Sejarah Desa Pa Sing - Krayan Hulu (1)
Pa Sing adalah salah satu nama Desa yang ada di Krayan Hulu Kecamayan Krayan Selatan Kabupaten Nunukan Provinsi Kaltara, dimana sejarahnya diceritakan oleh beberpa Narasumber yang bernama Paren Asai (Alm.), Beran Lo’oi (Alm.), Hasan Tepun (Alm.) Titus Paren, Samuel Tadun dan Yakup Pangut yang diperkirakan lahir sekitar tahun 1920-1940an.
Pada zaman dahulu atau yang dikenal dengan zaman batu masa orang tidak mengenal agama (animisme/kepercayaan kepada batu, pohon, binatang-binatang tertentu dan makhluk gaib). Di Pa Sing (kampung lama) yang menjadi nama desa sekarang, hiduplah sekelompok orang dan 11 bersaudara, diantaranya 10 laki-laki dan 1 perempuan.
Berdasarkan cerita dari narasumber 10 orang dari 11 bersaudara ini memiliki kekuatan yang tidak ada tandingannya dan tak terkalahkan dalam menjaga wilayah mereka dari musuh yang datang menyerang. Mereka membuat suatu pernyataan “siapapun yang ingin menantang atau berani untuk mengambil kepala kami silahkan datang karena tombak kami selalu kami tancap di depan rumah panjang bukan ditangan kami”, namun tidak ada satu orangpun yang berani datang. Lalu mereka berpikir ingin menantang baleng (singa) karena menurut mereka itu adalah lawan yang seimbang.
Pada saat itu baleng adalah binatang yang ditakuti dan dianggap hantu atau binatang jadi-jadian, karena dalam sejarah tidak ada singa yang nyata di daerah Krayan. Namun dalam cerita nenek moyang pernah ada yang namanya baleng (singa).
Suatu hari mereka berencana untuk menjebak baleng dengan membuat pagar (wak) dari kayu di depan rumah, dan menjadikan adik perempuan mereka sebagai umpan, dengan harapan sebelum baleng memakan adik mereka, mereka terlebih dahulu membunuhnya.
Tibalah waktunya, untuk mereka mengurung adik perempuan mereka ke dalam Pagar (wak), dengan ketakutan dan menangis adik mereka terkurung. Lalu kakak yang tertua menghiburnya dan berjanji tidak akan membiarkannya dimakan oleh baleng (Singa). Kemudian mulailah mereka melakukan suatu ritual dengan memukul Tawak (Gong) dan membakar sesuatu yang membuat baleng lineu (risih). Setelah beberapa lama akhirnya baleng keluar dari lobang atau goanya yang di Turan Inu’ (nama anak sungai yang dekat dengan kampung lama Pa Sing).
Terdengar dari kejauhan bagaikan suara pohon rebah dan ranting pohon yang bergoyang, tidak lama kemudian binatang itu nampak berjalan menghampiri mereka, semuanya siap dengan tombak, sumpit dan parangnya. Namun yang terjadi setelah baleng itu dekat, mereka semua lemas tidak berdaya namun masih sadar, tetapi baleng itu tidak menghiraukan mereka. Kemudian baleng tersebut mendekati kandang tempat dimana adik mereka dikurung lalu membongkar dan memakannya. Mereka hanya bisa menyaksikan kejadian itu tetapi tidak berdaya untuk menghalang baleng tersebut.
Setelah selesai memakan adik mereka, baleng tersebut kembali ke goanya. Setelah kejadian itu barulah mereka sadar seperti semula dari kepanikan dan kesedihan karena kehilangan adik perempuan mereka. Kemudian mereka mengejar baleng tersebut lalu menyumpit, menombak dan menetakkannya hingga mati.
Setelah itu mereka menggotong baleng tersebut pulang dan saat tiba di rumah, perut baleng tersebut dibelah guna mengambil tulang-tulang adik mereka, dan kepala baleng itu mereka gantung diujung rumah panjang, dan dagingnya mereka bagi ke masyarakat dengan pesan “siapa yang tidak memakan daging ini dia akan mati, dan selama kulit kepala baleng belum terkupas dari tengkoraknya (membusuk) dilarang tidak ada seorangpun yang boleh pulang ke rumah masing-masing untuk tidur”.
Lalu mereka mengadakan pesta siang dan malam sambil meneguk Burek (Tuak) di Rumah Panjang, dan melakukan Ukui (orang banyak yang berdiri dan berjalan muter-muter sambil memegang bahu orang yang didepan). Dalam Ukui tersebut mereka mengkatakan “Seh legeh tekeh baleng nok kuman arein amei, ai kam nok mesen amei mei dek, mei baleng kuman tuduk yeh sui sui sui”.
Beberapa saat kemudian, dua orang suami istri (baru menikah) yang mempunyai bayi (anak pertama) yang pulang kerumah dikarenakan anak mereka menangis karena mengantuk. Tibalah mereka di rumah lalu menidurkan anaknya dengan rasa khawatir dan takut karena Ukui yang mengatakan “jika ada yang pulang tidur, baleng akan memakan jantungnya”, karena sangat mengantuk akhirnya mereka bertiga tidur di bawah tikar (sebagai selimut). Keesokan harinya orang-orang kaget melihat bahwa mereka sudah meninggal.
Akhir dari pesta tersebut sepuluh bersaudara ini menamakan mereka dengan sebutan Polo’ Baleng Deh Kanak (sepuluh singa bersaudara). Kemudian mereka mengubur tengkorak atau kepala baleng di hulu sungai Pa Sing, yang sampai saat ini tempat itu disebut “Pelupun Baleng” dapat ditempuh sekitar 1 jam perjalanan dari kampung lama Pa Sing.
Setelah peristiwa pembunuhan baleng, beberapa lama kehidupan kelompok di tempat ini mulai resah akibat banyak diantara mereka mengalami penyakit yang aneh-aneh bahkan menyebabkan kematian yang tidak wajar setiap tahunnya, dan mereka percaya hal ini terjadi karena kepala baleng tadi dikubur di hulu sungai yang dimana airnya digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Beberapa lama kemudian sepuluh baleng bersaudara tadi meninggal, akhirnya keturunan mereka berpikir untuk meninggalkan kampung ini (Pa Sing) dengan masing-masing membawa keluarganya. Berdasarkan cerita dari Narasumber ini keturunan baleng adalah orang yang mendirikan kampung Ba Siuk, Long Tana, Pa Dalan, Pa Ibang, Lem Long (Pa Kaber) dan Pe’ belaben (Tanjung Pasir).