Budaya

Pilihan Arini: KPop vs Gambyong

Kamis, 3 Februari 2022, 09:09 WIB
Dibaca 837
Pilihan Arini: KPop vs Gambyong
Seventeen Boyband

Dodi Mawardi

Penulis senior

Tulisan asli dari Naya Kamilla

----------

Aku Arini, anak yang lahir pada zaman milenial yang sejak kecil sudah dilatih menari oleh ibu dan nenekku yang juga penari. Keluarga kami memang keluarga penari tradisional. Hingga suatu hari, saat aku sedang membuka internet untuk memutar  lagu  tradisional yang sedang kupelajari, aku tertarik pada sebuah lagu iklan yang terselip di antaranya. Sekilas kudengarkan, bahasanya aneh sepertinya bukan bahasa Indonesia. Di sana tertera judul dari lagu tersebut, “ROCK WITH YOU”. Aku penasaran dengan lagu itu karena  lagunya energetic, enak didengar, tapi sayang aku hanya mendegar sekilas, hingga akhirnya di lain waktu aku sempatkan untuk mencari full versionnya di internet.

Rupanya lagu itu berasal dari Korea, dinyanyikan oleh sekelompok anak muda yang menamakan kelompok mereka “Seventeen”.  Sejak saat itu aku mulai sering mendengarkan lagu Korea lainnya, mulai mengenal boy band dan girl band Korea, hingga mulai menarikan beberapa tariannya. Anehnya, ketika aku mulai berlatih satu persatu gerakkannya aku tidak merasa lelah malah aku sangat bersemangat. Beda dengan saat aku berlatih tarian tradisional, rasanya sangat sulit. Beberapa kali ibu dan nenekku menegurku karena lupa dengan tarian tradisional dan sibuk dengan K-dance. Apakah salah jika saat ini aku lebih suka dengan tarian dan lagu-lagu Korea? Bagi anak milenial sepertiku, ini sangat menyenangkan.

Pada suatu sore, lantunan gamelan mengiringi gemulai gerak tubuhku yang tengah berlatih Gambyong untuk pagelaran tari di pendopo kecamatan minggu depan. Tinggal satu minggu saja waktu tersisa, tapi masih saja ada gerakan yang aku lupa. Mengapa begitu sulit menghafal tarian tradisional Jawa ini, sementara aku cukup lincah mengikuti k-pop dance?

Pada era globalisasi saat ini, banyak sekali budaya asing yang masuk ke Indonesia. Sebagian besar penggemar budaya luar adalah anak milenial, sehingga memicu banyak komentar tentang penerus bangsa yang tidak cinta Indonesia. Seperti saat ini, budaya Korea sedang sangat digemari oleh anak milenial Indonesia. K-artist, K-dance, K-drama, K-outfit hingga K-food, coba bagian mana yang tidak dikenali oleh sebagian besar anak zaman sekarang?

Sebenarnya semua itu tidak salah, realistis saja, lagu-lagu K-pop memang terdengar sangat energetic, memiliki vibes menyenangkan dan sesuai dengan genre musik anak zaman sekarang. Lalu K-drama, tidak semua K-drama bercerita tentang percintaan, beberapa K-drama juga memiliki alur cerita menarik dan pesan moral yang bisa diambil. Contohnya seperti drama yang sempat menjadi perhatian di tahun 2020 yaitu TRUE BEAUTY, drama yang mengisahkan tentang anak insecure dengan wajahnya dan selalu mengalami perundungan. Sehingga ia memutuskan untuk pindah sekolah dan mencoba menutupi wajahnya dengan polesan make-up yang membuatnya sangat cantik dan di kagumi banyak orang, namun akhirnya rahasianya terbongkar.  Tetapi hal itulah yang memotivasinya untuk tampil apa adanya dan lebih mencintai diri sendiri. Sebuah pesan moral yang dikemas dengan sedikit ada unsur romantis itu berhasil membuat anak milenial tertarik menonton dan mampu memotivasi kita semua yang menontonnya untuk Being Yourself!

Di sisi lain, sebagai generasi muda  sebaiknya kita juga tetap mencintai dan  mempelajari budaya kita sendiri, minimal kita mengenal budaya daerah kita masing-masing. Budaya Indonesia yang beragam memang tak mudah untuk dipelajari satu per satu, tetapi rasanya cukup wajar jika kadang kala kita dituntut untuk tetap menjaga budaya tradisional dan melestarikannya. Sebagai generasi muda yang bermartabat, rasanya kita pun tak perlu merasa keberatan atas tuntutan tersebut.

Di pendopo kecamatan hari itu, aku Arini dan para penari yang lain, menari dengan luwes diiringi lantunan gamelan. Sesekali tangan bergerak memutar, arah mata fokus kepada jari-jari tangan, bergerak mengikuti arah gerak tangan. Lalu kaki bergerak lincah, ke kanan dan ke kiri hingga berjinjit, diikuti gerak pinggul yang berirama. Tubuh dilenggokkan, gerakan kepala yang menjulur kedepan lalu kembali mundur. Setiap gerakkannya terlihat anggun.

