Kancil Tak Suka Mencuri Timun
Judul: Kancil Tidak Suka Mencuri Timun
Penulis: Sri Rahayu, dkk.
Tahun Terbit: 2020
Penerbit: SIP Publishing
Tebal: x + 173
ISBN: 978-623-6793-46-6
Dongen Kancil adalah cerita anak yang paling poluler di Indonesia. Hampir semua anak dari sejak jaman Belanda sampai kini mengenal dongeng Kancil. Cerita tentang Kancil mencuri ketimun, Kancil dan Buaya, Kancil dan Harimau adalah beberapa cerita tentang Kancil yang banyak didongengkan oleh orangtua kepada anak-anaknya. Saat saya kecil, saya pun mendapatkan cerita-cerita Kancil dari nenek dan ibu saya.
Dongeng Kancil bisa begitu terkenal karena ceritanya pendek, penuh petualangan dan membawa pesan karakter yang kuat. Hampir semua cerita kancil bisa diselesaikan tidak lebih dari 10 menit saja. Kebanyakan kisahnya terdiri dari satu plot peristiwa, atau paling banyak tiga plot saja. Kisah-kisah Kancil selalu penuh petualangan berbahaya. Itulah sebabnya ceritanya menarik bagi anak-anak. Bukankah anak-anak memang menyukai petualangan? Kisah Lima Sekawan karya Enid Blyton begitu digemari di Inggris dan di negara-negara lain juga karena dikemas dengan unsur petualangan. Begitu pun Dongen Kancil.
Kisah-kisah Kancil senantiasa berhubungan dengan peristiwa sulit dimana sang tokoh terjepit. tetapi karena kecerdikan Kancil mampu keluar dari situasi sulit tersebut. Kecerdikan Kancil inilah yang membuat orangtua sangat senang mendongenkan Kancil kepada anak-anaknya. Orangtua berharap bahwa anak-anaknya terinspirasi oleh kecerdikan Kancil dalam mengatasi situasi sulit.
Darimana sebenarnya kisah Kancil ini berasal? Sejak kapan dongen Kancil muncul? Tidak ada yang tahu secara pasti kapan dongen ini muncul. Tokoh Kancil atau kijang sendiri sudah muncul di cerita rakyat yang beredar di Nusantara. Contohnya adalah dalam cerita Ramayana. Ada tokoh kijang kencana dalam kisah Ramayana. Menurut Erik Hariansah dalam tulisannya berjudul “Sejak Kapan Dongen Kancil Itu Muncul” di laman https://attoriolong.com/2020/06/sejak-kapan-dongeng-si-kancil-itu-muncul/, dijelaskan bahwa kisah kancil sudah ada sejak jaman Belanda. Ia juga menunjukkan bahwa Kancil atau kijang muncul di relief Candi Prambanan. Jadi sudah terbukti bahwa Dongen Si Kancil sudah menjadi bagian dari folklore Indonesia.
Namun fabel yang begitu terkenal ini tak bebas dari kritik. Sejak era Reformasi, kritik terhadap dongen Kancil mulai merebak. Tak kurang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun ikut memberi kritik. Pelaksana Harian (PLH) Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK Guntur Kusmeiyano, pada tahun 2015 bahkan mengatakan dongen Kancil itu tidak mendidik. Ia berpendapat bahwa Dogeng Kancil mengajari anak-anak untuk tidak bertanggung jawab, berbohong dan menipu.
Ada juga yang berpendapat bahwa Dongen Kancil mengajarkan kelicikan daripada kecerdikan. Kisah-kisah Kancil lebih menunjukkan sifat licik daripada cerdik. Maka sejak saat itu Dongeng Kancil mulai ditinggalkan oleh Sebagian orang. Namun ada berbagai pihak yang berupaya untuk merevitalisasi dongen Kancil ini supaya lebih sesuai dengan karakter anak yang diharapkan. Sifat licik, suka menipu dan tak bertanggung jawab diganti dengan karakter-karakter yang dianggap baik. Salah satu karya yang mencoba merevitalisasi Dongen Kancil adalah buku “Kancil Tak Suka Mencuri Timun” karya para guru yang terbit pada tahun 2020 ini.
Buku “Kancil Tak Suka Mencuri Timun” memuat 42 kisah baru Si Kancil yang sudah berkarakter baik. Dalam buku ini Sri Rahayu, dkk mengubah karakter Kancil menjadi sosok yang bertanggung jawab, suka menolong dan rajin beribadah. Kancil tak lagi licik. Kancil tak lagi suka mencuri. Kancil tak lagi suka berbohong. Cerita-cerita Kancil disajikan dengan format pendek, sepeti dongeng aslinya. Keempatpuluhdua cerita Kancil ini dibuat dalam satu plot atau paling banyak tiga plot peristiwa. Dengan memilih format pendek, maka kisah-kisah ini bisa didongengkan dalam waktu lima sampai sepuluh menit saja.
Menurut saya perlu pertimbangkan ulang adalah banyaknya karakter “baik” yang ingin disematkan pada Kancil. Banyaknya karakter baik ini muncul karena buku ini adalah kumpulan dongeng yang disusun oleh banyak penulis. Masing-masing penulis tentu saja menonjolkan karakter baik menurut versi mereka sendiri. Ada penulis yang menganggab bahwa karakter tidak mencuri adalah karakter yang paling tepat untuk disematkan kepada tokoh Kancil. Ada penulis yang memilih karakter suka menolong yang harus muncul dalam diri kancil. Ada juga penulis yang membuat Kancil suka beribadah.
Dalam kisah Kancil Klasik karakter utama yang ditonjolkan adalah “cerdik.” Karakter cerdik ini yang membuat tokoh Kancil sangat kuat dalam cerita.
Anak-anak yang pernah mendapat dongen Kancil sebelumnya, langsung berharap tentang kecerdikan apa lagi yang akan dilakukan oleh Kancil dalam mengatasi situasi sulit yang dihadapinya. Namun dengan banyaknya karakter baik yang harus ditempelkan pada tokoh Kancil, membuat karakter Kancil menjadi tidak spesifik.
Satu hal lain yang saya temukan dalam buku ini adalah hilangnya unsur petualangan dalam cerita Kancil. Kisah-kisah baru ini gagal untuk mempertahankan unsur petualangan yang menjadi ciri khas Dongen Kancil klasik. Kisah-kisahnya menjadi kurang seru karena terlalu berat dengan beban karakter baik yang harus diembannya. Penonjolan karakter baik ini membuat kisah-kisahnya kurang menarik. Dalam banyak cerita yang ada di buku ini terkesan Kancil dipinjam untuk berkhotbah saja kepada anak-anak. Kelemahan ini tentu sangat krusial. Sebab unsur petualanganlah yang menjadi daya tarik dari Dongeng Si Kancil. Hilangnya unsur petualangan dalam Kancil membuat dongen Kancil menjadi seperti cerita-cerita anak lainnya yang membosankan.
Meski demikian upaya untuk menghidupkan Kancil dengan karakter baru ini harus diapresiasi. Siapa tahu dengan memanfaatkan tokoh dongeng yang sudah beken, karakter-karakter baik yang ingin kita tanamkan kepada anak-anak kita bisa terbangun. (579).