The History of Dayak (7)
Migrasi suku bangsa Iban, kiranya suatu peristiwa sejarah yang unik sekaligus menarik. Jika ditarik garis lurus, sebenarnya jarak Tampun Juah tidak jauh dari Kuching sebagai pusat Ibunegeri Sarawak.
Saat itu, belum ada alat teropong binokular. Andaikan ada, migrasinya barangkali tidak melalui jalur transportasi Sungai Sekayam - Kapuas yang berliku, melainkan lewat jalan darat. Kini, setelah berabad kemudian, diketahui bahwa jarak Tampun Juah - Kuching hanya "sepelempar batu" saja. Jalan darat telah terhubung antara kedua negara yang warganya masih ada tali ikatan saudara melaui pintu masuk Entekong - Tebedu.
Tapi itulah sejarah. Sebagai suatu rangkaian peristiwa yang tali-temali, ia lempang. Sedemikian rupa, sehingga yang disebut "Sejarah yang sejati" tidak mengenal "andaikata". Baik penelusuran sejarah maupun cerita dari mulut ke telinga yang dipertuturkan orang tua (Iban: jerita tua) tidak terlampau lebar gapnya. Semua sepakat mengenai tokoh dalam migrasi dan pelaku sejarah suku bangsa Iban.
Di awal narasi ini, kita sepakat bahwa yang dikategorikan "Sejarah" mengandung 3 wajib tali temali yang harus dapat dibuktikan, yakni adanya: tokoh, setting (waktu dan tempat), dan seperti apa peristiwanya?
Kita mulai dari wajib-pertama, yakni tokoh-tokoh/pelaku di balik narasi/ migrasi suku bangsa Ibanik.
1) Gemuring Gading tuai (kepala) rumah panjai orang Iban di masa lalu yang sekaligus adalah ayannda Keling.
2) Bujang Sabalu adalah ayah dari Kumang, sahabat Gemuring Gading.
3) Keling, anak Gemuring Gading.
4) Kumang, anak Bujang Sabalu.
5) Ayor, anak Keling dan Kumang.
6) Dabung, adik Keling. Empaing Aling, kakak Keling.
7) Ada pula tokoh lain, seperti: Inai Abang, Apai Abang, Sabit Berkait, Laja, Pandak Sagatak, Lulong, Jelayan Kaki Kuta, dan Bungai Nuing. Bahkan, jejak Bungai Nuing kini artefaknya terdapat di wilayah Sungai Utik, Kapuas Hulu.
Baca Juga: Panggil Saja Aku: Niang
Bungai Nuing, yang kerap dikisahkan dalam ensera Keling, digambarkan sebagai seorang gagah perkasa, dewa perang suku bansa Iban, yang melindungi dari serangan remaong. Diyakini ada jejak-tapak kakinya ketika berburu, menjejak di atas sebilah batu di ranah Batang Lupar, tak jauh dari Danau Sentarum, Putussibau.
Tentang hal itu Apai Janggut, tuai rumah Sungai Utik dan keturunan Keling Kumang generasi ke-8 berkata, "Seperti kulit terong. Tipis sekali bedanya. Namun kami, orang Iban, menganggapnya sungguh ada,” terang Apai Janggut.
Siapa sebenarnya Bungai Nuing?
Apai Janggut menuturkan bahwa Bungai Nuing berasal dari Pangau Libau (khayangan) dan siap dipanggil berperang membantu suku Iban. Dalam catatan akhir (end notes) buku ini nanti dengan panjang lebar dikisahkan riwayat, bagaimana Bungai Nuing dan istrinya menemukan Ayor yang dibuang ke hutan karena rupanya bukan seperti manusia. Dan bagaimana anak itu dipelihara, dan kemudian menjadi manusia Iban saktimandraguna. Sepotong kisahnya, pernah difilmkan di Malaysia. The Sleeping Dictionary adalah judul film produksi Holywood yang ditayangkan pada 2003. Dimainkan pesohor Jessica Alba pelakon utama sebagai gadis Iban di Sarawak. Cinta berbelit di negeri ruai sebab menemukan konflik sosial budaya.
Film ini tidak tentang Keling Kumang, hanya kisah pengembaraan orang bule dengan setting Sarawak.
Akan tetapi, indu dara Iban yang dilukiskan memang bajik amai, tapi tidak persis mencerminkan sosok Kumang. Kumang yang dilukiskan narasumber saya (Danil Banai) sangat ideal: warna kulitnya kuning langsat, tidak hitam, tidak putih; sedang-sedang saja. Tinggi badannya sekitar 168 cm, berat badan 58 kg. Sangat ideal!
