Eksotisme Wisata Susuri Aliran Sungai Kayan
Sungai ini besar dan panjang sekali. Rata-rata lebarnya menurut mbah Google tak kurang dari 500 meter. Menurut warga setempat, ada bagian tertentu yang lebarnya lebih dari 700 meter. Mungkin di bagian menjelang muara, lebar sungai ini mencapai 1 km atau lebih. Lebar sekali… Panjangnya? 576 km (setengah panjang pulau Jawa). Wow… Saking panjangnya, sungai ini memiliki tidak kurang dari 12 anak sungai.
Bagi warga Kabupaten Malinau, Kabupaten Bulungan, dan ibu kota Kaltara Tanjung Selor, mungkin sungai ini biasa saja. Setiap saat mereka tatap, arungi, atau manfaatkan sebagai sarana utama penghidupan dan transportasi. Namun tidak bagi saya atau para pendatang dan pelancong. Sungai ini mengandung sejuta pesona yang sangat berpotensi menjadi primadona tujuan wisata: Wisata alam sekaligus wisata sejarah dan budaya.
------------
Sejak dari pelabuhan Tarakan, menaiki speed boat (perahu cepat) berkapasitas 40 orang dengan tujuan Tanjung Selor, kepala saya sudah diliputi oleh ribuan tanya tentang cerita masa lalu. Tarakan penuh dengan cerita sejarah perusahaan Belanda yang mengebor minyak di sana, hubungan bisnis mereka dengan Kesultanan Bulungan, pendaratan Jepang, pertempuran Jepang dengan sekutu, dan banyak kisah lainnya. Di pelabuhan Tarakan saja, begitu banyak narasi yang bisa disampaikan para guide profesional kepada wisatawan. Tak akan kekurangan kata dan cerita.
Perahu cepat milik perusahaan Sinar Harapan Express (sekilas mirip nama koran nasional masa lalu) yang kami tumpangi mulai berjalan meninggalkan pelabuhan Tengkayu, Tarakan. Dalam bayangan saya, guide belum selesai bercerita tentang sejarah masa lalu pulau yang disebut “the little Singapore” itu. Selama lebih kurang 15 menit mengarungi lautan antara pulau Tarakan dengan pulau Kalimantan, dia terus bercerita tentang beragam peristiwa tempo dulu di sana.
Bayangkan, pada abad ke-17 sudah ada warga luar Kalimantan yang memasuki lautan itu lalu terus bergerak masuk menelusuri sungai Kayan. Di kanan kiri sungai berjejer tanpa putus pohon Nipah. Sang guide bercerita tentang asal muasal Nipah dan kenapa sepanjang sungai hanya berisi pohon itu. Dia juga bercerita tentang tambak-tambak udang raksasa di balik pohon Nipah itu di pulau-pulau yang dikelingi luatan dan aliran sungai Kayan yang terbagi-bagi menjelang muara atau delta. Kami melewati salah satu bagian sungai itu.
Setelah lebih dari 30 menit bergerak, kami melihat menara telekomunikasi di sisi kanan sungai, pertanda ada kehidupan di sana. Benar, di sana terdapat perkampungan padat penduduk. Guide bercerita tentang kawasan itu. Namanya Salim Batu. Konon adalah suatu desa tertua di Bulungan, yang kini menjadi bagian dari Kecamatan Tanjung Palas Tengah. Di situ, dulu Kesultanan Bulungan berpusat dengan istana yang megah. Bukti-buktinya masih ada meski sebagian besar sudah hilang. Di Salim Batu juga terdapat makam-makam tua yang di batu nisannya tercantum tahun 1800-an. Salah satu makam tertua berada persis di bibir sungai. Hal yang tidak lazim karena biasanya makam para leluhur masa lalu berada di perbukitan.
Kisah sang guide membawa kepala saya membayangkan masa-masa itu. Betapa hebatnya mereka saat itu. Dengan fasilitas terbatas sudah mampu membangun peradaban.
Di Salim Batu, kami bisa menyaksikan suatu kehidupan dengan budaya dan peradaban berbeda. Ternyata, sebagian besar warganya berasal dari Sulawesi, selain warga asli Bulungan. Mereka perantauan dari Bugis dan Wajo yang sudah memasuki wilayah itu sejak awal abad ke-20. Sebagian nenek moyang mereka adalah pekerja di perusahaan era Hindia Belanda di Tarakan. Mereka hidup berdampingan dengan warga asli Bulungan. Beragam pola hidup dan budaya mereka menarik untuk disimak. Saya yakin, pelancong mancanegara akan menyukai kegiatan sehari-hari masyarakat Salim Batu.
