Sejarah Berdirinya Kerajaan Tanjungpura - Kalimantan Barat
Kisah dibuangnya Putera ke-7 Keturunan Raja Majapahit Bernama Prabu Wijaya Oleh saudara-saudaranya yang akhirnya terdampar di Kalimantan Barat. Prabu Jaya anak yang paling bungsu dari tujuh kakak beradik. Sebagai adat kebiasaan zaman dulu. Segala sesuatu, selalu ditanyakan kepada tukang ramal. Tukang nujumlah yang dipercaya untuk mempertanyakan masa depan seseorang. Sang raja Majapahit yang telah lanjut usianya, telah memanggil tukang nujum untuk meramalkan, kiranya anak manakah yang paling baik mengantikan kedudukannya sebagai raja kerajaan Majapahit. Tukang ramal mulai menujum malam itu dengan membawakan hasil, dengan jelas memaparkan kepada sang Raja Majapahit, bahwa tak lain hanyalah si putera bungsu, bernama Prabu Jaya.
Mendengar kata-kata ahli nujum,kakak-kakaknya merasa sangat cemburu dan iri hati. Berundinglah mereka untuk menjahatkan adik bungsu mereka. Keenam kakaknya mencari seorang pandai magic hitam. Dicarikan racun. Racun ini dimasukan ke dalam makanan Prabu Jaya. Prabu Jaya yang tidak tahu akan rencana jahat abang-abangnya,makanlah ia dengan lahapnya. Selesai makan,mulailah Prabu Jaya merasa badannya gatal-gatal. Ia pun mulai menggaruk-garuk, badannya jadilah penuh dengan luka-luka. Tangan dan kakinya makin menjadi-jadi lukanya hingga meleleh. Suatu penyakit yang menakutkan bagi isi istana raja.Para abang Prabu Jaya melaporkan peristiwa negeri ini kepada sang raja Majapahit. Raja berusaha untuk menolongnya, mencari dukun untuk mengobatinya. Nampaknya suatu penyakit yang sukar diobati. Raja menjadi putus asa. Dengan rasa sedih tapi bijaksana, sang raja memerintahkan kepada rakyatnya, agar membuatkan sebuah perahu cukup besar. Perahu yang memuat puteranya Prabu Jaya dilengkapi dengan segala keperluan hidupnya serta segala pembantu-pembantunya ikut serta. Selesai perahu dibuat, naiklah Prabu Jaya dengan segala kebutuhannya. Berangkatlah perahunya di tiup angin tak tahu kemana arah tujuan perahunya.
Foto: Kerajaan Tanjungpura-Matan
Hanyalah Prabu Jaya memohon suatu permohonan yang didengarnya dari ayahnda “ Ya Mama Batara lindungilah kami dan tunjukan kami ke pelabuhan yang aman “. Beberapa bulan kemudian tibalah mereka ke tepi laut, masuk ke sebuah sungai, sekarang disebut orang Kuala Kandang Kerbau ( Ketapang )-Kalimantan Barat. Di muara sungai inilah Putera Prabu Jaya melabuhkan jala, sebagai hobinya. Tiap kali ia mengangkat jalanya, selalu buah kedondong saja yang tertangkap. Prabu Jaya sangat kesal hatinya. Buah itu diambilnya dan dibuangnya ke darat. Tapi karena hobinya menjala, jalanya dihambarnya terus. Kemudian ikan makin banyak didapatnya. Sambil menjala ia senang memanggil buaya kawannya.
