Politik

Tontonan Politik Tidak Beradab Oknum Istana

Sabtu, 6 Maret 2021, 05:10 WIB
Dibaca 950
Tontonan Politik Tidak Beradab Oknum Istana
Niccolo Machiavelli

Dodi Mawardi

Penulis senior

"Moeldoko menerima keputusan sebagai Ketua Umum Demokrat versi KLB," demikian judul berita di berbagai laman internet sore ini.


Tidak beradab. Tidak beretika. Itulah respon pertama saya melihat apa yang terjadi terhadap Partai Demokrat. Tontotan ini lebih beracun dibanding tayangan sinetron atau reality show yang banyak racunnya itu. 

Jargon 'politik itu kotor', sesungguhnya tidak benar. Plato salah satu penggagas politik, tidak pernah menjadikan idenya sebagai hal kotor. Demikian pula Aristoteles. Bahkan NIccolo Machiavelli yang sering dijadikan kambing hitam politik kotor, juga tidak demikian. Pelakunyalah yang kerap membuatnya kotor. Seperti yang saat ini terjadi.

Salah satu tugas negara adalah memberikan pendidikan politik kepada rakyatnya. Itulah sebabnya ada anggaran khusus di setiap pemerintahan mulai level pusat sampai daerah untuk pendidikan politik. Tugas yang juga diemban oleh partai politik. Rakyat harus mendapatkan edukasi politik yang baik dan benar. Bukan politik kotor.

Bangsa ini akan lebih cepat maju, jika masyarakatnya lebih melek politik. Literasi politik terbukti mampu membawa bangsa ini meraih kemerdekaannya pada 1945 lalu. Ketika para anak muda didikan orang-orang melek politik seperti H.O.S Cokroaminoto tampil ke permukaan. Soekarno-lah yang saat itu jadi yang terdepan. Bersama elemen lain bangsa, para anak muda ini dengan dukungan dan bimbingan senior-seniornya berpolitik secara tepat melawan penjajah Belanda. Hasilnya: kemerdekaan. Mereka, para pendiri bangsa itu, memegang teguh adab dan etika.

Namun kini, kita berjalan mundur. Literasi politik yang sesungguhnya sedang dalam ujian berat, makin dirusak begitu rupa oleh tontonan pecah belah parpol yang menimpa partai Demokrat. Tahun lalu dialami juga oleh Partai Berkarya. Namun karena yang kini terjadi menimpa partai besar, gaungnya lebih terasa. Apalagi melibatkan orang-orang besar termasuk orang yang masih berkuasa di seputaran Istana Negara. Apalagi disokong oleh kekuatan ekonomi yang besar sehingga narasi di berbagai media seolah mendukung sang tokoh tersebut.

Saya tak habis pikir dengan fenomena ini. Sejak dulu, pecah belah parpol sudah berkali-kali terjadi, tapi caranya tidak sekasar ini. Tidak sevulgar ini. Tidak setakberadab ini. Tidak setakberetika ini.

Walaupun sama-sama bernilai buruk dalam pendidikan politik buat rakyat. Kita tahu dan sadar tak elok mengharapkan tokoh-tokoh politik dan pejabat negara saat ini bersikap bijak cendekia seperti para pendiri bangsa. Tidak. Tidak berharap seperti itu. Sulit menemukan sosok semacam itu.

Akan tetapi, minimal tidak terlalu kasar dan sangat kotor serta begitu vulgar dalam berpolitik dan bernegara. Kotor sedikit - apa boleh buat - masih harus kita maklumi. Situasi dan kondisi kotor memang masih terjadi dalam banyak hal. Saya optimistis, lama-lama kekotoran itu akan terkikis, nanti. Namun, apa yang terjadi sekarang sungguh memilukan.

Pancasila sila kedua menyebutkan bahwa bangsa kita adalah manusia yang adil dan beradab. Adab dan juga etika di atas segalanya. Di atas ilmu, di atas kemanusiaan, di atas hukum, apalagi politik. Ketika batas atas itu sudah diterobos, apalagi yang kita harapkan? Optimisme masa depan bangsa sedikit meredup diganggu oleh tokoh-tokoh politik penuh ambisi yang menghalalkan segala cara.

Sungguh kehidupan berbangsa dan bernegara kembali dinodai. Bahkan dengan noda yang lebih parah dibanding penggembosan PDI pada era Orde Baru, yang sangat menyedihkan itu. Salah satu noda terbesar dalam sejarah politik Indonesia.

Buat saya pribadi, AHY adalah aset bangsa. Sama dan setara seperti Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Anies Baswedan, Tri Rismaharini, Sandiaga Uno, Erick Thohir dan pemimpin lain yang masih berusia muda. Merekalah yang saat ini sampai 5-15 tahun ke depan akan menjadi pemimpin puncak bangsa. Mereka bukan hanya milik golongan, kelompok atau parpol tertentu, tapi milik bangsa.

Di luar mereka, masih banyak aset bangsa lainnya yang berpotensi menjadi pemimpin terbaik untuk Indonesia masa depan. Mereka harus dikondisikan untuk mampu membawa kemajuan bagi bangsanya. Bukankah bangsa ini yang beruntung jika memiliki pemimpin yang punya kapasitas dan kapabilitas memadai serta berkarakter baik (khususnya beradab dan beretika)? Para sepuh dan senior seharusnya memberikan teladan kepada kami, para anak muda. Bukan sebaliknya.


Ya Allah, semoga kelak Indonesia tidak dipimpin oleh orang penuh ambisi yang sedang mempertontonkan politik tak beradab dan tak beretika.

Amin YRA.