Budaya

Kearifan Lokal Suku Dayak Kancikgh Menyambut Musim Buah-Buahan

Rabu, 1 September 2021, 22:01 WIB
Dibaca 1.080
Kearifan Lokal Suku Dayak Kancikgh Menyambut Musim Buah-Buahan
Ritual Ngoyajah Suat Bua, Tradisi Suku Dayak Kancikgh

Selain musim panen padi yang merupakan bagian dari mata rantai siklus perladangan, Masyarakat Adat Dayak Kancikgh juga mengenal musim buah-buahan, yaitu berbunga dan berbuahnya berbagai macam ragam pohon buah-buahan, baik yang sengaja ditanam oleh warga masyarakat maupun yang tumbuh secara liar di hutan-hutan wilayah adat Dayak Kancikgh. Ketika iklim berlangsung secara normal, dimana musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus, maka di penghujung bulan Agustus, kita bisa menyaksikan semaraknya bunga pohon buah-buahan.

Faktor yang berpengaruh terhadap fenomena ini adalah melimpahnya cadangan gas karbondioksida yang dihasilkan dari proses pembakaran pada musim kemarau. Gas Karbondioksida tersebut diserap dan digunakan oleh pohon-pohon untuk melakukan fotosintesis dalam rangka menghasilkan bunga dan buah.

Baca juga: Tembawang (1), Kebun Buah Raya Dayak Kancikgh

Bunga yang merupakan cikal-bakal buah ini berkembang secara optimal jika tidak dihambat oleh berbagai macam faktor seperti cuaca ekstrim, angin ribut, dan dimakan binatang. Yang dimaksud dengan cuaca ekstrim adalah tidak seimbangnya intensitas curah hujan dan kekeringan. Cuaca kering akibat kemarau yang berkepanjangan dapat menggugurkan tangkai bunga, demikian juga dengan intensitas curah hujan yang tinggi juga dapat menyebabkan putik bunga menjadi rusak dan jatuh berguguran. Tiupan angin yang sangat kencang juga dapat menggugurkan bunga di pohon yang seharusnya bisa berkembang dan menumbuhkan buah. Penyebab lain yang tidak kalah merusaknya adalah gangguan binatang terutama binatang yang doyan menghisap madu sari bunga.

Baca juga: Tembawang (2), Agroinvestasi Jangka Panjang Dayak Kancikgh

Selain faktor alam yang mengancam kelangsungan perkembangan bunga-buah, musim berbunga dan berbuah pohon-pohon tersebut menurut mitos Orang Kancikgh juga selalu mengundang penyakit sampar seperti batuk, pilek, sakit kepala, demam dan bengek. Penyakit sampar tersebut konon dibawa oleh “saudara sepupu” manusia yang merasa sakit hati karena tidak pernah berkesempatan menikmati lezatnya hasil alam yaitu buah-buahan.

Harum semerbak wangi bunga dari buah-buahan melayang tertiup angin dan tercium oleh “saudara sepupu” tersebut yang membuat mereka tersentak bahwa sebentar lagi manusia akan berpesta-pora menikmati berbagai macam ragam buah-buahan yang lezat. Oleh karena itu mereka datang untuk meminta bagian dengan sedikit ancaman jika tidak diberi maka kehidupan manusia akan diganggu kesehatannya.

Mitos di Kalangan Suku Dayak Kancikgh mengisahkan bahwa kita manusia mempunyai saudara sepupuan yang belum sempat menikmati lezatnya hasil alam berupa buah-buahan karena keburu dibuang dan dihanyutkan ke sungai. Mereka itu menjelma menjadi “hantu sampar” yang selalu merasa iri ketika musim buah-buahan tiba dan menuntut keadilan kepada manusia yang masih hidup di dunia. Oleh karena itulah ketika pohon buah-buahan mulai menampakkan bunga maka Orang Kancikgh wajib melakukan ritual “Ngoyajah Suat Bua.” Suat dalam bahasa Dayak Kancikgh artinya bunga, suatu pertanda bahwa pohon buah-buahan akan segera berbuah, sedangkan “bua” dalam bahasa Dayak Kancikgh artinya buah atau buah-buahan. Ngoyajah suat bua adalah ritual yang menjadi tradisi dan dilakukan pada saat musim buah-buahan akan segera tiba yang ditandai dengan berbunganya pohon-pohon termasuk pohon buah-buahan.

Maksud dari ritual “Ngoyajah Suat Bua” adalah menanggulangi penyakit sampar yang datang menyertai tibanya musim buah-buahan. Secara mistis ritual tersebut dilakukan dalam rangka menjinakkan “hantu sampar” yang tidak kelihatan tersebut agar tidak mengganggu manusia.

Media yang digunakan untuk melakukan ritual “ngoyajah suat bua”adalah sepasang boneka yang dibuat dari tepung ketan. Boneka yang dibuat menjadi mirip manusia itu diberi nama “yajah.” Yajah diletakkan di atas wadah yang disebut capan atau nyiru dan dialas dengan daun rabu. Yajah kemudian ditimang dan diberkati dan selanjutnya diberi sesajian (umpan-makan) seperti daging dan telur ayam, lemang, pisang-keribang, kacang hijau (yota’ longa) dan tuak. Setelah itu diantar ke luar pintu gerbang kampung dengan harapan apabila hantu sampar datang maka mereka akan tergoda untuk mengganggu yajah dan melupakan manusia yang membuat mereka terusir dari komunitas aslinya. Dalam hal ini yajah merupakan penebus sekaligus tumbal yang menggantikan nyawa manusia.

Ritual ngoyajah suat bua merupakan bentuk budaya yang memperkuat jati diri Masyarakat Adat Suku Kancikgh secara filosofis mengakui adanya kekuatan-kekuatan tak terlihat yang dapat mengancam kesehatan bahkan keselamatan manusia jika keseimbangan alam terganggu. Ritual ini merupakan bentuk kearifan lokal yang semestinya harus dilestarikan.