Jalan Lingkar Krayan: Yang Terampas dan yang Putus - Puisi Masri Sareb Putra

(Jalan Lingkar Krayan yang bertanya: mana ibu bapa?)
Di Jalan Lingkar Krayan ini
sebuah negara terlambat datang,
lalu lupa pulang.
Selebihnya: sunyi.
Dan hujan yang lambat-lambat memudar di kulit lumpur.
Di Jalan Lingkar Krayan ini,
tulang-tulang logistik terkubur
bersama kata "distribusi".
Tak ada bensin.
Tak ada roti.
Tapi selalu ada berita tentang triliunan
yang hilang
entah ke mana
seperti nama-nama dalam daftar pengungsi.
Di Jalan Lingkar Krayan ini,
seorang anak bertanya:
"Ayah, kenapa Jakarta jauh sekali?"
Dan sang ayah
hanya menatap jalan
yang putus—
lebih dulu dari rasa percaya.
Di jalan ini,
yang dijanjikan memeluk seperti lingkar,
tidak ada pelukan.
Yang ada: batas
yang tak pernah usai ditegaskan,
dan sebuah negeri
yang mengaku ibu
tapi sering tak mendengar
tangis bayinya sendiri.
Di jalan ini,
orang-orang tak hendak pindah ke negeri seberang.
Mereka hanya ingin
dianggap ada
oleh negeri yang mereka jaga
dengan parang dan peluh,
dengan kenangan tentang konfrontasi
yang tak pernah dibayar
meski dengan selembar surat.
Sementara di Senayan,
kursi-kursi rapat selalu penuh.
Bendera berkibar.
Berita disiarkan.
Tapi di Krayan,
angin membawa berita
dalam karung kosong,
dan tiang bendera bergeser
oleh angin yang terlalu sering sendiri.
Maka bila jalan itu putus,
tak hanya roda-roda yang berhenti.
Tapi juga:
tali yang tipis
antara yang diundang saat kampanye
dan yang dilupakan saat anggaran dibagi.
Di Jalan Lingkar Krayan ini,
seseorang menggulung peta Indonesia
seperti menggulung sehelai kain duka.
Bukan karena ingin memisah.
Tapi karena terlalu lama
menunggu yang tak pernah benar-benar datang.
Dan di ujung jalan itu,
yang tersisa hanyalah ini:
lumpur,
hujan,
dan sebuah pengakuan yang tak selesai-selesai.
Tangerang, 12 APRIL 2025.