Doa Makan di Krayan

Di Krayan, saya menyaksikan meja-makan bukan sekadar ruang santapan jasmani, tapi juga ajang perjumpaan spiritual. Tanpa ornamen religius, tanpa khutbah, tanpa paksaan. Lalu doa. Dan kemudian bersama-sama makan dengan pelan. Dengan tertib, penuh syukur, nikmat, dan hormat. Saya merasa di situlah doa itu menjelma jadi tubuh, bukan sekadar untaian kata-kata.
Ada beragam ujud doa dalam tradisi Kristen. Doa permohonan, doa pengakuan iman, doa pengharapan, doa penyerahan-diri.
Tapi barangkali yang paling sederhana, dan justru paling manusiawi, adalah doa syukur.
Ia tidak perlu kata-kata rumit, tidak meminta apa-apa. Ia hanya mengakui bahwa hidup adalah anugerah. Dan apa saja hidangan tersedia yang di depan kita, meski hanya sepiring nasi dan air sayur bening, adalah bagian dari rahmat itu.
Saya melihat ujud doa seperti itu, hampir setiap hari, di Krayan.
Di dataran tinggi perbatasan itu, nun di ujung Kalimantan Utara, tempat embun jatuh perlahan ke atap-atap rumah warga, Yansen TP punya satu kebiasaan yang tak pernah ia lewatkan: berdoa sebelum makan.
Bukan karena ia seorang politisi, atau karena ia harus tampil saleh, tapi karena itulah yang tumbuh dalam dirinya, kebiasaan mengucap syukur sebelum tangan menjangkau makanan.
Saya menyimak kata-katanya. Lembut. Penuh hormat. Kadang pelan sekali, nyaris seperti bisikan kepada langit. Intinya selalu sama: "Terima kasih, Tuhan, atas makanan dan minuman yang Engkau berikan. Berkati supaya menjadi kekuatan, bukan hanya bagi tubuh ini, tapi juga bagi roh kami. Berkati juga mereka yang telah menyiapkannya, memasaknya, dan memberikannya. Dan ingatlah orang-orang yang belum dapat menikmatinya hari ini."
Doa itu selalu singkat, tapi seperti palu kecil yang mengetuk pintu batin.
Ada semacam kesederhanaan yang agung di sana. Ia tidak memaksa siapa pun percaya seperti dirinya, tidak mengajak mengkhotbah, tapi ia menanamkan perasaan bahwa hidup ini bukan tentang kepemilikan, tapi tentang penerimaan. Bahwa makanan yang kita santap, tidak semata hasil kerja kita, tapi juga buah dari tangan-tangan lain yang kita bahkan tak kenal. Seorang petani di dataran tinggi Krayan, yang menanam padi di ladang. Seorang ibu yang memasak dengan kayu bakar. Seorang peternak yang menggiring kerbau di antara kabut pagi.
Dalam doa makan itu, mereka semua seolah hadir.
Di keluarga saya, di Jangkang, kami mengenal juga tradisi doa sebelum makan. Tradisi itu datang bersama para misionaris Kapusin, sekitar 1940-an. Saya ingat dalam acara-acara besar, perjamuan di gereja, syukuran panen, atau perayaan baptis, doa makan adalah bagian dari upacara. Kadang panjang, kadang singkat, kadang dibawakan dengan cara Katolik yang khusyuk dan kaku, kadang dengan suara rakyat yang merdeka dan jenaka.
Tapi tidak setiap hari. Tidak setiap makan. Tidak seperti di Krayan.
Di Krayan, saya menemukan bahwa doa itu tidak dilihat sebagai ritus suci yang harus khidmat dan formal, melainkan sebagai nafas harian. Ia tumbuh seperti rerumputan, tanpa suara besar, tapi selalu hadir.
Dan yang paling mengesankan bagi saya, doa makan di sana bukan eksklusif milik agama tertentu. Jika yang memimpin doa adalah seorang Katolik, yang Muslim akan ikut khusyuk, dengan zikirnya dalam hati. Jika yang berdoa seorang Kristen Protestan, yang beragama berbeda atau penganut kepercayaan leluhur pun akan menunduk dan mengamini dengan caranya sendiri. Tidak ada keberatan. Tidak ada keberpihakan.
Mungkin karena doa makan, bila benar disampaikan dari rasa syukur terdalam, adalah bentuk kepercayaan yang melampaui sistem. Ia tidak mewakili satu doktrin, tapi kerendahan hati yang universal.
Di Krayan, saya menyaksikan bagaimana meja-makan berubah menjadi ruang perjumpaan spiritual. Tanpa ornamen religius, tanpa khutbah, tanpa paksaan. Hanya beberapa orang duduk mengelilingi nasi panas, ikan asin, dan daun ubi rebus. Lalu sunyi sejenak. Lalu doa. Dan kemudian bersama-sama, makan dengan pelan, dengan tertib, penuh syukur, nikmat, dan hormat.
Saya merasa, di situlah doa itu menjelma menjadi tubuh, bukan sekadar kata.
Di kota-kota besar, kita terbiasa dengan makan yang terburu-buru. Restoran cepat saji. Makan di mobil. Di tengah rapat Zoom. Bahkan dalam pesta mewah, makanan kadang hanyalah dekorasi. Kita lupa bahwa dalam makanan, ada sejarah, ada kerja keras, dan ada jejak kehidupan banyak orang.
Doa makan, yang saya temukan di Krayan, adalah cara untuk mengingat kembali hal itu.
Dan bagi saya pribadi, itulah wajah lain dari doa yang sejati: bukan yang meninggi di altar, tapi yang membumi di dapur. Bukan yang dilantunkan di atas panggung, tapi yang dibisikkan pelan sebelum suapan pertama.
Mungkin itulah sebabnya saya begitu menikmatinya.
Karena di Krayan, doa bukan hal yang dipertontonkan. Ia adalah kebiasaan. Ia adalah cara menghormati hidup. Bahkan saat tak ada siapa pun yang menonton.
Saya membayangkan, seandainya lebih banyak tempat seperti Krayan.
Tempat di mana orang-orang beragama tidak saling menghakimi, tapi saling mengamini. Tempat di mana doa bukan alat identitas, tapi ungkapan syukur. Tempat di mana makanan bukan cuma gizi, tapi simbol dari hidup yang dibagi.
Mungkin, jika kita mulai dari hal sekecil ini, berdoa sebelum makan, dan mengingat yang belum makan, kita bisa mengubah cara kita memandang dunia.
Karena doa, pada akhirnya, bukan hanya tentang hubungan dengan Yang Maha. Ia juga tentang relasi kita dengan sesama. Dengan yang memasak. Dengan yang tidak punya. Dengan yang berbeda keyakinan.
Dan di Krayan, doa makan telah menjadi jembatan itu.
Diam-diam. Setia. Tanpa retorika. Tapi menyentuh.
Seperti embun di pagi hari, yang tak bersuara tapi menyegarkan bumi.
Jakarta, 24 Juni 2025