasai oleh seorang pemilik tanah (dari kalangan bangsawan).

Hubungan produksinya pun berlandaskan hubungan perhambaan antara golongan tuan dan golongan hamba. Hamba ini tidak sama dengan budak, walaupun sebagai kategori ekonomi, hamba bukanlah pekerja bebas. Hubungan perhambaan mengisyaratkan ‘keterikatan abadi’ segitiga antara tuan tanah, lahan dan hamba penggarap.

Semua orang ditempatkan pada jejaring sosial yang baku, tuan tanah melindungi lahan dan hamba dari penguasaan orang lain, sementara itu hamba mengerjakan lahan dan memberikan sebagian besar hasil kerja dan tenaga kerjanya kepada tuan tanah melalui lembaga upeti, pajak-sewa atau kerja paksa.    

Pada patahan sejarah inilah, asal-usul benih kapitalisme kemudian mulai muncul yang kelak akan melahirkan formasi sosial baru, dengan kelas pekerjanya yang hanya memiliki tenaga kerja atau yang lebih kita kenal dengan istilah proletar. Semakin melemahnya ekonomi feodal akibat peperangan, sebagaimana diketahui benteng ekonomi terakhir feodalisme adalah unit-unit manorial pedesaan.

Di sisi lain corak produksi kapitalis diperkotaan mampu memakmurkan rakyat, yang berakar pada industri tekstil. Kota-kota bertumbuh pesat dan bergantung pada industri barang, sementara untuk pemenuhan kebutuhan pangan warga kota bergantung pada wilayah pedesaan, yang berdampak terus meningkatnya hubungan ekonomi antara kota dan desa melalui pertukaran barang.

Terbentuklah jalur dagang antara kota dan desa semakin ramai, jalur yang dipandu para tengkulak sebagai perantara antara desa dan kota, yang kemudian kapitalisme mulai menyerbu pertanian pedesaan. Tuan-tuan tanah pun perlahan mulai bergantung pada kota-kota sebagai penyedia barang mewah.

Sementara itu, para petani-penggarap juga mulai mempertukarkan kelebihan hasil taninya dengan uang tunai melalui pasar-pasar setempat bahkan uang yang dimiliki bisa digunakan untuk ‘membeli’ kewajiban kerja-paksa mereka kepada tuan tanah.

Dari sini kemudian kita pahami bahwa ada pergeseran corak produksi, yakni pertama tuan-tuan tanah kemudian mengabaikan tanah demesne-nya dan lebih suka menyewakannya kepada siapa pun yang dapat memberikannya uang tunai agar dapat membeli barang mewah dari kota. Kedua, petani-penggarap (hamba) pun kian bebas dari ikatan feodal yang sekarang bisa dibeli dengan uang.

Dalam amatan Max Weber, merasuknya corak produksi kapitalis ini kedalam relung terakhir pertanian feodal, yakni wilayah-wilayah manorial, merupakan langkah besar bagi terciptanya lembaga kepemilikan pribadi atas tanah (Weber, 1961:94).

Selain itu, runtuhnya benteng terakhir perekonomian pertanian feodal-prakapitalis tidak hanya akibat gempuran perdagangan dan industri perkotaan yang kemudian melahirkan kepemilikan pribadi atas lahan, faktor lain seperti peperangan panjang prancis dan inggris sejak tahun 1337 sampai 1453.

Bahkan pada masa itu, terjadi serangan wabah pes yang dikenal sebagai kematian hitam (black death) yang konon membunuh hampir sepertiga penduduk dunia, seperti di Eropa, Cina, Afrika utara dan Asia barat yang pada saat itu dibawah naungan penguasa muslim.

Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan yang menjadi saksi hidup dari wabah yang berdampak besar pada perubahan dunia itu. Ibnu Khaldun menyaksikan bagaimana peradaban islam sebagai pusat formasi sosial perupetian global perlahan-lahan mulai runtuh. Sementara itu corak produksi kapitalis mulai merangkak naik ke tampuk dominasi diatas reruntuhan formasi feodal Eropa abad 16.

Fisiokratisme sebagai antithesis Merkantilisme

Sistem merkantilisme (perdagangan hasil pertanian) adalah hasil diplomasi yang tetap mempertahankan kekuasaan feodal (yang sudah uzur) dan  kapitalisme yang masih belia. Di sini Hendry VII menghasilkan kebijakan yang berupaya menyeimbangkan kepentingan golongan feodal dan kelas kapitalis-saudagar sekaligus.

