Sastra

Jatisaba - Kisah Perdagangan Perempuan

Rabu, 29 Januari 2025, 19:22 WIB
Dibaca 6
Jatisaba - Kisah Perdagangan Perempuan
Jatisaba

Judul: Jatisaba

Penulis: Ramayda Akmal

Tahun Terbit: 2024 (cetakan kedua)

Penerbit: Grasindo

Tebal: 241

ISBN: 978-602-375-871-5

 

Novel Jatisaba karya  Ramayda Akmal berkisah tentang betapa kejinya perburuan calon tenaga kerja perempuan untuk dipekerjakan di luar negeri. Mengambil sudut pandang seorang korban yang terjebak dalam perdagangan perempuan, Ramayda Akmal menelanjangi proses-proses perekrutan calon tenaga kerja perempuan. Ramayda Akmal membungkus kisahnya dengan deskripsi Desa Jatisaba dan segala masalah sosialnya.

Mae yang bernama Maisarah adalah korban perdagangan perempuan. Mae berangkat menjadi tenaga kerja perempuan ke Hongkong. Namun nasipnya sungguh malang. Bukannya menjadi pembantu, Mae malah diumpankan menjadi seorang pekerja seks. Sempat melarikan diri dari tuan yang memekerjakannya, Mae malah terdampar pada tuan lain yang tak kalah kejamnya. Mae yang lepas dari Tuan Kim masuk ke pelukan Mayor Tua. Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.

Sejak bekerja untuk Mayor Tua, Mae bertugas untuk merekrut tenaga kerja perempuan lain.

Mae pulang ke desanya. Ia mulai memromosikan ”perusahaan” dimana ia bekerja untuk merekurt tenaga kerja perempuan yang akan dipekerjakan di luar negeri. Meski Mae tahu bahwa perempuan-perempuan itu nantinya tidak dipekerjakan secara baik-baik, namun Mae tak bisa melepaskan diri dari tugas tersebut. Sebab Mae selalu diawasi oleh orang-orang Mayor Tua yang siap memberikan hukuman, jika Mae gagal.

Mae adalah contoh bagaimana korban bisa menjadi alat untuk mencari calon-calon korban lainnya. Meski dalam novel ini Mae tidak digambarkan sebagai seorang yang mendendam dan berupaya supaya perempuan-perempuan lain bernasip sama dengannya. Tetapi Mae tetap saja adalah korban yang mencari calon korban.

Ramayda Akmal mengisahkan dengan sangat detail bagaimana proses perekrutan calon tenaga kerja perempuan di Desa Jatisaba. Perempuan-perempuan yang dililit kemiskinan dan keputusasaan menjadi sasaran. Perempuan-perempuan tersebut bercita-cita bisa mengubah nasipnya dan nasip keluarganya dengan bekerja di luar negeri. Namun sesungguhnya nasip yang sangat mengerikan telah menunggu mereka. Ramayda Akmal juga menyinggung bagaimana elite desa terlibat dalam perekrutan tenaga kerja ini.

Harapan seperti yang diungkapkan oleh Sanis berikut ini adalah salah satunya: ”Oalah, anakku yang bagus satu itu. Aku pengin sekali membuat dia bahagia. Apa saja aku lakukan asal bisa mengubah nasipnya.” Demikian harapan Sanis saat memutuskan untuk ikut bekerja ke luar negeri demi mengubah nasip anaknya.

Dalam novel ini Ramayda Akmal mengungkap bagaimana cinta bisa merangsang perenungan akan jalan hidup. Mae bertemu dengan Gao, pemuda yang dicintainya saat dia masih SMP. Gao adalah teman sekolah Mae. Namun cinta mereka tidak berlanjut karena Mae memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Pertemuannya dengan Gao membuat Mae mempertimbangkan kembali perannya sebagai calo tenaga kerja perempuan.

Selain menggambarkan proses perekrutan tenaga kerja perempuan sebagai tema utama, Ramayda Akmal memasukkan topik kemiskinan dan pemilihan kepala desa yang penuh intrik. Juga tentang peran orang luar yang memanfaatkan kebodohan masyarakat desa. Ramayda Akmal sangat berhasil meramu ketiga tema ini menjadi sebuah jalinan cerita yang solid. Ketiga tema tersebut saling terhubung dengan erat.

Dalam hal memenuhi persyaratan administrasi, misalnya. Mae bekerja sama dengan Jompro, seorang calon Kepala Desa. (Dalam novel ini digambarkan Desa Jatisaba sedang melaksanakan pemilihan Kepala Desa. Ada tiga calon yang maju. Jompro, tokoh dari masyarakat kidul kuburan, Mardi tokoh dari Legok dan Joko seorang pendatang.) Mae berjanji akan mengorganisir calon pekerja perempuan untuk memilih Jompro jika Jompro bisa membantu membuatkan KTP bagi warga desa yang akan dibawanya ke luar negeri. Sebuah kerjasama saling menguntungkan untuk sebuah kejahatan.

Proses pemilihan Kepala Desa diwarnai dengan politik beras dan teror. Jompro dan Mardi bersaing menarik suara warga dengan memberikan beras. Selain menarik suara warga dengan pemberian, persaingan pemilihan Kepala Desa juga dilakukan dengan teror ninja. Ninja digambarkan meneror masyarakat desa dan menyasar kepada siapa saja yang tidak mendukung calon tertentu. Ramayda Akmal menggambarkan persaingan sengit dan barbar antara dua calon lokal.

Namun ternyata Jokolah yang menang. Joko yang adalah penduduk pendatang, tidak ikut melakukan kampanye melalui pemberian maupun melalui teror. Namun Joko menggunakan aparat untuk meraih kemenangan. Joko melihat peluang menguasai masyarakat desa karena masyarakat desa didekap kebodohan.

Kisah kemenangan Joko ini adalah sebuah sindiran tajam tapi halus terhadap proses demokrasi yang diterapkan di tengah-tengah rakyat yang bodoh. Elite (yang digambarkan sebagai pendatang, adalah pihak yang tidak memiliki akar dalam masyarakat) merampas proses demokrasi untuk kepentingan sendiri. Tapi Ramayda Akmal memeringatkan para elite tersebut akan mendapatkan hukuman dari alam di akhir novelnya. Ramayda Akmal menggambarkan tawon-tawon menyerbu Joko dan kawan-kawannya setelah menang sebagai Kepala Desa.

Bagaimana akhir pergumulan batin Mae? Apakah dia tetap memberangkatkan para perempuan desa untuk dijadikan korban perdagangan perempuan? Atau dia memilih untuk lepas dari pekerjaan penuh nista? Apakah cinta mampu menyelamatkan Mae dari lembah dosa? Akhir novel ini sungguh mengejutkan. Pantaslah kalau novel ini memenangkan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan mendapat pujian dari Sapardi Djoko Damono dan Ahmad Tohari. 890

Tags : sastra