Inilah tari Gambyong, tarian yang berasal dari Jawa Tengah, yang  sudah ada sejak zaman dahulu dan hidup di lingkungan keraton. Tari ini merupakan pengembangan dari tari tledhek. Tari tledhek berasal dari kata “ngledhek” yang memiliki arti mengundang daya tarik.

Di istana Mangkunegaraan, Surakarta, banyak pula penari tledhek yang menjadi penari istana. Kemudian, pada masa pemerintahan Paku Buwana IV, ada seorang penari tledhek yang terkenal sangat mahir dalam menari dan memiliki suara yang indah. Namanya Mas Ajeng Gambyong, banyak yang menduga dari namanyalah tari Gambyong berasal.

Bagiku, tak mudah menjadi anak zaman sekarang. Di saat kita sedang menggandrungi budaya negara lain, yang menurut kita lebih menarik, lebih sesuai dengan jiwa kita yang penuh semangat, sekaligus kita pun dituntut untuk tetap melestarikan buda negara kita sendiri yang beragam. Sementara dalam benak kita terbersit betapa musik dan tarian tradisional negara kita ini begitu rumitnya dan lebih banyak mengedepankan filosofi.

Sering kita berfikir, bahwa budaya tradisional seolah tak mampu bersaing dengan perkembangan zaman. Dikemas dengan konsep tradisi yang cenderung kuno dan membosankan, membuatnya sulit diterima oleh generasi muda yang lebih menyukai kebebasan  berekspresi yang tidak monoton, pola berfikir yang kreatif dan penuh energi.

Tak salah sebetulnya jika generasi muda saat ini tergila-gila dengan budaya luar baik dari Eropa, Amerika maupun dari beberapa negara di Asia seperti yang saat ini sedang booming : Korea! Tapi bagaimana kiranya jika kita disuguhi sebuah tantangan untuk menduniakan budaya Indonesia? Bagaimana cara kita menjawab tantangan itu? Apakah kita akan tinggal diam jika budaya kita justru tergerus oleh perkembangan budaya luar?

Tak cukup dengan mengelak bahwa jiwa kita lebih sesuai dengan budaya luar itu, sedangkan  nyawa yang ada di budaya tradisional agak sulit disatukan dengan frekwensi irama kehidupan anak zaman now. Lalu kita tak peduli dan asyik dengan dunia kita sendiri. Tahu-tahu budaya tradisional kita diakui oleh negara lain dan baru kita tersulut amarah. Amarah yang terlambat.

Dan aku Arini, aku memilih untuk adil. Karena aku seorang penari, sudah seharusnya aku kaya pengetahuan tentang bermacam jenis tarian baik dari Indonesia maupun dari negara asing. Gambyong tetap kupelajari dan berusaha kutaklukkan gemulai gerakannya yang sarat makna dan rumit, tetapi tak kusalahkan diriku jika aku pun ingin belajar K-dance dengan lebih baik.

 Aku ingin kelak budaya tradisional Indonesia akan mampu berpengaruh di dunia internasional, digandrungi oleh generasi muda di negara manapun di dunia ini. Bukan sekedar budaya yang ditampilkan di ajang pementasan atau festival, dipelajari oleh para mahasiswa seni dan dipuji keindahannya hanya oleh pakar. Aku ingin tarian dan musik tradisional Indonesia bisa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari anak muda di dunia, seperti saat ini, mereka dan aku sedang menggandrungi budaya Korea, tergila-gila dengan segala hal tentang Korea.

Alunan gamelan di pendopo kecamatan masih terdengar, sementara aku dan teman-temanku masih asyik berbincang tentang artis idola kami masing-masing, artis Korea. Sebersit cita-cita melintas di benakku, kelak aku akan menjadi mahasiswa di Jeju dan akan kubawa tari Gambyong kesana, akan kuceritakan tentang bangsaku dan budayanya kepada mereka. Mungkin temanku yang lain juga, mengenalkan Jaipong, Tari Topeng atau Tari Saman. Aku yakin, jika tarian-tarian tradisional itu dikemas lebih modern, mungkin akan lebih menarik dan mudah diterima di kalangan anak muda. 

Untuk saat ini aku memilih untuk memandang dua sisi budaya dengan proporsional. Budaya asli negaraku tak akan aku relakan untuk luntur dan terlupakan, budaya asing yang terserap tak  harus dipuja-puja berlebihan. Impian besar menjadikan budaya tradisional mendunia sah-sah saja tapi juga tak perlu anti pati pada maraknya budaya asing yang menjadi atmosfer baru milenialis kebanyakan.