Perjalanan Data Dian (1) Rencana yang Tertunda
Sesungguhnya perjalanan ini sudah diagendakan dengan keberangkatan hari Selasa 19 Juli 2022, seminggu setelah Idul Adha, namun baru terlaksana pada Senin, 5 September atau mundur hampir dua bulan dari rencana.
Mbak Sukmareni selaku Koordinator Divisi Komunikasi Warsi, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang aktif dalam pendampingan suku-suku terasing, mengungkapkan sulitnya mencapai satu titik desa dari 83.381 desa yang ada di negeri ini, sehingga diperlukan strategi untuk mencapainya seefesien mungkin.
Desa itu bernama Data Dian. Sebuah desa yang terletak di pedalaman Kalimantan, tepatnya Kalimantan Utara (Kaltara) yang masih layak menyandang predikat "Jantung Borneo" karena hutannya yang relatif masih terjaga.
Secara administratif desa ini masuk ke Kecamatan Kayan Hilir. Data Dian sendiri merupakan ibukota kecamatan itu. Karena keterisolasian wilayahnya, maka mencapai desa ini perlu strategi sendiri bila dilakukan melalui jalan darat.
Dari Samarinda di Kalimantan Timur yang dianggap titik terdekat menuju Data Dian melalui jalan darat, bisa dicapai selama 10 hari. Ini karena akses jalan menuju Data Dia yang buruk di sejumlah titik, sedang jadwal pesawat yang menuju desa itu tidak selalu tersedia.
"Kang, mohon maaf... info dari kawan yang jalan ke Data Dian via darat dari Samarinda sampai sekarang mereka belum sampai di lokasi karena sulitnya medan. Sehubungan dengan itu maka kita tidak direkomendasikan lewat jalan darat. Jadi perjalanan kita terpaksa ditunda," kata Mbak Sukmareni melalui pesan WhatsApp.
Itulah yang menjadi penyebab mengapa perjalanan ke Data Dian tertunda. Rupanya sebelum saya berangkat, sudah dilakukan penjajagan dan perjalanan terlebih dahulu alias "voor rijder" oleh orang-orang Warsi sebelum saya berangkat. Kesimpulannya, perjalanan terpaksa diundurkan.
Oya, meski Sukmareni orang Padang dan berasal dari Sumatera Barat, selama percakapan di WhatsApp saya terbiasa memanggilnya "Mbak", bukan "Uni". Belakangan saya tahu koleganya di Warsi memanggilnya "Uni Reni".
Karena ada kata "Sukma", saya semula berpikir dia orang Bali, teringat kata "matur suksma", makanya saya sempat memanggilnya "Mbak Sukma", yang membuat heran tiga staf Warsi yang sama-sama seperjalanan dari Jambi-Jakarta-Balikpapan-Malinau untuk kemudian lanjut ke Data Dian.
Setelah bertemu dengannya di Bandara Soekarno-Hatta untuk pertama kali dan mengetahui asalnya, barulah saya memanggilnya "Uni Reni". Begitulah...
Setelah Warsi mengundang saya menyampaikan materi pelatihan menulis bagi para awaknya yang berlangsung di Tarakan 21-23 Maret 2022, tidak berapa lama kemudian saya ditantang untuk "blusukan" ke Data Dian.
Mendengar Data Dian, saya teringat Ibu Ping Ding, istri Wakil Gubernur Kaltara Yansen Tipa Padan, yang juga lahir di sana. "Saya dari Data Dian," kata Ibu Ping beberapa waktu lalu dalam sebuah perjamuan santap malam saat saya mengutarakan rencana kepergian saya ke desa itu.
Masih terkait dengan tulis-menulis, tetapi dengan melihat langsung bagaimana suku atau masyarakat terasing di Data Dian tersentuh budaya komunikasi digital yang mendombrak keterisolasian mereka yang difasilitasi Warsi, yang juga mengembangkan aplikasi berbasis desa. Tujuannya agar desa itu bisa diakses orang luar dan sebaliknya orang luar pun bisa "masuk" dan "menyentuh' penduduk desa dengan kekayaan datanya melalui aplikasi Internet.
Saya menerima tantangan itu. Latar belakang saya sebagai jurnalis yang selama 26 tahun bekerja untuk Harian Kompas memungkinkan adrenalin saya terpicu kembali.
Bedanya, kalau dulu atas nama liputan kerap bepergian ke kota-kota besar luar negeri nan gemerlap, sekarang harus pergi dan berada di sebuah desa yang lebih kecil dari sekadar noktah pada peta buta Indonesia untuk sekian lama.
(Bersambung)
***