Keyakinan ini bukan rekaan saya semata. Beberapa tahun silam saya mengunjungi Bali Elephant Camp di Bali. Mereka menawarkan paket wisata naik gajah dan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali kepada wisatawan. Bagaimana warga menanak nasi, menggoreng kerupuk, menyalakan perapian, membuat berbagai kerajinan, dan kegiatan sehari-hari warga lainnya. Buat kita, itu hal biasa. Namun buat pelancong luar negeri, hal itu istimewa. Mereka mendapatkan pengalaman unik yang berbeda dengan kehidupan sehari-harinya. Sangat berkesan. Dan turis asing berani bayar mahal! Salim Batu punya potensi tersebut.
Perahu cepat terus melaju. Sang guide melanjutkan ceritanya. Para pemimpin Kesultanan Bulungan meninggalkan istana Salim Batu pada akhir abad ke-18. Mereka pindah lebih ke dalam membangun istana baru di lokasi yang sekarang menjadi pusat kota Tanjung Selor. Istana di Salim Batu dibiarkan tak berpenghuni. Istana baru itu berada di kecamatan Tanjung Palas, persis di bibir sungai Kayan bagian paling lebar. Konon mencapai 1 km lebarnya. Perahu cepat kami mencapai lokasi istana ini setelah sekitar 1 jam 15 menit perjalanan dari Tarakan.
Dari sungai terlihat bangunan istana dan aulanya. Membayangkan masa lalu yang masih minim fasilitas, tentulah istana ini sangat megah.
Guide melanjutkan ceritanya tentang Kesultanan Bulungan, yang sangat terkenal pada masanya karena sudah bergaul secara luas dengan dunia luar. Kisah asal muasal Kesultanan Bulungan tentu sangat memikat untuk disimak. Ternyata, cikal bakal mereka sudah ada sejak abad ke-16, jauh sebelum resmi menjadi kesultanan. Cerita rakyat di sana menyebutkan bahwa Bulungan dimulai sejak pernikahan antara putri Dayak Kayan dengan Kesatria asal Brunai Darussalam.
Hal menarik lainnya dari kesultanan ini adalah kebijakan damai dan antiperang. Hubungan diplomatik dengan kerajaan lain selalu dilandasi sikap damai. Bulungan pernah menjadi bagian dari Kesultanan Sulu di Filipina. Bulungan juga pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan Belanda. Hubungan mereka bahkan sangat erat, sampai-sampai Ratu Wilhelmina menghadiahkan sebuah kapal pesiar mewah untuk Sultan Bulungan. Sang guide sempat menunjukkan petilasan terakhir kapal tersebut di salah satu sisi sungai Kayan. Konon, bangkai kapalnya masih ada di situ. Puluhan meter di bawah permukaan air, di dasar sungai.
Sungguh cerita yang menarik. Kapal besar sudah bisa masuk ke bagian dalam sungai Kayan di pusat kesultanan Bulungan di Tanjung Selor. Tidak kurang dari 60 km dari lautan. Kapal hadiah dari Belanda itu sempat hilir mudik di sungai Kayan sampai rusak dan tenggelam di situ. Pemerintah setempat pernah akan mengangkat bangkai kapal tersebut. Namun terkendala berbagai hal teknis. Buat saya, lokasi bangkai kapal hadiah dari Ratu Wilhelmina itu merupakan salah satu spot wisata terbaik untuk turis baik lokal maupun terutama turis mancanegara.
Narasi yang baik dari para guide akan mengajak para turis berselancar ke masa lalu. Bisa jadi, turis Belanda akan terbelalak dengan fakta-fakta tersebut.
Perjalanan menyusuri sungai Kayan berlanjut. Di seberang istana Bulungan itulah terdapat pusat kota Tanjung Selor, yang kini menjadi ibukota Kalimantan Utara. Sebelumnya, Tanjung Selor hanyalah ibukota Kabupaten Bulungan, yang luasnya mungkin dua kali atau lebih provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bulungan kemudian memekarkan diri menjadi Tarakan, Nunukan, dan Malinau. Menjelang pemekaran Kalimantan Utara sebagai provinsi baru, Bulungan kembali menelurkan kabupaten baru yaitu Tanah Tidung. Jadi, cikal bakal provinsi Kalimantan Utara adalah kabupaten Bulungan.
Beberapa menit saja perahu melaju ke arah hulu, kami sudah disambut penampakan menarik di sekitar anak sungai Tanjung Selor, sisi kiri sungai Kayan. Di situ terdapat perkampungan Buluh Perindu yang sebagian besar warganya adalah orang Tidung. Lagi-lagi, kami bisa berwisata sejarah dan budaya di situ. Sungguh berbeda dengan budaya di Tarakan dan Salim Batu. Rumah-rumah khas Dayak Tidung berjejer di sana.