Tokoh dan pelaku sejarah suku bangsa Iban seperti disebutkan, dapat direkonstruksi waktu dan tempat serta bagaimana peristiwanya. Berbagai peneliti, bervariasi pula hasil rekonstruksinya, bergantung kepada how to spoon, bias, konsepsi serta isi kepalanya (vorurteil). Akan tetapi, satu hal yang tidak pernah berubah yaitu: pakemnya. Semua sepakat, baik karya fiksi maupun nonfiksi, bahwa Keling Kumang adalah tokoh legendaris, asal mula generasi Orang Iban. Tidak ubahnya seperti Rama dan Sinta. Juga Adam dan Hawa. Tokoh yang diyakini sebagai asal mula manusia di jagad ini.
Tidak memerlukan banyak penjelasan. Kepada orang yang baru mendengar nama Keling Kumang, saya kerap berkata, "Keling dan Kumang itu Rama dan Sintanya orang Iban!" Biasanya, mendengar itu, orang serta merta berkata, "Oh!"
Sejarah itu lempang. Sebagai rangkaian suatu peristiwa yang tali-temali. Sejarah yang sejati tdak mengenal "andaikata".
Tokoh-tokoh legenda dan jejak-sejarah ini hampir tidak ada gap. Bahkan, nilai-nilai, adat, dan tradisi yang ditinggalkan hingga kini masih hidup dan dipraktikkan. Misalnya, upacara "Ngumbai Keling Kumang" (Memanggil Keling Kumang), suatu upacara ritual yang --jika tidak pandemi-- biasanya diadakan bulan Februari di Tapang Sambas, Kabupaten Sekadau. Upacara ini khas Iban. Dipraktikkan secara turun-temurun. Wujud bahwa nilai adat dan tradisi nenek moyang masih hidup hingga kini.
Setelah tokoh dan pelaku sejarah, kita masuk ke setting yang menyangkut waktu dan tempat. Migrasi kaum Ibanik berlangsung 3 periode. Periode pertama, yakni setelah Tampun Juah diserang oleh "musuh tak dikenal", sehingga cerai berai dan lemahlah mereka. Akibat makan "kulat" (jamur), seluruh warga menjadi mabuk, dan tidak mengerti bahasa masing-masing. Kisahnya mirip dengan "Menara Babel". Yang membuat penduduk migrasi adalah peristiwa nasi yang jika ditanak tidak beraroma nasi, melainkan kotoran. Migrasi ini cukup beralasan. Diperkirakan, migrasi pertama terjadi sirka abad 13.
Baca Juga: Islam Dayak, Dialektika Identitas Dayak Islam Nusantara
Angka tahun itu masuk akal. Apai Janggut, tuai rumah Sungai Utik, yang mengaku keturunan Keling-Kumang ke-8 saat ini berusia hampir 90 tahun. Delapan generasi sejak abad ke-13, kiranya signifikan.
Lontaan (1975) mencatat: Kaum Iban telah menginvasi wilayah-wilayah hulu Kapuas yang sudah didiami suku lain, seperti: Taman, Embaloh, dan Kayan. Namun, sebenarnya, tidak ada pencaplokan paksa, invasi. Yang terjadi adalah peristiwa penyerahahan/ pengakuan Orang Embaloh pada orang Iban untuk mendiami dan menguasai tanah/wilayah-wilayah di Sungai Utik kini, Batang Lupar, dan sekitarnya (antitesis). Di rumah panjang Sungai Utik, terdapat banyak tajau (tempayan antik) sebagai bukti pengakuan orang Embaloh pada Iban.
Deskripsi tentang orang Iban jelang kemerdekaan, van Hulten menulis hal yang demikian, "Zij waren vroeger de echte koppensnellers.... Als er ergens een Iban zich vertoond had, was men daar wel op zijn hoede. Toch zijn ook deze Daya’s ontzettend sympatiek, vooral eigenlijk omdat zij zo zorgeloos en onbekommerd door het leven gaan (Hulten, 1983: 31).
(Sejak zaman baheula, orang Iban pengayau ulung.... Mereka ada di mana-mana. Jika Iban telah menunjukkan jatidiri di suatu tempat, mereka akan awas waspada di sana. Toh demikian, orang Iban itu sangat simpatik, terutama karena mereka menjalani kehidupan yang begitu riang dan tidak hendak turut mencampuri urusan orang lain. Tapi sekali dipantik dan dihinakan, orang Iban akan meradang.)
***
Tulisan sebelumnya: The History of Dayak (6)