Foto: Sungai Matan, Kab. Ketapang
Prabu Jaya melihat kawanan buaya timbul mendengar ajakannya. Ia pun meniti ke atas punggung buaya. Sambil meniti, datanglah ikan patin,belang ulin menjilat luka-luka yang melekat pada kaki tangan dan tubuhnya. Aneh penyakitnyapun hilang. Karena hobi menjala, tak puas-puas ia menjala terus sampai ke hulu sungai di daerah sungai Sentap. Sekali jala dilabuhkannya, jala itupun sangkut sukar diangkat. Ia telah berulang-ulang menariknya, hampir putus, tak juga terangkat. Ia merintahkan anak buahnya untuk menyelamnya, juga tidak bisa. Terpaksalah ia menyelam untuk menyelamatkan jalanya. Usahanya berhasil.. Jala tersebut sangkut pada sesuatu benda bulat. Setelah tiba ke atas perahu, diperhatikannya benda bulat itu. Ternyata benda bulat itu adalah mundam. Dalam mundam itu isinya sehelai rambut yang sangat panjang. Prabu Jaya merasa heran. Rambut itu tentu pemiliknya adalah seorang gadis cantik. DAYANG PUTUNG alias JUNJUNG BUIH Dalam kisah hanyutnya Dayang Putung alias Junjung Buih ke Ketapang selama 3 bulan, busuklah rakit yang terbuat dari batang pisang itu. Ia terhanyut tak tentu tujuan, tersangkut di kumpai Melayu, kemudian hanyut lagi terdampar di sungai Sentap dan telah diselamatkan oleh Rangga Sentap. Ketujuh kakak beradik Dayang Putung sbb: 1. Dayang Punta 2. Dayang Bakala 3. Dayang Bercandi 4. Dayang Bekeris 5. Dayang Berimbung 6. Dayang Bercalung 7. Dayang Putung alias Buih Junjung Ketujuh puteri ini tak ada seorangpun yang menetap di daerah kelahirannya. Semuanya telah berangkat meninggalkan tanah tumpah darahnya, di hulu sungai Keriau, Keturunan Raja Ulu Aik ( Air ). Dayang Puntung karena berpenyakit, ia dibungkus dengan buih besar, berada di atas air.
Prabu Jaya melihatnya dengan kaget. Kenapa seorang wanita berada di atas air? Terjadilah dialog diantara keduanya. Dialog yang mengikat rasa antara insan yang sama membutuhkan. Karena Prabu Jaya pernah mengalami penyakit yang sama, maka ia mengundang segala ikan patin, belang ulin dating menjilat penyakit Dayang Putung. Tak berapa lamanya penyakit itupun pulih. Suatu pengobatan yang mustajab. Prabu Jaya mengubah nama Dayang Putung menjadi Junjung Buih. Prabu jaya sangat tertarik dengan Junjung Buih. Prabu Jaya bertanya di mana orang tuanya, untuk meminta izin meminangnya. Tanpa segan-segan Junjung Buih menunjuk ke arah hulu sungai Keriau di mana bermukim orang tuanya. Ia menyebutkan Siak Bahuluan raja Ulu Aik( Air).
Untuk melanjutkan perkawinan yang sah, pihak junjung Buih member isyarat, harus mempersembahkan satu kalung emas, satu lancang, perahu tujuh depa panjangnya, empat puluh orang laki-laki dengan pasangannya,gamelan dan beberapa gong. Segala permintaan itu tak ada yang ditawar oleh Prabu Jaya.
Semuanya disiapkan dari Jawa. Kemudian upacara perkawinan dilangsungkan di Jawa. Dalam perkawinan ini keduanya diberkati tiga orang putera: 1. Pangeran Perabu yang bergelar Raja Baparung diangkat sebagai pendiri kota kerajaan di Sukadana. 2. Gusti Likar diangkat dan mendirikan Kerajaan Meliau. 3. Pangeran Mancar diangkat menjadi kepala daerah di Kerajaan Tayan. Pendirian suatu kerajaan tak lepas dengan keahlian tata kerajaan. Pangeran Mas Prabu Jaya tentu tak perlu diragukan pengetahuannya mengenai mengatur tata kerajaan. Beliau dilahirkan di alam raja-raja.
Foto: Depan Kerajaan Tanjungpura
Foto: Kerajaan Pakunegara Tayan, Kab. Sanggau
Riset sudah disesuaikan dengan Novel Sejarah Ngayau karya Masri Sareb Putra dan Buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat dituils oleh J.U. Lontaan ( 1975:78 ).
Baca https://ytprayeh.com/riset/p-f16673826796125/misteri-manusia-ikat-kepala-merah