Narasi guide mampu menghipnotis kami sambil menikmati pemandangan yang begitu damai dengan pohon besar dan rindang. Apalagi ketika senja datang. Potret surga dunia terpampang di sana.
Sudah lebih dari satu jam perjalanan dari Tarakan menyusuri sungai Kayan, tampaknya cerita belum berhenti. Narasi di kepala guide masih bertumpuk, mengiringi laju perahu. Kami memang akan menginap di Tanjung Selor, namun sajian awal di sungai Kayan mampu menunda hasrat menikmati dinginnya kamar hotel. Semakin ke arah hulu, pemandangan sisi kanan kiri sungai Kayan semakin indah. Pohon-pohon besar yang begitu hijau berbaris dan berjejer rapi. Bukit-bukit tinggi tampak gagah seolah membentengi beberapa bagian sungai. Bahkan terdapat bukit berwarna putih di sela-sela pohon yang tumbuh di atasnya. “Gunung putih,” kata guide menyebut nama bukit-bukit tersebut. Mungkin mengandung karang atau batu kapur. “Jangan-jangan dulu air laut sampai sebatas bukit itu,” lirih saya dalam hati.
Pada beberapa bagian tepi sungai terdapat juga deretan pohon kelapa. Konon kata para ahli sejarah, jika terdapat pohon kelapa maka terdapat pula kehidupan di sana. Bisa jadi. Menurut guide pun demikian. Di sepanjang sungai Kayan ini, terdapat desa-desa yang dihuni oleh warga asli Dayak. Salah satunya yang kami temukan setelah lebih dari 1 jam perjalanan dari istana Kesultanan Bulungan di Tanjung Selor. Nama desa itu Long Pari. Penghuninya sekitar 500 kepala keluarga Dayak Kenyah. Mereka sudah turun temurun tinggal di sana, dengan mata pencaharian utama sebagai petani, peladang, dan nelayan. Sawah terhampar luas di situ.
Meski tak jauh dari Tanjung Selor, namun desa ini hanya bisa dijangkau melalui sungai. Belum tembus jalur darat. Perkampungan mereka begitu dekat dengan bibir sungai, di lokasi tanah yang lebih tinggi. Rumah-rumah khas Dayak Kenyah berjejer rapi. Di tengah perumahan itu terdapat rumah ibadah (gereja), lapangan sepakbola, sekolah, dan juga aula besar berbahan kayu. Sayang sekali, di desa ini belum ada listrik PLN dan jaringan telekomunikasi. Padahal, budaya mereka yang masih asli dan natural pasti menarik perhatian para pelancong.
Hanya menyaksikan kehidupan sehari-hari mereka saja, akan menjadi sajian istimewa buat para turis mancanegara. Apalagi, warga setempat juga piawai menyambut tamu dengan tarian-tarian eksotis dan busana warna warni yang memukau.
Ah sayang sekali, kami harus kembali ke Tanjung Selor. Masih banyak kisah yang belum tersampaikan. Sesungguhnya, bergerak terus ke arah hulu yang katanya bisa menghabiskan waktu lebih dari empat jam, kami masih akan ditunggu oleh cerita-cerita menarik. Salah satunya rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Besahan. Kabarnya, akan dibangun lima bendungan besar di sepanjang sungai Kayan ini. Wah, pasti menarik melihat PLTA yang kelak akan menjadi bendungan terbesar di Asia Tenggara itu.
Hulu sungai Kayan berada di kecamatan Kayan Selatan, kabupaten Malinau, jauh di pedalaman yang di sekelilingnya adalah hutan. Di sanalah asal muasal nama sungai Kayan, yaitu tempat bermukimnya suku Dayak Kayan. Menurut cerita Mikael, yang asli Kayan, di sana terdapat catatan kuno masa lalu yang bisa membuat mata ahli sejarah terbelalak. Meski berada jauh di hulu, di tengah hutan rimba, namun catatan itu menunjukkan bahwa peradaban mereka sudah ada sejak ribuan tahun lalu!
Ah, jangan-jangan asal usul saya juga ada di sana bukan di Yunan?
Mereka sudah ada sebelum kerajaan Kutai Kertanegara berdiri?
Wisata susuri Sungai Kayan tampak semakin menarik…
Catatan:
- Guide yang bercerita itu belum ada. Hanya imajinasi penulis membayangkan kelak ada guide khusus wisata menyusuri sungai Kayan.
- Wisata itu bukan sekadar menikmati pemandangan indah, melainkan juga menyelami narasi (cerita) yang terkandung di dalamnya. Itulah pentingnya peran guide profesional yang piawai bernarasi.