Sebuah Panggilan dari Krayan, Negeri yang Merana Namun Tetap Setia

"Keadilan tertinggi adalah keadilan bagi mereka yang paling lama dilupakan," saya teringat kata-kata Plato saat mulai membuka laptop di ruang tunggu BlueSky Bandara Internasional Sepinggan, Kalimantan Timur dalam perjalanan menuju Kalimantan Utara. Di tanah yang di bawahnya mengalir minyak bumi dan mineral yang mengental, saya merenung makna sebuah panggilan... panggilan dari Krayan
Perjalanan ini bukan sekadar lintasan ruang, tetapi lintasan batin. Saya kembali ke Krayan, sebuah wilayah perbatasan yang telah lama menderita dalam diam. Krayan bukan hanya daerah yang terpinggirkan secara geografis, tetapi juga secara kebijakan dan perhatian. Ia seperti anak sulung yang dilupakan, hanya karena adik-adiknya di pusat lebih ramai dan lebih dekat.
Saya menerima panggilan ini melalui Yansen TP, putera Krayan, yang telah lama menjadi soulmate dalam berbagai makna yang meluas di dalamnya, dari literasi sampai pribadi. Panggilan pertama gagal karena menurut mantan Wakil Gubernur Kalimantan Utara karena kurangnya koordinasi panitia lokal khususnya ketersediaan pesawat carter agar rombongan literasi bisa mendarat di Krayan.
"Mungkin bisa ke Krayan, tetapi jika tidak ada kejelasan untuk pulangnya, bisa-bisa dianggap tersesat," kelakar Yansen melalui percakapan WA Call saat saya berada di belakang kemudi, saat masih berada di Tasikmalaya. Ketika panggilan kedua saya harus segera ke Jakarta untuk mengejar pesawat yang terbang dinihari, saya langsung tancap gas menuju Jakarta. Perjalanan Tasik-Jakarta sepanjang 300 kilometer dilumat dalam waktu 5 jam saja.
Oh ya, saya ingin cerita tentang Krayan. Sudah bertahun-tahun rakyat Krayan bersabar. Di tengah keterbatasan jalan, akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga pasokan logistik pokok, mereka bertahan. Itu saya tahu karena Pak Yansen, demikian saya memanggilnya, sering berkirim foto dan video mengenai akses jalan yang rusak menuju Krayan.
Mereka adalah penjaga tapal batas yang tidak hanya menjaga wilayah, tetapi juga harga diri bangsa. Tetapi, seberapa kuat kesetiaan bisa bertahan jika negara seperti ayah yang terlalu sibuk hingga lupa menyapa anaknya di ujung negeri?
Saya tahu, beberapa kali rakyat Krayan menyerukan ingin bergabung ke negara jiran, Malaysia. Bukan karena mereka tidak cinta Indonesia, tetapi karena mereka ingin didengar. Setidak-tidaknya itu alasan Gat Khaleb, salah satu tokoh masyarakat yang tinggal di Nunukan. Bagi saya teriakannya itu bukan pengkhianatan, tapi lebih merupakan jeritan. Sebab cinta yang diabaikan terlalu lama, kadang harus menjerit agar didengar. Tetapi mereka tidak pernah benar-benar pergi. Di balik getar suara itu, tetap berkibar Merah Putih di dada mereka. Hati mereka tetap Pancasila. Setidak-tidaknya itulah keyakinan saya mengenai hati-nurani rakyat Krayan.
Krayan dan Kesabaran yang Filosofis
Immanuel Kant pernah berkata, “Sabar bukan berarti pasif; itu adalah kekuatan jiwa yang aktif melawan keputusasaan.” Itulah Krayan. Mereka sabar bukan karena lemah, tetapi karena kuat. Mereka tidak memecah belah, tidak memberontak dengan senjata, tetapi mereka menegur dengan martabat. Dalam ketiadaan, mereka menciptakan swasembada. Dalam sunyi, mereka membangun solidaritas.
Sekarang saya diundang kembali ke Krayan oleh Yansen TP, putra asli Krayan. Yansen bukan sekadar mantan pejabat qua birokrat, dia adalah pemanggil kesadaran. Lewat jalan literasi, ia membangunkan ingatan nasional bahwa Krayan bukan tanah asing. Ia bagian tubuh bangsa yang kesemutan karena terlalu lama tak disentuh. Yansen berkata kepada saya, “Datanglah, dan lihat sendiri. Negeri kami merana, tetapi jiwanya masih terang.” Atas panggilan itu, maka saya datang.
Sebentar lagi Krayan akan menyambut saya dengan keteduhan yang menampar nurani. Pegunungan menghijau, udara bersih tanpa industri, anak-anak yang berseragam lusuh tetapi tetap tersenyum. Pepohonan yang bagai brokoli dilihat dari ketinggian, demikian pandangan rekan saya Herman Syahara dalam puisinya. Mereka tidak meminta belas kasihan, mereka hanya ingin hidup yang pantas.
Infrastruktur masih seperti cerita usang. Jalan tanah yang di musim hujan menjadi lumpur, sinyal yang kadang muncul seperti harapan, dan harga kebutuhan pokok yang membuat kita sadar betapa murahnya hidup di Jakarta, tempat di mana selama ini saya mukim dengan nyaman. Tetapi ada yang tak bisa diukur dengan meteran negara, yakni semangat dan kesetiaan. Iya, semangat dan kesetiaan rakyat Krayan!
Kelak saya bertemu lagi "guru" yang mengajar di ruang kelas yang dindingnya lapuk, tetapi semangatnya utuh. Saya akan kembali bertemu petani yang masih membawa hasil tani dengan tenaga sendiri, tanpa truk logistik dari pemerintah. Saya melihat kehidupan yang keras, tapi tak kehilangan arah.
Pencerahan di Tanah Perbatasan
Yansen tidak mengajak saya untuk mengasihani Krayan, melainkan untuk memahami. Katanya, “Pencerahan lahir ketika kita tidak lagi menunggu cahaya dari luar, tetapi menyalakan obor dari dalam.” Ia tahu bahwa perubahan tidak akan datang jika kita hanya mengeluh. Maka ia menggerakkan dengan cara membangun kesadaran warga, menyebar buku dan ilmu, dan membuka diskusi filsafat di tanah yang katanya "jauh dari peradaban". Ironisnya, mungkin justru di sinilah peradaban sejati masih bertahan: gotong royong, saling menghormati, hidup dalam cukup.
Friedrich Nietzsche pernah menulis, “Orang yang memiliki alasan untuk hidup dapat menanggung hampir semua cara hidup.” Krayan punya alasan itu: cinta pada tanah leluhur dan keyakinan bahwa Indonesia bukan sekadar Jakarta. Indonesia adalah Krayan juga.
Perjalanan ini bukan sekadar kunjungan. Ini adalah cermin. Ia memaksa saya untuk bertanya, apakah kita, sebagai bagian dari bangsa, sudah cukup adil dalam perhatian kita? Ataukah kita hanya sibuk pada pusat, hingga lupa bahwa kekuatan sejati bangsa ada pada pinggir yang tahan menghadang segala keterbatasan?
Saya tidak ingin pulang dengan rasa bersalah sekaligus harapan. Bersalah karena selama ini kita diam, dan berharap karena Krayan masih setia.
Di ujung perjalanan, saya menulis di catatan, “Negeri ini tidak runtuh bukan karena kekuatan pemerintah, tetapi karena kesabaran rakyatnya. Terutama rakyat seperti mereka yang tinggal di Krayan.”
Tunggu, saya datang kembali, Krayan!
***
Sepinggan, 10 Juni 2025