Namun, keuntungan dari kebijakan tersebut hanya dinikmati segelintir orang yang diberikan hak istimewa dari raja berupa konsesi perdagangan luar negeri. Menjadikan ketergantungan perekonomian negara pada kekayaan dari luar dan perbedaan jumlah kekayaan antara rakyat semakin tinggi.

Bagi kaum merkentilis perdagangan luar negeri dianggap menyebabkan ketimpangan kekayaan dan ketergantungan, sehingga harus dihentikan. Muncullah kaum fisiokrat sebagai antithesis dari kaum merkentilis,  mengajarkan bahwa semakin banyak orang yang terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif, maka kekayaan negara juga meningkat. Tanpa kegiatan produktif ekonomi masyarakat akan mati.

Kegiatan produktif juga menunjukkan dengan jelas keterlibatan nyata banyak orang sebagai pelaku ekonomi dalam jaringan proses ekonomi bangsa secara umum (Mulyanto, 2010:50). Kaum fisiokrat mengangkat satu nilai pokok dalam kapitalisme yaitu bahwa laba merupakan tujuan tertinggi suatu usaha bisnis.

Inti pemikiran kaum fisiokrat adalah hendak meyakinkan kepada para tuan tanah bahwa usaha pertanian itu bisnis dan perdagangan antarbangsa bukanlah masalah selama landasan dasarnya adalah ekonomi dan produktifitas berdasarkan perhitungan rasional.

Bagi kaum fisiokrat untuk tercapainya keadaan ini ialah dengan penghapusan segala bentuk rintangan irasionalitas warisan feodal, entah yang bersifat keagagamaan maupun sekuler.

Semboyan termasyur kaum fisiokrat adalah ‘laissez faire laissez passer, le monde va de lui-meme’ yang artinya “janganlah campur tangan, biarkan saja, alam bisa mengatur dirinya sendiri”. Bagi mereka hambatan atau dukungan yang dipaksakan akan merusak alam semesta ekonomi yang ujungnya akan mendatangkan kejatuhan perekonomian.

Di sini kaum fisiokrat meyakinkan kembali bahwa perdaganan luar negeri penting dalam usaha perkembangan ekonomi sebuah negara dibandingan pandangan merkentilisme yang menganggap bahwa perdagangan luar negeri menyebabkan ketergantungan dan ketimpangan kekayaan.

Akhirnya perdagangan luar negeri pun tetap dijalankan, namun berdasarkan perhitungan rasional, seiring berkembangnya perdagangan  dan tuntutan akan banyak perubahan, kemudian hal ini memicu pecahnya revolusi industri.

Revolusi Industri

Abad ke-18, penemuan mesin uap setelah revolusi tekstil di Eropa, mempercepat gerak ekspansi kapital secara geografis. Kapal-kapal dagang, armada perang, dan kapital bangsa-bangsa Eropa barat lalu-lalang menaklukan lautan dan bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika berburu bahan baku, budak, pasar dan laba yang tujuan teragungnya adalah kekayaan (Mulyanto 2010:56).

Peningkatan perdagangan ini mengakibatkan perubahan struktur sosial dan muncul sekelompok golongan yang disebut kaum Burgher, yakni warga kota (penghuni kota benteng). Dalam sejumlah referensi, istilah Burgher mangacu pada kaum warga kota niaga (kota benteng baru), yang berbeda dengan warga kota lama yang hanya menjadi pusat pemerintahan.

Ketika kota-kota dan bengkel industri berkembang pesat, para pengrajin dan petani dari desa tertarik untuk ke kota (urbanisasi) untuk menjadi pekerja bebas (kerja-upahan). Revolusi Ilmiah (Kopernikan) ikut mempercepat kesadaran akan perubahan.

Lambat laun muncul ketidakpuasan terhadap perilaku raja yang kerap meminta upeti, pajak dan membatasi perdagangan. Perkembangan ekonomi dan teknologi kemudian melahirkan kesadaran baru dan keharusan perubahan.

Golongan yang berkepentingan akan perubahan (borjuis dan petani tak bertanah) kemudian melakukan perjuangan kelas melawan kelas lama yang dominan (bangsawan dan rohaniawan gereja).

Di awali dari gerakan Waldenses, Martin Luther, Jean Calvin hingga dipenggalnya kepala Louis XVI oleh gerakan rakyat adalah titik balik dari peradaban dunia, yakni Kapitalisme sebagai sebuah corak produksi, disusul dengan munculnya Demokrasi sebagai sistem politik dan lahirnya konsep Nation-State (Negara-bangsa).

