Kurang Ngeri, Kurang Sedap
Dalam konteks film cerita, "orang bukan Batak memang akan susah relate sih", yang beberapa kali saya dengar untuk menangkis kritik terhadap Ngeri-Ngeri sedap, adalah argumen yang mencemaskan. Kalau begitu mainnya, betapa banyak film yang kita bakal gak relate dan tak bisa kita nikmati.
Orang nonton film bisa untuk meneguhkan pengalaman khas budaya/dunianya, tetapi sangat mungkin juga ingin mengenal dan menjelajahi dunia/budaya baru. Tugas si pembuat film-lah menjadikan film ceritanya dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin penonton, termasuk yang di luar latar budayanya.
Untuk itu, tidak cukup ia mengangkat hal-hal yang realistis atau sesuai dengan yang biasa terjadi dalam latar budaya bersangkutan. Ia mesti mengemasnya juga dalam bangunan cerita yang kokoh dan meyakinkan bagi penonton berlatar budaya apa saja. Di situlah kegawalan Ngeri-Ngeri Sedap.
Premis "pura-pura mau bercerai" mungkin cukup menarik untuk lawakan Srimulat di Indosiar, tetapi nyatanya tidak memadai untuk sebuah cerita panjang. Ngeri-Ngeri Sedap kurang berhasil membesutnya dengan argumen yang meyakinkan penonton non-Batak satu ini. Kalau hubungan ayah-anak sedemikian buruk, bagaimana bisa ketiga anak itu tergopoh-gopoh pulang saat bapak dan ibu mereka mau bercerai? Sekadar mau tahu alasannya atau mau mendamaikan? Kalau mendamaikan, memangnya mereka yakin si bapak, mengingat gambaran wataknya selama ini, mau mendengarkan omongan mereka? Ini saja sudah tidak terjelaskan dengan baik.
Di satu sisi, si Bapak nggak kelihatan sebagai monster kok, hanya sosok kolot yang gagap menyikapi perkembangan zaman dan pemikiran generasi muda. Jadi bertanya-tanya kenapa sebegitu dibenci sama anak-anaknya. Soal Bapak yang galak, berjarak, susah komunikasi, suka ngatur-ngatur hidup anak, kayaknya kebanyakan suku di Indonesia begitu. Kalau anak-anaknya--tiga anak laki-laki sekaligus, bahkan anak perempuan di rumah pun sebenarnya gerah, biasanya dari empat anak adalah paling tidak satu yang dekat dengan bapak--sampai mogok pulang, mestinya penyebabnya parah banget, lebih parah dari yang digambarkan di film. Dan, sekalipun marah pada Bapak, mereka kagak kangen dengan Mamak dan Sarma?
Di sisi lain, si sulung Domu malah kurang ajar banget. Ngelamar anak orang Sunda, sudah nyewa gedung untuk pernikahan, tanpa restu orangtua. Berani-beraninya! Kalau dia sudah begitu tidak peduli dengan restu orangtua dalam soal perkawinan, kenapa ia masih repot mencoba mengurus perceraian orangtuanya? Apakah perceraian berpotensi lebih memalukan daripada kawin tanpa izin orangtua?
Saya jadi kurang paham kenapa film ini dijudul Ngeri-Ngeri Sedap. Di mana ngerinya, di mana sedapnya, kurang jelas.
Seandainya Bene memainkan kartu "sulang-sulang pahoppu" secara lebih cerdik, dan tidak menaruhnya di latar belakang, barangkali hasilnya bakal lebih bagus dan membuat orang non-Batak bisa menyelami budaya unik tersebut. ***
Ngeri-Ngeri Sedap ditayangkan di bioskop pertama kali pada 2 Juni 2022 dan berhasil mengumpulkan 2.886.121 penonton setelah 64 hari, lalu tayang di Netflix sejak 7 Oktober 2022. Film ini terpilih sebagai wakil Indonesia di ajang Academy Awards ke-95.