Berkembangnya industri di kota-kota dan berakhirnya feodalisme, tenaga kerja sudah mulai berubah menjadi komoditi. Mereka bukan lagi pengerajin yang membuat perkakas dan menjualnya dari bengkelnya sendiri, atau petani-penggarap.

Baca Juga: Membaca Kapitalisme dalam Patahan Sejarah

Tetapi sudah sebagai pekerja (proletar), yang membuat barang dengan bahan baku, perkakas kerja bahkan bengkel kerjanya dimiliki oleh kapitalis. Ketika itulah tenaga kerja dipisahkan dari pekerja dan produsen dipisahkan dari sarana produksinya.

Dengan demikian tenaga kerja atau kemampuan yang ada dalam si pekerja dapat dijual-beli untuk produk dagangan bahkan dalam sistem kapitalisme ini telah menghancurkan semua hubungan produksi feodal.

Yang berarti terhapusnya hamba sebagai kategori ekonomi dan tercipta pekerja-upahan sebagai kategori ekonomi baru.  Max Weber menyebutnya pengorganisasian terhadap pasar tenaga-kerja  ini sebagai ciri kapitalisme yang sebenarnya, yaitu kapitalisme borjuis yang sadar.

Dari penjelasan panjang diatas, kita kemudian mengerti pola patahan sejarah panjang terbentuknya sistem kapitalisme, di mana ada hubungan yang terus berubah antara tuan dan budak, tuan tanah dan hamba penggarap serta kapitalis dan pekerja/proletar.

Bahkan sampai hari ini, segala jenis barang yang kita gunakan adalah hasil dari proses kerja kapitalisme, seperti laptop, android, teknologi nano, mobil otomatis dengan segala inovasinya. Artinya kita harus sepakat bahwa sejarah kita adalah sejarah kapitalisme.

Ringkasan singkat tentang Kapital

Membaca kapitalisme tentu saja tidak lengkap, jika tidak bicara terkait bagaimana sistem kapital berkerja pada hubungan produksi dalam sistem kapitalisme. Maka dari itu, penulis akan menjelaskan secara singkat bagaimana kapital itu berkerja.  

Dalam corak produksi kapitalisme ini, Kapital merupakan ketegori ekonomi yang merupakan inti dari corak produksi. Seperti dalam pandangan Karl Marx, mengatakan bahwa kapitalisme adalah sebuah tatanan sosial yang ditopang oleh kapital sebagai relasi sosial.

Adapun rumus umum kapital dalam pandangan Marx adalah, komoditi bukan hanya komoditi tetapi, komoditi yang dimaksud Marx bahwa komoditi itu hidup dalam satu relasi sosial tertentu, seperti hubungan jual-beli dalam pasar.

Uang (Money) menjadi kapital apabila ia berada dalam suatu relasi tertentu. Artinya uang dalam hal ini harus berubah menjadi komoditi (Comodity) dalam komoditi ada tenaga kerja dan sarana produksi, yang harus melalui proses produksi.

Bukan hanya sekedar produksi tetapi harus menghasilkan komuniti baru, dan komoditi yang telah dihasilkan melalui proses produksi untuk diperdagangkan agar menjadi uang, bukan hanya sekedar uang tetapi uang tersebut harus mengandung nilai lebih atau secara sederhana kita mengenal itu dengan rumus M-C-M**.

kapital tidak akan dapat bertambah jumlahnya jika tidak digunakan, maka kapital harus dipertukarkan, karena hanya melalui pertukaranlah kapital dapat menambah jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan kapital lainnya.

Sementara itu, kapital dan pertukaran tidak akan dapat terjadi ketika tidak melalui proses perdagangan, melalui relasi perdagangan inilah perputaran kapital terjadi. dalam perdagangan pun hanya dapat terjadi melalui relasi komoditi yang terorganisir.

Relasi yang dimaksud hanya berada dalam lingkup jumlah manusia yang terbatas. Artinya kapital yang diperoleh dari hasil produksi hanya beredar pada segelintir atau sekelompok orang kecil orang yang menguasai alat produksi yaitu kaum kapitalis.

Sementara kelompok masyarakat yang besar hanya berkutat sebagai pekerja-upahan pada pabrik atau perusahaan milik kapitalis. Di mana pilihan bagi kaum pekerja-upahan hanya ada dua: menjadi buruh upahan atau menjadi mayat di kota industri.

***